Gemerlap koleksi pakaian baru kembali terpampang di display depan toko pakaian favorit anda di mall. Lantas, kemana perginya gunungan pakaian dari koleksi sebelumnya, masih menjadi tanda tanya besar. Tak hanya limbah tekstil, namun sejatinya produksi di balik tumpukan stok pakaian fast fashion jarang diketahui secara luas. Di balik sepasang celana jeans yang kita miliki, berapa banyak air yang digunakan? Di balik sehelai kaus yang kita pakai, berapa banyak kapas yang digunakan? Satu hal yang pasti, fast fashion dan limbah tekstil merupakan sebuah isu yang harus diatasi secara kolektif. Dengan demikian, limbah tekstil tidak menjadi tambahan isu besar bagi lingkungan.
Fast fashion menjadi salah satu isu yang ramai diperbincangkan di media sosial belakangan ini. Sesuai namanya, fast fashion merupakan perusahaan yang memproduksi pakaian dengan model yang berganti dalam waktu singkat. Produksi ini dilakukan secara massal. Model didapati meniru brand high end dan menggunakan bahan berkualitas rendah. Oleh karena itu, produk fast fashion dijual dengan harga yang lebih terjangkau, namun tidak awet. Adapun, hal ini tidak kunjung menghalangi kegemaran sejumlah masyarakat terhadap fast fashion.
"Aku pilih fast fashion karena convenient (praktis). Mudah ditemukan, bisa lihat langsung bajunya, tahu bahannya, langsung fitting. Orang tua juga lebih percaya dengan brand. Kalau online, bisa lihat di rumah, check-out di rumah", ujar Davis, mahasiswa konsumen fast fashion.
Berita mengenai produksi fast fashion mencuat  di media sosial, dinilai tidak etis dan tidak ramah lingkungan. Per tahun 2019, terdapat 2,3 juta ton limbah tekstil di Indonesia. Sementara itu, hanya sekitar 300.000 ton dapat didaur ulang. Fakta ini tak kunjung terbantu dengan pola konsumtif masyarakat Indonesia. Berdasarkan laporan Tinkerlust Impact Report tahun 2022, sekitar 58% masyarakat Indonesia memilih untuk membeli produk pakaian first hand. Sedangkan, sebanyak 63,5% masyarakat Indonesia masih memilih untuk membeli produk fast fashion.
Di tengah perubahan iklim yang belum kunjung berakhir, industri tekstil menyumbang sekitar 10% emisi karbon global. Mulai dari produksi pakaian, hingga emisi yang dihasilkan transportasi untuk distribusi produk. Faktanya, 85% dari seluruh pakaian yang diproduksi setiap tahun berakhir di TPA. Sementara itu, fast fashion menjadi industri kedua terbesar dengan penggunaan air berlebihan. Hal ini mempengaruhi pencemaran air dan penggunaan yang cukup boros. Mengolah tanaman kapas menjadi bahan sudah membutuhkan 93.000 liter air tersendiri. Untuk memproduksi sehelai kaos berbahan kapas, diperlukan sebanyak 700 galon air. Sementara, pembuatan satu pasang celana jeans, memerlukan 2 juta galon air. Sulit dipungkiri sumber yang dihabiskan untuk produksi massal sebuah brand fast fashion.
Melansir dari Tinkerlust Impact Report 2022, estimasi penggunaan air tersebut bisa bertambah dan semakin merusak lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Permasalahan lingkungan yang ditimbulkan industri fashion meliputi pencemaran air dengan bahan kimia dan penghasilan emisi karbon untuk memproduksi bahan sintetik. Berdasarkan data emisi karbon, limbah tekstil, dan penggunaan air yang berlebihan, angka ini dapat meningkat setidaknya 50% pada tahun 2030.
Hal ini membuktikan bahwa fast fashion merupakan salah satu ancaman yang nyata bagi bumi. Namun demikian, hingga sekarang fast fashion masih marak digemari masyarakat. Terutama dengan kebangkitan platform belanja online, menjadi celah bisnis fast fashion terus beroperasi. Nyatanya, data dari Kementerian PPN menyatakan bahwa 3 dari 10 masyarakat Indonesia membuang pakaian setelah sekali pakai. Berdasarkan survey Tinkerlust, mayoritas 37,2% membuang pakaian karena bosan, diikuti dengan gaya yang berganti, pakaian rusak, dan lainnya.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!