Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak dan Penertawaan Kita

2 Agustus 2021   06:49 Diperbarui: 2 Agustus 2021   07:12 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Baik orang dewasa maupun anak-anak, tak lepas dari konteks "bahan tawa". Ada seorang Bapak atau Ibu yang karena pakaiannya tidak simetris (kancing, hijab, celana terlipat sebelah, dan lain-lain). Pun pada anak. Selalu hadir mengemuka tanpa mengenal siapa saja. Ada yang salah mengucapkan sesuatu, ada yang salah menggunakan benda, dan lain-lain.

Namun satu bahan tafakur yang mungkin tak boleh luput dari kehidupan makhluk beretika bernama manusia adalah, melatih spontanitas.

Dan jika mencerna ragam komentar atau obrolan -baik di kehidupan darat maupun di kehidupan maya- banyak sekali diantara kita yang sangat renyah menertawakan kekurangan orang lain. Satu isu tergulirkan, rangkaian komentar pemojokan mengalir bak air deras.

Jiwa pun seolah punya energi tersendiri untuk menertwakan fakta yang diangap sebuah lelucon. Sebaliknya, begitu gampang kita meradang saat ada orang di sekeliling kita yang sengaja atau tanpa sengaja men-subordinatkan keberadaan kita.

Sejatinya, kita mampu memuliakan etika. Kita bisa menertawakan kelemahan orang, namun alangkah lebih indah bila kita punya bekal kualitas. Komentar yang mengalir pun tentu bukan sebuah pendiskreditan semata, melainkan sebuah analiss. Analisis yang terdukung dengan pengalaman, dengan ilmu pengetahun tertentu, dengan gaya tutur yang menginspirasi orang-orang sekitar.

Kenapa saya ungkap masalah ini, karena memang ada orang yang merasa sudah berilmu sekepala atau merasa diri paling banyak tahu sehingga begitu ringannya merendahkan lawan bicara atau berkomentar negatif. Yaaaa, "seenak perut". Mungkin itu gambaran sarkastisnya.

Semoga kehati-hatian kita untuk tak menyakiti perasaan anak, terbawa pada kehidupan luas dan ragam pertemanan.

Sudah sangat jelas Allah berbicara dalam surat Al-Hujurat, tepatnya ayat ke-11. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang direndahkan) lebih baik dari mereka (yang merendahkan)..."

Dan kita pun tak bisa memilah-milah rekan atau teman sesama komunitas atas takaran yang tidak Allah perkenankan sebagai indikator. "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian, tidak pula melihat harta kalian. Tetapi Allah melihat hati dan perbuatan kalian." Begitulah Rasulullah Saw bersabda yang diriwayatkan dalam shohih Muslim.

Cukup sudah keangkuhan membahana. Cukup sudah sikap merasa diri paling benar menjadi cerita. Yuk mari. Melangkah dan bersikap dengan sebuah kunci bernama hati-hati. Karena islam itu indah. Dan kita wajib mengenalkannya --terutama- kepada anak-anak dengan seindah-indahnya. Maka bagaimana mungkin mereka merasa nyaman dalam agamanya, jika ayah dan ibunya -yang secara fitrah telah menjadi peneratas atas kemusliman diri anak-anaknya- berbuat dan berucap sekehendak tanpa memperhatikan rasa tak nyaman yang akan muncul pada orang-orang sekitar.

Yuk selamatkan mereka. Selamatkan kenyamanan privasinya. Jangan pernah biarkan mereka kepercayaan dirinya meranggas begitu saja karena terlalu banyak menerima penertawaan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun