Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Menulislah dan jangan mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mantra Sepotong Jendela

3 Juli 2020   02:49 Diperbarui: 3 Juli 2020   02:40 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Entah kenapa rasanya sangat mustahil untuk tidak lagi merasa bersedih. Aku membutuhkannya."

Aku mulai lupa bagaimana bentuk langit saat ditaburi bintang-bintang, membentuk sebuah garis abstrak layaknya kuas yang diusapkan ke langit berwarna biru gelap. Warna yang mengingatkanku pada dingin dan pengapnya dasar laut. Warna yang mengingatkanku pada hal-hal menyedihkan dalam kehidupanku.

Perlahan, aku juga mulai melupakan bagaimana rasanya berbaring di atas rumput yang berembun. Menatap semburat langit berwarna putih. Semburat yang samar-samar mulai digantikan dengan warna keemasan. Di tengah dingin dan perasaan-perasaan yang bercampur satu sama lain, berputar-putar memenuhi dada dan kepalaku layaknya badai.

Kupikir, aku sudah melupakan banyak hal dalam hidupku. Membuang segalanya ke dalam ilusi-ilusi yang tak pernah kuanggap nyata. Kuleburkan menjadi satu dalam khayalan-khayalan buatanku hingga membuatnya makin kabur, membuatku tak lagi bisa membedakan antara khayal dan nyataku.

Waktu hanyalah sebuah lelucon untukku. Hangat yang menggantikan dingin. Terang yang menyingikirkan gelap. Riuh yang menggantikan senyap. Semuanya berubah dalam satu kedipan mata. Satu hal mulai tergantikan oleh hal lain. Seperti keberadaanku yang pada akhirnya juga tersingkir, tergantikan oleh orang lain.

Saat memikirkan hal-hal semacam ini, harusnya aku merasakan nyeri di dadaku. Biasanya aku akan sesenggukan hingga kehabisan napas, bermata bengkak seperti ikan koi dalam lukisan yang menggantung manja pada dinding kamarku, hidung merah berair seperti getah-getah pepohonan yang terluka. Harusnya aku bisa mendeteksi kesedihanku dengan hal-hal semacam itu, tapi kali ini tidak. Aku sedang bersedih. Terlalu sedih dan sangat kebingungan, sampai tidak benar-benar bisa merasakannya.

Sedari tadi aku hanya memandang sebuah pohon besar yang berada tak jauh dari hadapanku. Menghalangiku melihat luasnya dunia dari sepotong jendela kaca ini. Entah apa yang sebenarnya kupikirkan saat ini. Aku menatap pohon itu, tapi tak benar-benar menatapnya. Aku seperti memembus batang pohonnya, pergi ke tempat yang sangat jauh, entah di mana.

Angin berhembus kencang, menghadirkan gemersik yang sangat kurindukan akhir-akhir ini. Dedaunan yang tak kuat bergantung pada ranting itu pun berjatuhan, memasrahkan diri sepenuhnya pada angin yang entah akan mempertemukannya pada tanah seperti apa nantinya.

Kupikir akan lebih menyenangkan kalau semua hal yang berkecambuk dalam diriku ikut gugur berjatuhan dan ikut terbawa angin seperti dedaunan-dedaunan itu. Aku menghela napas panjang, membuang jauh-jauh rasa iri di dalam diriku. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya, rasa iri di dadaku makin membuncah.

Salah satu daun yang terjatuh saat ini di pertemukan dengan takdir berbeda dari dedaunan pada umumnya. Entah bagaimana angin mengatur pertemuannya dengan seseorang tanpa alas kaki yang entah sejak kapan berdiri di bawah pohon itu. Dedaunan yang tampak tak berdaya itu, jatuh tepat di bawah kakinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun