Mohon tunggu...
Mahasiswa MHU 2012
Mahasiswa MHU 2012 Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Kemacetan Lalu Lintas

5 April 2013   20:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:40 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena Kemacetan Lalu Lintas

Ditulis oleh : Fa’iq Shalahuddin

Fenomena Kemacetan Lalu Lintas

Macet, saat ini menjadi primadona masayarakat ibu kota dan sekitarnya. Primadona dalam arti kata yang tidak sebenarnya. Bukan karena disukai, tapi keberadaannya bias ditemui di banyak-banyak jalan utama. Jangankan jalan utama, bahkan jalan Tol yang bebas hambatan pun terkena dampaknya.

Mari berdamai dengan macet. Lho, dengan macet kok berdamai? Apa sih maksudnya? Mungkin banyak berfikiran macet sudah menjadi kebiasaan yang ditemui di jalanan. Paradigm seperti ini harus segera dirubah, jika tidak maka akan semakin sulit untuk dipecahkan.

Apa yang terpikirkan ketika mendengar kata macet? Banyak yang terbayang, dari mulai banyak nya volume kendaraan, cuaca yang panas, waktu tempuh yang semakin lama, dan lain-lain. Ya, macet menyebabkan banyak kerugian. Bila ada dari kalian yang menyatakan keuntungan akibat macet, hal tersebut patut dipertanyakan.

Mengapa bisa terjadi kemacetan di jalan raya? Hal pertama yang terlintas disebagain besar benak sesorang adalah banyaknya volume kendaraan yang beredar di jalan raya. Banyaknya volume kendaraan diakibatkan oleh berbagai factor, yang paling sering kita dengar adalah kenyamanan.

Bagi mereka yang secara keuangan lebih dari cukup, mempunyai kendaraan pribadi seakan menjadi kewajiban. Hal ini karena dorongan status ekonomi mereka. Seolah ingin menunjukkan bahwa mereka mampu dan membuat pernyataan bahwa orang dengan tingkat ekonomi tingi tidak pantas naik kendaraan umum.

Begitu pula dengan orang-orang yang mempunyai status tinggi dalam pekerjaan, jabatan baik di lingkungan swasta maupun pemerintahan. Seakan-akan ingin menunjukkan siapa mereka. Mobil malah kadi bahan bergaya, seperti pakaian bagus yang layak untuk dipamerkan. Jika semakin banyak orang yang berpikiran sempit maka jalanan akan semakin penuh.

Jadi tidak habis pikir, sebenarnya apa yang mereka-mereka pikirkan saat berkendara pribadi. Saya berusaha mencoba untuk mendalaminya. Ada beberapa alasan yang dapat diterima oleh logika saya. Pertama jika berkendara pribadi maka kenyamanan sudah pasti akan didapat. Apalagi jika tergolong dalam kendaraan mewah. AC, musik, tv bias didapatkan di dalam mobil, berbeda dengan kendaraan umum. Tapi jika anda tahu, ada beberapa jenis kendaraan umum yang juga menyediakan berbagai fasilitas yang dapat membuat penggunanya nyaman.

Alasan kedua adalah lebih hemat, karena dengan berkendara pribadi bisa sekali isi bensin dengan jarak tempuh berkilo-kilo meter. Diisinya pun bias untuk beberapa hari. Sebenarnya tidak salah juga punya pendapat seperti ini. Tapi coba piker sekali lagi. Jika kita menggunakan transportasi umum hitung-hitung kita memutar roda perekonomian bangsa. Apa itu terlalu jauh? Menurut pendapat saya tidak, karena dengan berkendara umum kita jadi membuka lapangan kerja untuk orang lain. Bagaimana bias? Karena banyak trayek yang dibuka untuk memenuhi kebutuhan penumpang yang berarti membutuhkan banyak tenaga banyak orang untuk mengendarai angkutan umum tersebut. Nah, terbayang tidak sekarang.

Alasan berikutnya adalah gengsi. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, masyarakat Indonesia ini senang sekali dengan pujian. Bermobil mempunyai kepuasan tersendiri karena akan ada orang-orang yang beranggapan kita hebat, kaya, dan banyak lagi ucapan-ucapan sejenis. Tapi alasan ini agak susah diterima, mana mungkin bias untuk alasan-alasan seperti itu dampat menimbulkan kerugian bagi banyak orang.

Saatnya berpikir kritis, dimisalkan setiap satu orang keluar rumah mengendari satu mobil. Ada sepuluh orang yang keluar rumah maka ada sepuluh mobil yang juga keluar. Satu mobil panjangnya sekitar 1,5-2 meter, jika ada sepuluh mobil maka memakan badan jalan sepanjang 20 meter. Anggaplah mobil tersebut berada dalam satu jalur. Jika setiap orang dalam kendaraan menggunakan jasa transportasi umum, maka jalan tersebut bisa diisi oleh sembilan angkutan umum, atau dua sampai tiga bis. Bayangkan lagi, jalanan tidak akan menjadi penuh bukan.

Selain jalanan yang menjadi tidak penuh, hal tersebut akan lebih menguntukan untuk orang lain. Supir angkutan umum atau supir bis akan bekerja lebih baik karena penumpangnya lebih banyak. Dengan situasi seperti ini langsung tidak langsung ekonomi mereka pun menjadi naik. Bukankah ini lebih baik, dapat mengurangi kemacetan sekaligus membantu orang lain, anggap saja bersedekah, jadi bisa dapat pahala lebih.

Dengan berkendara umum juga dapat melatih rasa solidaritas dan kekeluargaan dalam masyarakat. Contohnya bila dalam bis ada seorang ibu-ibu yang membawa bayi tidak mendapatkan tempat duduk, jika kita bukan manusia egoism aka kita akan mempersilahkan ibu-ibu tersebut untuk duduk di tempat kita kan. Beda halnya dengan berkendara pribadi, sebenarnya berkendara pribadi mempunyai indikasi bahwa kita orang yang egois, karena hanya mementingkan kenyamanan sendiri.

Sekarang mulai dengan mencari solusi untuk mengatasi kemacetan yang terjadi. Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi sepertinya menjadi pilihan yang tepat. Selain itu, peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana menjadi kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pengguna demi menarik banyak orang untuk menggunakan fasilitas umum ini.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun