Gunung Slamet, dengan ketinggian 3.428 meter di atas permukaan laut (mdpl), merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah dan menjadi salah satu tantangan tersulit bagi para pendaki. Selain medannya yang menantang, jalur yang panjang serta perubahan cuaca yang ekstrem sering kali membuat pendakian terasa berat. Kali ini, saya bersama seorang teman memutuskan untuk melakukan pendakian tektok, yaitu perjalanan naik-turun tanpa menginap, guna menghemat waktu.
Persiapan dimulai dari Yogyakarta sekitar pukul 9 malam. Perjalanan menuju basecamp Gunung Slamet via Bambangan memakan waktu sekitar lima jam, dengan dua kali istirahat: pertama di Wonosobo untuk membeli logistik dan kedua di Purbalingga untuk mengisi bahan bakar. Setibanya di kota Purbalingga, rasa lelah mulai terasa sehingga kami memutuskan untuk istirahat agak lama sebelum melanjutkan perjalanan.
Saat mendekati daerah Gunung Slamet, hujan deras tiba-tiba mengguyur. Kami segera mengenakan jas hujan dan tetap melaju hingga akhirnya sampai di basecamp dalam kondisi basah kuyup. Rasa lelah dan kantuk menyelimuti, sehingga kami memutuskan untuk tidur sebelum melakukan registrasi pada pagi harinya.
Ketika fajar menyingsing, kami mulai menyiapkan sarapan. Usai mengisi tenaga, saya segera melakukan registrasi di basecamp sekitar pukul 8 pagi. Namun, sebuah kabar mengejutkan datang: aturan basecamp hanya memperbolehkan pendakian tektok hingga pukul 5 pagi. Perjalanan panjang yang sudah kami tempuh seakan tidak berarti karena kami tidak diizinkan naik. Kecewa dan bingung, saya mencoba berbicara dengan sesepuh basecamp. Setelah penjelasan panjang lebar, akhirnya kami diperbolehkan mendaki berkat bantuan seorang bapak yang baik hati.
Perasaan lega segera menggantikan rasa kecewa. Kami tak menyangka bahwa perjuangan panjang dari Jogja hingga basecamp akhirnya membuahkan hasil. Untuk menghemat tenaga, kami memutuskan menggunakan jasa ojek hingga Pos 1. Jalur Gunung Slamet via Bambangan dikenal cukup panjang, sekitar 10 km, dengan total sembilan pos menuju puncak. Setibanya di Pos 1, kami memulai pendakian dengan berdoa, memohon kelancaran dan keselamatan. Suasana pagi itu cukup cerah, memberikan semangat untuk melangkah lebih jauh.
Tiba di Pos 2, kami beristirahat sejenak untuk makan snack dan minum. Jalur yang terus menanjak mulai menguji stamina kami. Perjalanan berlanjut hingga Pos 4, di mana kami disambut sebuah warung kecil. Kami memutuskan untuk mampir, membeli semangka segar, dan berbincang dengan para porter serta pendaki lain. Bertukar cerita dan informasi menambah semangat kami untuk terus melangkah. Percakapan dengan porter membuat kami lebih paham tentang kondisi jalur dan cuaca di puncak. Mereka bercerita bahwa musim hujan ini cukup ekstrem, sehingga pendaki perlu ekstra waspada.
Di Pos 7, kami bertemu kelompok pendaki tektok lain. Mereka memulai perjalanan dari basecamp pada pukul 2 pagi dan baru tiba di Pos 7 pada pukul 10 pagi. Saya terkejut mengetahui waktu tempuh mereka yang begitu lama dibandingkan dengan kami. Setelah itu, perjalanan berlanjut tanpa menemukan Pos 8, mungkin karena penanda hilang. Sebelum mencapai Pos 9, kami memutuskan untuk makan nasi bungkus yang sudah disiapkan dari basecamp. Rasa lapar yang menyerang membuat nasi bungkus sederhana terasa sangat nikmat.
Medan berubah drastis saat memasuki batas vegetasi. Panas menyengat karena waktu sudah siang. Tantangan tidak hanya berasal dari cuaca, tetapi juga dari medan berbatu yang licin akibat hujan sebelumnya. Kami harus berhati-hati agar tidak terpeleset. Semangat terus membara meski kaki mulai terasa berat. Akhirnya, sekitar 4,5 jam dari start, kami tiba di puncak Gunung Slamet. Di sana, kami bertemu sekitar 12 pendaki tektok lainnya yang merasa takjub dengan kecepatan kami. Mereka tidak menyangka bahwa kami memulai pendakian pada pukul 8 pagi, sementara mereka sudah berangkat sejak dini hari.
Di puncak, rasa syukur dan bangga mengalir begitu saja. Pemandangan luar biasa dari puncak Gunung Slamet membayar lunas semua kelelahan. Langit yang cerah memperlihatkan lanskap indah sejauh mata memandang. Kami berbagi cerita dengan pendaki lain tentang perjuangan masing-masing mencapai puncak. Tak lupa, kami mengambil beberapa foto sebagai kenang-kenangan.
Ketika turun, kami tetap menjaga ritme agar tidak terburu-buru, mengingat jalur yang cukup licin. Kami berhenti beberapa kali untuk sekadar minum dan mengatur napas. Saat tiba kembali di basecamp, perasaan lega dan puas benar-benar memenuhi hati. Pendakian kali ini tidak hanya menantang fisik, tetapi juga mental. Keberhasilan mencapai puncak dalam waktu singkat menjadi sebuah kebanggaan tersendiri.