Mohon tunggu...
Mex Rahman
Mex Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Son-Brother-Friend

Bermimpi tiduri Monica Bellucci

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Penggemar

21 Desember 2018   00:26 Diperbarui: 21 Desember 2018   01:24 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Mex Rahman [merangkai sendiri]

"I'm on my time with everyone
I have very bad posture

Sit and drink Pennyroyal Tea
Distill the life that's inside of me
Sit and drink Pennyroyal Tea
I'm anemic royalty....."

Pelan terdengar dari laptop yang kusambungkan ke speaker aktif portable, teriakan Kurt Cobain menyanyikan lagu "Pennyroyal Tea" yang diiringi raungan distorsi kasar gitarnya yang penuh karisma, petikan bass Novoselic yang berwibawa serta gebukan drum yang menghujam keras ke dasar bumi khas Dave Grohl, sejenak memberiku ketenangan menjelang tidurku di malam yang penuh teror ini. Ya, teror. Teror yang diberikan oleh angka-angka yang setiap hari jatuh satu per satu dari kalender itu. Angka-angka itu tak henti memberi teror kepadaku setiap hari, menyiksaku dengan penyesalan-penyesalan, dengan kesalahan yang terulang, dan mengingatkan luka-luka lama yang terlupakan. Aku lelah berjalan tanpa tujuan dan aku takut itu bisa membuatku mati tersesat di persimpangan.

Poster-poster yang menempel di dinding kamarku semuanya bergambar Kurt Cobain dan Nirvana. Sepatu sneakers ala Kurt berjejer rapi di rak sepatuku. Kemeja-kemeja berbahan flanel, kaos-kaos berlogo Nirvana dan celana jeans belel terlipat rapi di lemariku. Buku-buku hardcover yang telah tamat kubaca seperti "Nirvana; The Biggest Rock Band of 90's", "Havier Than Heaven", atau "Cobain Unseen" tersusun rapi di lemari bukuku. Itulah sedikit gambaran betapa aku sangat mengidolakan Kurt Cobain yang merupakan frontman dari grup rock legendaris, Nirvana. Bisa dikatakan, aku adalah penggemar berat Kurt Cobain dan Nirvana.

Aku terus menikmati alunan lagu Nirvana, band favoritku itu sambil berharap bisa tertidur cepat.

Sengaja kumatikan semua lampu di kamarku (aku memang tak bisa tidur di tempat terang), namun kubiarkan gorden terbuka lebar supaya matahari bisa memberi tahuku jika pagi sudah tiba. Meski sudah begitu, aku tak kunjung bisa tertidur jua. Kemudian tanpa sengaja, aku membuka mata yang kebetulan mengarah ke arah jendela dengan gorden terbuka. Disitu kulihat cahaya berwarna kuning membentuk sebuah lorong panjang menyorot jendela itu yang kemudian menembus kacanya. Dari cahaya yang membentuk lorong panjang itu, berjalan turun sesosok bayangan hitam. Bayang itu berjalan ke arahku semakin dekat. Setelah bayangan itu masuk ke kamarku baru bisa kulihat ternyata bayang tadi adalah seorang bocah laki-laki lincah dengan wajah yang sangat pucat. Tingkahnya membuatku kesal, dia berlarian kesana kemari memutari kamarku sambil tertawa terbahak-bahak seolah ingin mengajakku bermain. Buku-buku Nirvana yang tertata rapi di lemari, satu per satu dibacanya kemudian dilemparkan ke atas hingga semuanya berserakan di lantai.

"Hey, siapa kamu?" bentakku kesal, "Pergi!! Aku tidak menyukaimu tingkahmu." Lanjutku.

"Hihihihi... Hihihi... Hihihi...." bocah itu tertawa seolah mengejekku, "aku Boddah... Hihihi... Hihihihi.. Hihihi..." Jawabnya memperkenal diri.

"Boddah?" tanyaku. Sepertinya aku tidak asing dengan namau itu, tapi siapa ya.... aku lupa. Batinku.

"Iya.... Namaku tertulis di surat kematian Kurt Cobain." Jawabnya seolah dia tahu apa yang dipikiranku.

"Boddah? Kaukah itu? Sungguh?" jawabku tak percaya. Kemudian aku berpikir beberapa detik. Bukankah Boddah adalah teman imajiner Kurt ya! Tidak... Tidak... Ini tidak nyata. Batinku.

Dia kembali menjawab pertanyaan di pikiranku itu, "Semua yang diketahui orang bahwa aku adalah teman imajiner Kurt adalah tidak benar. Buktinya sekarang aku disini bersamamu. Nyata bukan?!"

Aku mencoba mengerahkan seluruh akal sehatku untuk meyakini bahwa ini tidak nyata. Namun akal sehat kalah dengan bukti yang jelas bahwa dia benar-benar di depanku bahkan berdialog denganku. Kemudian aku hanya menggut-manggut saja.

"Jika kamu tidak percaya bahwa aku Boddah. Aku bisa membawa bertemu Kurt malam ini. Dia punya band baru lho."

Aku yang sangat mengidolakan Kurt akhirnya percaya dengan pernyataannya, meski sebenarnya akal sehatku menolaknya.

"Haahhh,, Kurt punya band baru?" jawabku terkejut yang disusul dengan anggukan kepalanya.

"Apa nama band barunya dan siapa saja personelnya?"tanyaku yang semakin penasaran.

"Nama band-nya adalah 'Club 27', dia membentuk band itu bersama Jimi Hendrix, Jim Morrison, dan Janis Joplin."

"Wowww, ini pasti akan hebat." Jawabku dengan penuh antusias.

"Bisakah kau membawaku kesana? Aku ingin sekali melihatnya."

"Hihihihihihi..... Hihihihihi..." tawanya yang semakin membuatku kesal.

Kemudian Boddah menggandeng tanganku berjalan melewati cahaya berwarna kuning yang membentuk lorong panjang tadi. Di sepanjang jalan aku melihat semuanya diselimuti cahaya berwarna kuning. Bangunan-bangunan rusak tak terawat, perkebunan-perkebunan yang ditumbuhi tanaman yang belum pernah kulihat sebelumnya, dan pohon-pohon yang berbuah embrio manusia yang menggantung di rantingnya. Orang-orang disana juga sangat aneh. Mereka memakai pakaian berbentuk jubah yang meruncing di ujung kepala, semuanya berwajah datar, dingin, dan pucat. Aku takut dan ingin kembali saja, namun keinginanku melihat 'Club 27' lebih kuat daripada rasa takut. Ini yang membuatku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

"Boddah, apakah kepergian Kurt Cobain adalah sebuah konspirasi atau memang dia bunuh diri?" tanyaku ditengah perjalanan.

"Hihihi.... Biarkan itu tetap menjadi misteri, seperti kehidupan Kurt Cobain yang sulit ditebak." Jawabnya mengesalkan.

Lalu Boddah berhenti di sebuah padang rumput berwarna kuning yang luas. Pohon-pohon di sekelilingnya sama seperti tadi, berbuah embrio manusi yang menggantung di rantingnya.

"Kita tunggu saja disini. Ini pasti ulah si Joplin yang selalu lama dandan sehingga mereka terlambat kesini. Dasar perempuan." Ucapnya agak kesal.

"Oke-lah kita tunggu disini." Jawabku sambil terus melihat di sekeliling padang rumput yang aneh ini.

Tak lama kemudian, datanglah seorang pria kulit hitam dengan membawa gitar yang dipenuhi oleh nyala api. Dia datang bersama seorang pria kulit putih dengan rambut panjang ikal yang berantakan. Meski begitu, pria itu tetap terlihat keren. Semua wanita pasti akan meleleh hatinya ketika melihat matanya yang penuh pesona, berkarisma.

"Itu Jimi Hendrix dan Jim Morrison sudah datang." Kata Boddah.

"Aku melihatnya. Tidak usah kau beri tahu, aku juga sudah tahu. Aku juga mengidolakan mereka." Jawabku.

Kemudian datang seorang wanita berkaca mata bulat dengan pakain compang camping namun masih terlihat sangat seksi dan mempesona. Dia yang berambut panjang berantakan itu datang dengan mobilnya yang terbuat dari kayu. Cara menjalankannya adalah dengan menggerakkan kedua kakinya yang menempel di tanah. Persis seperti orang berjalan agak jongkok.

Kemudian Morrison meneriakinya sambil tertawa terbahak-bahak, "Hey Janis! Apakah Tuhan telah mengambil Mercedes Benz-mu?"

"Jaga mulutmu, Morrison. Tuhan tidak pernah mengabulkan permintaannya." Jawab Hendrix yang kemudian mereka berdua tertawa bersama.

"Hey Morrison!! Jaga lidahmu, setidaknya aku tidak pernah memperlihatkan kemaluanku di atas panggung seperti yang pernah kau lakukan." Balas wanita itu. Kemudian mereka berdua bertengkar dengan akrabnya.

"Dasar Janis Joplin." Kata Jimi Hendrix yang dilanjutkan menyindir Janis Joplin dengan menyanyikan lagu Joplin sendiri yang berjudul Mercedes Benz.

"Oh Lord, won't you buy me a Mercedes Benz?
My friends all drive Porsches, I must make amends.
Worked hard all my lifetime, no help from my friends,
So Lord, won't you buy me a Mercedes Benz............."

Tak lama kemudian, datang seorang pria kurus dengan wajah murung dari arah belakang kami.

"Boddah siapa yang kau bawa kesini? Apakah dia fans Justin Beiber?" tanya pria itu sinis.

"Hey Kurt!" jawab Boddah kaget, "Bukan. Dia bukan fans Beiber. Dia fans beratmu." Lanjut Boddah.

Lalu dia menatapku seraya berkata, "Untung kau bukan fans si brengsek Beiber, kalau kau fans dia, pasti sudah kuhajar kau disini."

"Aku mengagumimu Kurt." Jawabku.

Kemudian dia menyalamiku dan berjalan ke arah ketiga temannya yang sudah siap bermain musik.

Mereka berempat sudah berkumpul yang artinya 'Club 27' sudah siap memainkan musiknya. Morrison duduk paling belakang dengan drumnya, dia merelakan posisi vokalis ke tangan Kurt Cobain karena dia tidak mau melihat Kurt bunuh diri untuk kedua kalinya. Janis Joplin memegang bass karena dia sudah tidak mau bernyanyi karena Tuhan tak kunjung memberinya Mercedes Benz. Jimi Hendrix tetap diposisinya sebagai gitaris terbaiknya dunia. Kurt Cobain di vokal dan membantu Hendrix bermain gitar.

Lagu pertama yang mereka bawakan adalah Smells Like Teen Spirit. Mereka membawakannya jauh lebih hidup ketimbang waktu Kurt bersama Nirvana. Aku sangat menikmati pertunjukan itu. Berjoget bersama Boddah, lalu kami berdua pun ikut naik ke atas panggung. Inilah saat paling menyenangkan yang pernah kurasakan.

Hingga akhirnya mereka, 'Club 27' itu memainkan lagu milik Leonard Cohen yang berjudul "Leaving The Table" . Lagunya yang mendayu-dayu semakin memabukkanku.

"I'm leaving the table
I'm out of the game
I don't know the people
In your picture frame
If I ever loved you, oh no, no
It's a crying shame
If I ever loved you
If I knew your name........"

Sampai di pertengahan lagu aku masih mabuk terbuai kehebatan bermusik 'Club 27' sebelum aku ingat sebuah lirik yang pernah ditulis Kurt Cobain dalam lagu "Pennyroyal Tea" yang berbunyi "Give me a Leonard Cohen afterworld...... So I can sigh eternally". Lirik lagu itu yang akhirnya menyadarkanku untuk pergi daritempat itu dan kembali kerumahku.

Leonard Cohen? Mereka sedang memainkan lagu Leonard Cohen. Lalu lirik selanjutnya di "Pennyroyal Tea" setelah menyebut nama Leonard Cohen adalah 'So I can sigh eternally'. Ini berarti Kurt Cobain ingin aku bernafas selamanya disini bersamanya. Tidak.... Aku harus pergi dari sini... Ucapku dalam hati.

Aku berlari sekuat tenaga menuju cahaya berwarna kuning yang membentuk sebuah lorong panjang untuk kembali ke rumahku. Namun Boddah telah menutup pintu itu. Kurt Cobain bersama keempat temannya telah menyegatku di lorong cahaya itu. Mereka mengikatku dan membawaku ke padang rumput tadi. Embrio-embrio manusia yang tergantung di ranting pohon satu per satu lahir dan berbentuk sangat mengerikan lebih mengerikan daripada Zombie. Kemudian mereka mengajakku bermain dengan permainan-permainan yang mengerikan.

Aku berontak, aku berteriak sekencang-kencangnya hingga aku terbangun di tempat tidurku dalam posisi duduk dengan selimut masih menyelimuti kakiku. Kulihat disekeliling kamarku memastikan semua normal dan aku hanya bermimpi. Lalu kudengar seseorang mengetuk pintu kamarku dan berkata, "Hey kenapa kamu, tengah malam berteriak begitu?"

"Maaf Mah, aku mimpi buruk."

-----SELESAI-----

*Jangan mengaku mengidolakan sesuatu kalau belum bermimpi bertemu dengannya saat tidur.. Hahaha.. Pisss,, cuma becanda..

*Ide cerita dari sampul album kompilasi Nirvana berjudul "Incesticide".

Wikipedia
Wikipedia
Salam,

-Mex'r-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun