Direktorat Jenderal Pajak dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab saat realisasi penerimaan pajak sampai dengan Oktober 2015 yang masih jauh dari target. Ini adalah hal yang sangat biasa, biasa salah. Orang pajak disalahkan untuk sesuatu yang tidak dilakukannya, penyusunan target terlalu dipaksakan, angka turun dari langit.
Padahal dengan adanya system selfassesment kita sama-sama memahami bahwa penerimaan pajak itu berasal dari pembayaran uang yang dimiliki wajib pajak, dari penghitungan, penyetoran dan pelaporan mereka sendiri. Wajib Pajak diberi keleluasaan penuh untuk menghitung pajaknya, menyetorkan sendiri, dan melaporkan sendiri. Besar kecilnya, jumlah berapa yang harus dibayar, harus bayar atau tidak itu hanya wajib pajak dan Tuhannya yang tahu.
Jadi kenapa jadi petugas pajak yang salah? Aneh, bingung, gagal paham, atau sesat pikir. Petugas pajak tugasnya hanya mengawasi, dan memberi konsultasi akan kewajiban perpajakan apabila diperlukan. Walaupun kita harus mengakui bersama-sama, disinilah kelemahan DKP saat ini. Pemahaman wajib pajak yang masih jauh dari ideal. Ya gimana bisa, DJP itu kecil, tapi harus menanggung beban yang besar.
Bagaimana negara tidak siap-siap bunuh diri, ketika pendanaan sebagian besar berasal dari pajak tetapi pengelola negara ini justru tidak paham bagaimana mekanisme pemungutan pajak, tidak paham bahwa ketika target tidak tercapai sebagian besar disebabkan oleh pihak eksternal yaitu Wajib Pajak dan Sistem cek and balance yang seharusnya ada untuk melakukan control terhadap seluruh transaksi keuangan. Jelas-jelas disini ada pemahaman yang keliru dan parah, untuk hal yang sangat besar.
DJP Dikerdilkan
Peran DJP begitu besar, Pegawainya sangat banyak, Institusinya besar. Tetapi secara nyata dan fakta DJP dikerdilkan oleh negaranya sendiri. Jika dilihat dalam komposisi penerimaan negara, baik dari sektor migas, sektor BUMN tidak lebih dari 20 persen tetapi mereka di bawah kementerian tersendiri, tetapi tidak halnya dengan DJP. Saya sangat memahami, pola kerja di DJP sangat berbeda dengan para pimpinan yang berasal dari kalangan politik. Manuver sebuah keputusan, kepentingan yang selalu dititipkan lewat DJP oleh kemenkeu sangat kental. Walaupun yang namanya kepentingan itu tidak mungkin diteriakkan keras atau dicorongkan suaranya, bagaikan angin, tidak terlihat tapi dapat dirasakan.
Sudah seharusnya, sudah selayaknya DJP untuk dibesarkan. DJP yang seharusnya bisa lebih baik dan lebih besar dari ini, yang seharusnya bisa melakukan banyak hal justru dikerdilkan oleh pemimpinnya sendiri atas nama kepentingan dan popularitas.
Pajak adalah Jantung negeri Ini
Pajak memang bukanlah hadiah, atau bonus. Tidak ada yang suka membayar pajak, bisa dikatakan jarang yang sukarela seperti halnya orang membayar zakat atau membayar iuran listrik. Tetapi pajak tetap harus ada dan harus kuat, karena kelangsungan kehidupan negara ini berasal dari pajak.
Mengerdilkannya tanpa disadari kita sama saja mengerdilkan negara ini. Pajak adalah jantung negeri ini, denyut kehidupan negeri, dari sanalah semua roda pembangungan dan kehidupan negara bergantung. Suka ga suka, mau tidak mau, harus dan wajib mengerti, sadar untuk membayar pajak.
Ga suka, sama saja kita menginginkan negeri ini hancur, dan mundur teratur. Ga bayar pajak, apalagi mereka adalah pejabat negara, sama saja mereka menggembosi negara ini, sungguh ironis dengan cita-citanya untuk membangun bangsa.