Program Kampus Merdeka (MSIB) dirancang untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa meraih pengalaman kerja yang relevan dan menyiapkan diri menghadapi dunia profesional. Namun, di balik keberhasilan pelaksanaannya, terdapat kisah-kisah perjuangan yang jarang terdengar. Salah satunya adalah kisah seorang mahasiswi dari daerah kecil yang memutuskan merantau ke kota untuk mengikuti program ini, meskipun kondisi ekonomi keluarganya tidak memungkinkan memberinya uang saku. Dengan tekad kuat, ia tetap berangkat membawa harapan keluarganya, meski harus menanggung semua kesulitan seorang diri.
“Terkadang, kesuksesan lahir dari perut yang lapar, tubuh yang lelah, dan doa yang tak pernah berhenti. Yang penting bukan seberapa cepat kita sampai, tetapi seberapa kuat kita bertahan.”
Realitas hidup di kota ternyata jauh lebih berat dari yang ia bayangkan. Karena keterbatasan biaya, ia jarang sarapan sebelum berangkat magang. Akibatnya, ia kerap merasa pusing, penglihatannya kabur, bahkan sempat pingsan ketika mengikuti rapat pagi. Penyakit asam lambung yang ia derita semakin memperburuk keadaannya—sering membuatnya demam, muntah, dan tidak mampu makan atau bergerak. Namun, ia memilih diam, menutupi rasa sakitnya agar tidak merepotkan orang lain dan tidak ingin dikasihani.
Kesulitannya semakin bertambah karena insentif magang yang menjadi harapannya hanya cair setiap empat bulan sekali. Jika dana tersebut cair setiap bulan, ia masih bisa mengatur pengeluaran dengan lebih baik. Namun, kenyataan membuatnya harus bertahan dengan tabungan seadanya, atau bahkan tanpa uang sama sekali. Dana yang akhirnya cair pun langsung ia gunakan untuk melunasi tunggakan biaya kuliah, sehingga tidak ada yang tersisa untuk dirinya. Prinsip “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian” menjadi pegangan hidupnya, walau kenyataannya ia belum merasakan kesenangan itu karena semua hasil kerja kerasnya habis untuk kewajiban akademik.
Kisah mahasiswi ini merupakan potret nyata keteguhan hati dan daya juang mahasiswa di tengah keterbatasan. Ia menunjukkan bahwa keberhasilan mengikuti program magang bukan hanya ditentukan oleh capaian akademik atau pengalaman kerja yang diperoleh, tetapi juga oleh kemampuan bertahan menghadapi kesulitan hidup. Kisahnya mengajarkan pentingnya empati dan dukungan terhadap mahasiswa, agar semangat belajar mereka tidak padam hanya karena kendala finansial.
“Terkadang, kesuksesan lahir dari perut yang lapar, tubuh yang lelah, dan doa yang tak pernah berhenti. Yang penting bukan seberapa cepat kita sampai, tetapi seberapa kuat kita bertahan.”
Sebagai catatan penting, kisah ini juga menjadi panggilan bagi semua pihak—pemerintah, kampus, dan penyelenggara program—untuk lebih memperhatikan kesejahteraan mahasiswa magang. Sistem pencairan insentif yang terlalu lama dapat menjadi beban psikologis dan fisik bagi mahasiswa yang hidup pas-pasan. Dengan perbaikan mekanisme pencairan, pemberian fasilitas pendukung, atau setidaknya kebijakan yang lebih ramah mahasiswa, maka program magang dapat benar-benar menjadi sarana pembelajaran yang mendukung, bukan malah menjadi sumber tekanan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI