Di suatu sore yang mendung, seorang pria bernama Bang Rudi terbaring lemas di ruang IGD. Bukan karena hipertensi, bukan pula karena kolesterol. Dokter jaga pun kebingungan: hasil lab normal, tekanan darah stabil, tapi wajah Bang Rudi tampak pucat seperti limit kartu kredit yang baru saja ditolak.
"Gejalanya mirip stroke, Dok," ujar perawat. Â
"Tapi ini bukan stroke biasa," jawab sang dokter sambil menatap layar Instagram pasien.
Di sana terpampang jelas: foto Bang Rudi sedang duduk di atas kap mobil mewah, caption-nya berbunyi, "Kerja keras itu penting, tapi flexing itu legacy."
Diagnosis Awal: Stroke Belanja Akut
Setelah ditelusuri, ternyata Bang Rudi mengalami ketidakseimbangan fatal antara stroke gaji dan stroke belanja. Gajinya masuk tanggal 25, tapi tanggal 26 sudah tinggal sisa Rp 17.000, itu pun belum dipotong biaya admin.
Gejalanya khas:
- Sering gemetar saat melihat diskon 11.11
- Sulit bicara saat ditanya "tabungan udah berapa?"
- Lumpuh sementara setiap kali Shopee PayLater mengirim notifikasi
Flexing: Gaya Hidup atau Gejala?
Fenomena ini bukan kasus tunggal. Banyak warga +62 yang mengalami stroke belanja karena tekanan sosial untuk tampil sukses. Di era digital, keberhasilan sering diukur dari feed Instagram, bukan dari fondasi finansial.
Mereka rela:
- Cicil iPhone 16 Pro Max demi foto mirror selfie
- Nongkrong di kafe estetik meski dompet tinggal QRIS kosong
- Beli sneakers edisi terbatas, padahal utang edisi tak terbatas
Kata Dokter: "Ini bukan penyakit, ini gaya hidup yang salah arah."
Dokter IGD pun akhirnya membuat poster edukatif: Â
"Kenali Sejak Dini Gejala Stroke!!! Penyebab utamanya adalah ketidakseimbangan antara stroke gaji dan stroke belanja."