Satu Kalimat yang Mengguncang Dunia Pendidikan
Di tengah riuhnya dunia teknologi, sebuah kalimat pendek meluncur dari mulut Jad Tarifi, pendiri tim AI generatif pertama di Google. Kalimat itu tidak berteriak, tapi menggema jauh ke ruang-ruang kuliah, ruang keluarga, dan ruang batin para pendidik.
 "Gelar dokter dan pengacara akan sia-sia."
Ia tidak sedang bercanda. Ia tidak sedang meremehkan profesi. Ia sedang menyampaikan kenyataan yang sudah mulai terjadi---bahwa AI kini mampu melakukan banyak hal yang dulu hanya bisa dilakukan oleh manusia bergelar tinggi.
Di Indonesia, di mana gelar adalah lambang martabat, harapan keluarga, dan pintu masuk ke dunia kerja, pernyataan ini terasa seperti gempa kecil yang menggoyang fondasi lama. Tapi apakah kita akan menutup telinga, atau justru membuka mata?
Dari Hafalan ke Kemanusiaan
Tarifi melihat bahwa pendidikan yang hanya melatih hafalan dan prosedur akan segera usang. AI bisa membaca ribuan jurnal medis dalam hitungan detik. Ia bisa menyusun argumen hukum dengan presisi algoritmik. Maka, jika kita masih mendidik anak-anak untuk menghafal dan mengikuti pola, kita sedang mempersiapkan mereka untuk dunia yang sudah tidak ada.
Namun manusia bukan mesin. Kita punya intuisi, empati, dan keberanian untuk meragukan. Kita bisa mendengar suara yang tidak tertulis, merasakan luka yang tidak terlihat, dan memilih jalan yang tidak logis tapi penuh kasih.Â
Di sinilah pendidikan diuji. Bukan pada seberapa cepat kita menjawab soal, tapi seberapa dalam kita memahami hidup.
Dokter: Dari Penyelamat Nyawa ke Operator Sistem?
Di ruang praktik medis, AI telah menunjukkan keunggulan dalam membaca hasil radiologi, mendiagnosis penyakit langka, bahkan memprediksi risiko kesehatan berdasarkan data genetik. Di beberapa negara, sistem AI sudah digunakan untuk menyaring pasien, menyusun rencana perawatan, dan memantau kondisi secara real-time.
Namun, profesi dokter bukan sekadar algoritma. Ia adalah pelayan kehidupan, penjaga harapan, dan pengemban empati. Ketika seorang pasien menatap mata dokter dan bertanya, "Apakah saya akan sembuh?", tidak ada AI yang bisa menjawab dengan kehangatan dan keberanian yang sama.
Di Indonesia, hanya sebagian kecil fakultas kedokteran yang mulai mengintegrasikan telemedicine dan teknologi AI ke dalam kurikulum. Sementara itu, dunia medis sudah berubah. Pasien kini berkonsultasi lewat layar. Diagnosa bisa datang dari mesin. Maka, pendidikan kedokteran harus berani melampaui anatomi dan protokol, menuju ruang refleksi dan relasi.