Karpet membentang seperti ladang spiritual. Lampu gantung kristal menyiramkan cahaya hangat yang tidak menyilaukan, namun membelai hati. Mimbar kayu ukir khas Palembang bukan sekadar tempat berdiri khatib, tetapi seperti lidah warisan yang menyampaikan pesan generasi ke generasi.
Bedug Besar: Detak Tradisi yang Menolak Dilupakan
Di sisi dalam masjid, berdiri sebuah bedug besar yang terbuat dari kayu pilihan dan kulit asli, digantung dalam rangka ukiran khas Palembang. Di permukaannya tertulis "Masjid Agung Palembang" dalam aksara Arab dan Latin, seolah menjadi pengingat bahwa suara spiritual tidak hanya datang dari pengeras suara, tetapi juga dari tradisi yang telah berabad-abad.
Bedug ini bukan sekadar alat pemanggil salat. Ia adalah detak jantung komunal, yang dahulu digunakan untuk menandai waktu ibadah sebelum azan dikumandangkan melalui mikrofon.Â
Dalam sejarahnya, bedug menjadi penanda waktu salat Jumat, hari raya, dan momen-momen penting keagamaan. Ia menggetarkan ruang bukan dengan volume, tetapi dengan resonansi batin.
Makna spiritualnya terletak pada ritme yang menghubungkan langit dan bumi. Setiap pukulan bedug adalah panggilan lembut kepada umat untuk kembali ke pusat diri, untuk mengingat bahwa ibadah bukan hanya rutinitas, tetapi juga perjumpaan.Â
Di tengah modernitas, bedug ini tetap berdiri sebagai simbol bahwa tradisi tidak mati---ia hanya menunggu untuk didengar kembali.
Tempat Wudhu: Sungai Kecil Menuju Keheningan
Di tempat wudhu, air mengalir perlahan di antara batu-batu alam. Suara gemericik itu bukan hanya menyegarkan tangan dan wajah, tetapi membersihkan niat. Ruang ini seperti sungai kecil yang mengantarkan kita menuju keheningan di hadapan Sang Pencipta.