Bayangkan seorang anak bernama Raka. Ia duduk di bangku kelas 7 dan baru saja menyelesaikan tugas membuat puisi tentang kehidupan masa depan.Â
Tapi bukan puisi biasa---ia diminta menyusun narasi yang bisa dipahami oleh kecerdasan buatan dan diterjemahkan menjadi visual yang menggambarkan harapan sosial.
Di ruang kelas tempat ia belajar, tak lagi ada papan tulis konvensional. Sebagai gantinya, hadir ruang-ruang diskusi tempat para murid saling bertanya dan mengasah gagasan---bukan sekadar menjawab soal.
Di sinilah pendidikan masa depan berakar. Bukan dari kecanggihan teknologi, melainkan dari kemanusiaan yang terus diasah.
Dari Kodifikasi ke Refleksi: Mengapa Pendidikan Harus Berubah?
Era kecerdasan buatan telah menggeser arah pendidikan: dari sekadar menghafal menuju memaknai.
Jika dahulu kemampuan coding dipuja sebagai keterampilan masa depan, kini anak-anak seperti Raka justru ditantang untuk lebih banyak bertanya---karena teknologi sudah mampu menjawab hampir segalanya.
Namun, hanya manusia yang mampu bertanya dengan nurani, menyelami etika, menangkap emosi, dan meraba intuisi moral.
Di sinilah letak pembeda yang tak tergantikan.
Keterampilan Inti yang Perlu Ditanamkan
1. Berpikir Kritis dan Reflektif
Bukan hanya menghitung hasil, tapi menyelami makna.
Siswa diajak merenungi pertanyaan seperti: "Apa dampak sosial dari teknologi ini? Siapa yang terbantu, dan siapa yang tertinggal?"
2. Komunikasi Naratif
Raka tak hanya menyajikan data, tetapi merangkai kisah---tentang keluarganya yang bertahan, komunitas yang berubah, dan harapan yang dijahit melalui teknologi.
3. Empati dan Kecerdasan Emosional
Pelajaran sejarah tak lagi hanya soal perang dan pahlawan, tapi tentang kehilangan, trauma, dan harapan yang diwariskan.
Pendidikan menjadi ruang untuk merasakan, bukan sekadar mengetahui.
4. Etika Digital dan Tanggung Jawab Teknologi
Siswa tak hanya diajari membuat aplikasi, tapi diajak menimbang:
Apakah teknologi ini menciptakan keadilan? Apakah ia merangkul atau justru mengucilkan?
5. Literasi AI dan Prompt Engineering
Anak-anak belajar berdialog dengan AI, bukan sebagai pengendali, tapi sebagai rekan berpikir.
Karena prompt bukan sekadar instruksi teknis, melainkan cerminan nilai dan visi.