Bayangkan dua anak muda berusia 23 tahun, selisih satu dekade. Keduanya baru lulus kuliah, penuh semangat, dan memulai karier pertamanya.Â
Yang satu, milenial dari tahun 2013. Yang satu lagi, Gen Z dari 2023. Keduanya memiliki impian yang sama: hidup layak, mandiri, dan bisa menabung untuk masa depan.
Tapi nasib mereka tak berjalan seiring.
Menurut data TransUnion, pada kuartal keempat 2023, rata-rata pendapatan Gen Z usia 22--24 hanya sebesar US$45.493, sementara milenial pada usia yang sama di tahun 2013 (disesuaikan dengan inflasi) mendapatkan US$51.825.Â
Bukan cuma soal gaji yang lebih kecil---rasio utang terhadap pendapatan Gen Z pun lebih tinggi (16,05% vs 11,76%).Â
Perbedaan ini bukan kebetulan, tetapi akibat serangkaian faktor struktural yang membentuk dua lanskap ekonomi yang sangat berbeda.
Era yang Membentuk Realitas
Milenial datang dari era pemulihan pascakrisis global 2008. Banyak dari mereka masuk dunia kerja saat ekonomi mulai stabil, properti masih terjangkau, dan pasar investasi terbuka luas. Sementara Gen Z tumbuh dalam turbulensi: pandemi, inflasi global, krisis biaya hidup, dan lapangan pekerjaan yang berubah drastis karena otomasi dan gig economy.
Inflasi kumulatif sejak 2013 mencapai 32%, menekan daya beli Gen Z lebih keras daripada yang pernah dialami milenial muda. Mereka menghadapi dunia di mana harga sewa rumah melambung, biaya pendidikan menjulang, dan "stabilitas" jadi kemewahan.
Strategi Berbeda, Risiko Berbeda
Perbedaan ini melahirkan dua karakter finansial yang kontras.
Gen Z: Digital-native yang gesit, mereka berinvestasi lewat aplikasi, menjajal kripto, saham teknologi, hingga NFT. Mereka mengincar kebebasan finansial, bukan kemapanan jangka panjang. Tapi minimnya literasi investasi dan ketergantungan pada tren membuat mereka rentan terjebak hype dan FOMO.