Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Konsultan - Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Rontoknya Bisnis Hypermarket di Tengah Perubahan Perilaku Konsumen

28 November 2024   08:41 Diperbarui: 29 November 2024   07:44 5272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Giant tinggal kenangan, Sumber: Dokumentasi Merza Gamal 

Beberapa tahun lalu, hypermarket adalah simbol modernitas. Kita ingat bagaimana masyarakat rela menempuh perjalanan jauh untuk berbelanja di tempat ini. Lorong-lorong panjang yang penuh barang, promo menarik, dan suasana belanja yang meriah menjadi daya tarik tersendiri.

Namun, seiring waktu, keadaannya berubah drastis. Kini, satu per satu hypermarket tutup gerai, dan meninggalkan pertanyaan besar: mengapa mereka tumbang?

Jawabannya ada pada perubahan cara kita berbelanja. Kehidupan masyarakat modern semakin dinamis, dan konsumen sekarang lebih memilih cara belanja yang praktis, cepat, dan efisien.

Mereka tidak lagi ingin menghabiskan waktu lama menyusuri lorong hypermarket yang luas. Sebaliknya, pilihan mereka jatuh pada toko yang lebih kecil dan dekat, atau bahkan layanan belanja daring yang semakin populer.

Hypermarket, dari Jaya ke Senja

Hypermarket pernah menjadi fenomena luar biasa di Indonesia. Pada tahun 1990-an dan awal 2000-an, mereka menjadi primadona dalam dunia ritel. Salah satu pemain pertama adalah Makro, yang hadir pada 1992 sebagai pionir konsep toko grosir besar.

Makro menarik perhatian dengan penawaran barang dalam jumlah besar dan harga kompetitif, khususnya untuk usaha kecil dan menengah. Namun, pada 2008, Makro dijual ke Lotte Mart, menandai awal dari perubahan besar dalam industri hypermarket.

Di sisi lain, Carrefour memasuki Indonesia pada 1998 dengan konsep belanja modern yang memikat banyak orang. Selama bertahun-tahun, Carrefour menjadi pilihan utama keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun, pada 2012, Carrefour menjual sebagian besar sahamnya kepada CT Corp dan perlahan-lahan digantikan oleh merek lokal Transmart. Meskipun sempat mencatat sukses besar, Transmart kini menghadapi tantangan besar dan harus menutup banyak gerainya.

Nama besar lain seperti Giant juga tidak mampu bertahan. Setelah lebih dari dua dekade melayani masyarakat, pada 2021 Giant mengumumkan penutupan seluruh gerainya di Indonesia. Beberapa gerai bahkan diubah menjadi toko-toko Hero Supermarket atau IKEA. Fenomena ini menunjukkan bahwa bahkan merek besar pun tidak kebal terhadap perubahan zaman.

Selain itu ada Hypermart, yang dimiliki oleh Matahari Group, masih bertahan di pasar meskipun menghadapi berbagai tantangan. Meskipun sempat menutup beberapa gerai selama pandemi, Hypermart mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan pada tahun 2023.

Pada tahun 2024, manajemen Hypermart berharap dapat kembali meraih profitabilitas. Saat ini, Hypermart masih beroperasi dengan 111 gerai di seluruh Indonesia dan terus menawarkan berbagai produk, termasuk elektronik dan barang kebutuhan rumah tangga, dengan promosi yang menarik untuk menarik konsumen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun