Mohon tunggu...
I Ketut Merta Mupu
I Ketut Merta Mupu Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pendamping Sosial PKH Kementerian Sosial RI

Alumni UNHI. Lelaki sederhana dan blak-blakan. Youtube : Merta Mupu Ngoceh https://youtube.com/@Merta_Mupu_Ngoceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jin Menurut Kepercayaan Orang Bali

16 Agustus 2017   11:04 Diperbarui: 16 Agustus 2017   11:13 19385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keberadaan mahkluk gaib atau mahkluk astral, baik yang jahat maupun yang baik dikenal oleh masyarakat di berbagai kebudayaan dunia. Dalam tradisi Veda dikenal Sura dan Asura; Sura termasuk golongan mahkluk suci yang dominan sifat baiknya yaitu para dewa, seperti; aditya, astavasu, para rsi surga, prajapati, gandarwa (artis kahyangan), vidyadara-vidyadari dan para pitra (roh leluhur). Sedangkan Asura atau Paisaca-paisaci termasuk golongan mahkluk astral dominan jahat, seperti, Detya, Raksasa, dan lain sebagainya. Baik asura maupun sura sama-sama memuja Tuhan: Mahadewa, dewanya dewa. Akan tetapi ketika Asura mendapat karunia dari dewanya dewa, mereka cenderung menyalahgunakan karunia itu, ingin menguasai alam surga atau alam para dewa, bahkan membangkang pada Tuhan. Dalam teks-teks mitologi Hindu, terutama dalam kitab purana seringkali nama mahkluk gaib ini berakhiran sura, seperti Mahesasura, Durgasura, Tarakasura, Tripurasura, dslb. 

Bila kita cermati mitologi Hindu, asura maupun sura sama-sama ciptaan Tuhan dan sama-sama memuja Tuhan. Akan tetapi mereka bermusuhan, bahkan permusuhan mereka abadi, walau terkadang bekerja sama seperti pada kisah pemutaran gunung mandara. Menariknya, asura dan sura menjadikan manusia sebagai tempat reinkarnasi atau medan penjelmaan, sehingga permusuhan mereka itu juga terjadi diantara manusia seperti kisah-kisah yang terdapat dalam Itihasa Ramayana dan Mahabharata.

Kita sebagai masyarakat Indonesia sering mendengar istilah Jin, istilah yang berasal dari ajaran Islam. Katanya, jin merupakan turunan dari Iblis, dan kemudian mereka beranak pinak sebagaimana layaknya manusia. Mereka memiliki jenis kelamin dan tinggal di berbagai tempat, seperti batu, kuburan, tempat kotor, pohon, dan lain sebagainya. Jin bisa melihat manusia, tetapi manusia tidak bisa melihatnya.

Bila kita cermati tentang Iblis dan Jin dari ajaran Islam, sepertinya yang dimaksud Iblis dalam ajaran Hindu adalah golongan Asura seperti daitya, raksasa, dslb. Sedangkan jin merupakan turunannya, mereka dominan jahat akan tetapi ada pula yang baik. Dalam budaya Bali terdapat berbagai istilah untuk menyebut bangsa Jin ini, seperti Samar Agung, Wong Samar, dan sebagainya. 

Di tempat saya disebut Sang Wengi atau adakalanya dipanggil Pekak Wengi (kakek malam).  Dalam ajaran Hindu, mahkluk gaib jenis ini diijinkan beraktivitas pada malam hari, sedangkan manusia pada siang hari. Oleh karena itu manusia tidak baik bekerja pada malam hari. Hal ini bisa kita buktikan dengan beberapa kejadian, bahwa jin seringkali dapat dilihat oleh orang yang memiliki kemampuan kusus pada saat sandi kala (mahgrib) dan menjelang pagi hari. Kemungkinan saat mahgrib baru mau keluar rumah, sedangkan pagi hari mau pulang ke rumahnya. Hal itu sesuai juga dengan nama lokalnya yaitu Sang Wengi: Sang merujuk pada suatu sosok, sedangkan wengi artinya malam. Bila diterjemahkan bebas menjadi mahkluk gaib yang menguasai malam.

Berdasarkan tradisi di Bali, golongan mahkluk gaib yang benar-benar sakti dengan kekuatan negatif disebut Kala atau Bhuta Kala, kemungkinannya ini tergolong iblis. Terdapat beberapa nama mahkluk gaib jenis ini seperti Kala Dengen, Kala Mertyu, dan lain-lain. Akan tetapi mahkluk gaib ini justeru menjadi bagian dari pasukan dewa, unen-unen, ancangan beliau.  

Mereka sering mengganggu kegiatan keagamaan sehingga setiap umat Hindu melaksanakan suatu ritual selalu membuat banten caru untuk bhuta kala; ritual panulak atau penjinak kala, nyomia bhuta. Bahkan dalam persembahan keseharian juga wajib mempersembahkan persembahan untuk golongan mahkluk gaib ini supaya tidak mengganggu, tujuannya untuk nyomia; menetralisir kekuatan negatif, bukan menyembah.  

Biasanya yang diberi persembahan itu adalah Kala Bucari (di tempat pintu keluar), Bhuta Bucari (di lebuh, pusat halaman rumah), dan Durga Bucari (di tepi jalan dekat pekarangan). Bilamana pekarangannya tergolong karang panes, ditambah lagi persembahan di palinggih Sanghyang Indra Belaka atau Rajanya Kala (rajanya iblis) yang merupakan perwujudan negatif dari Bhatara Shiwa. Bila kita cermati kisah Purana, sepertinya yang dimaksud Sanghyang Indra Belaka adalah Mahakala. Semua jenis jin, butha-kala, tunduk pada beliau.

Jin dalam budaya Bali kekinian juga dibuatkan palinggih. Menurut seorang teman di media sosial palinggih mereka disebut palinggih Kalimaya. Di tempat saya disebut Palinggih Sang Wengi. Pembuatan palinggih jin tersebut sebagai penanda ataupun pengayingan agar lebih mudah memberikan persembahan. Konsep yang diterapkan di Bali dengan mahkluk gaib ini adalah dengan persahabatan, bukan permusuhan, tidak seperti yang dilakukan pemeluk Islam murni yang cenderung memusuhi jin dengan doa-doa yang diambil dari Alquran. Menurut seorang teman, dalam budaya Jawa atau kejawen, jin juga diperlakukan bukan dengan permusuhan melainkan serupa dengan cara di bali, yaitu dengan persahabatan,  berdamai dengan mereka. Persahabatan yang dimaksud bukan bersekutu dengan jin melainkan saling menghormati keberadaan masing-masing.

Cara mempersembahkan persembahan kepada Sang Wengi berbeda dengan pemujaan kepada Dewa. Untuk Sang Wengi cukup hanya dengan ngayabang, jangan menyembahnya karena hampir setara dengan manusia. Doanya didahului dengan kata 'Mantra Ih.. .' Umpamanya; 'Mantra Ih Sang Wengi, iki tadah sajin nira'. Sedangkan doa untuk dewa didahului dengan kata 'Mantra Om..' 

Menurut kepercayaan masyarakat lokal, pada umumnya rumah Sang Wengi ada di pohon yang sudah tua, adakalanya pula ditandai dengan rerumputan yang bisa bertahan puluhan tahun, seperti rumput 'belu'. Juga tinggal di batu, pundukan (bukit kecil),  dan paling banyak berada di goa yang ada di jurang. Katanya, mereka yang tinggal di jurang cenderung jahat, sedangkan yang tinggal di bukit kecil memiliki kekuasaan di alam mereka, menjadi penguasa. Oleh karena itulah Sang Wengi yang tinggal di bukit kecil seringkali diajak bersahabat oleh manusia, karena sifat baiknya dominan. Dalam kepercayaan Islam, ada juga istilah jin Islam (jin yang beriman) dan Jin Kafir (jin jahat), ada juga Jin Qarin, jin pendamping manusia. Bahkan Nabi Muhamad memiliki jin pendamping, akan tetapi jin pendamping tersebut tunduk pada nabi. Bahkan konon nabi Sulaiman dibantu jin dalam perang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun