Mohon tunggu...
Merry Witham
Merry Witham Mohon Tunggu... Penulis cerita ringan

Penyuka tulisan berbagai genre

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menjahit Waktu di Usia Senja

2 Oktober 2025   15:22 Diperbarui: 2 Oktober 2025   15:22 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang penjahit (Sumber meta AI)

Tanpa terasa sekarang ini aku memasuki usia lansia. Sudah lebih dari 40 tahun tanganku terbiasa memegang jarum dan benang. Dari zaman mesin jahit yang masih dikayuh, sampai sekarang mesin listrik yang serba otomatis, aku tetap setia duduk di sudut kecil rumahku, menjahit harapan dalam bentuk pakaian yang dipesan pelangganku.

Aku belajar menjahit dari seorang guru jahit di kampung---bukan di sekolah mode atau kursus menjahit yang mahal, tapi di ruang tamu kecil guruku. Waktu itu aku masih sangat muda, baru saja lulus SMA, belum tahu arah hidup mau kemana. Akan tetapi setiap kali tanganku berhasil menyambungkan potongan kain menjadi satu bentuk, aku merasa punya kendali atas hidupku kedepannya. Aku memutuskan untuk menjadi seorang penjahit.

Modal awalku bukan uang, tapi keinginan keras dan percaya diri.

Aku menabung sedikit demi sedikit dan membeli mesin jahit bekas. Aku mencoba menjahitkan baju tetangga, memendekkan celana, sampai memperbaiki resleting. Tidak langsung besar, tapi dari sanalah semuanya tumbuh. Perlahan tapi pasti aku menikmati setiap proses membuat potongan-potongan kain menjadi baju sesuai pesanan.

Pojok rumah perlahan menjadi ruang kerjaku. Namaku mulai dikenal karena hasil kerja yang rapi dan aku sabar melayani setiap pelanggan yang datang. Aku berusaha memenuhi keinginan pelanggan sekaligus memberikan saran yang baik. Bagaimana model baju yang sesuai dengan ukuran tubuh dan untuk suasana apa baju tersebut dipakai. 

Tak terasa, tahun-tahun berlalu---anak-anak sudah tumbuh besar, beberapa ikut membantuku, dan pelangganku pun datang silih berganti.
Aku menjahit tanpa mengenal lelah. Setiap ada pesanan menjahit datang, aku kerjakan secepat dan serapih mungkin.

Hingga beberapa tahun lalu, aku mulai merasa letih. Fisikku tidak sekuat dan prima seperti dulu. Untuk duduk cukup lama, pinggangku sering terasa sakit. Anak-anak menyarankan aku untuk pensiun. "Biar kami yang cari nafkah ya Bu, Ibu cukup di rumah saja," katanya. Aku pun perlahan berhenti menjahit.

Hari-hariku kini berubah drastis. Terasa menyenangkan pada awalnya : bangun tidur tanpa alarm, duduk manis di teras sambil minum teh atau kopi, menonton televisi acara kesayanganku. Tetapi lama kelamaan, aku merasa ada ruang kosong dalam jiwaku yang tidak bisa diisi hanya dengan duduk diam. Setiap kali aku lewat di depan mesin jahit yang teronggok diam di sudut rumah dan mulai berdebu, ada rindu yang tak dapat kusembunyikan. Aku hanya bisa menatapnya, rindu pada masa lalu. Aku ingin tetap aktif seperti dulu, punya rutinitas pekerjaan supaya aku merasa berguna.


Sampai suatu hari, ada tetangga yang datang mengetuk pintu.
"Bu, Ibu masih bisa jahitkan baju anak saya? Ukurannya susah cari di toko..."
Permintaan itu seperti tusukan jarum pertama yang membangunkan kembali gairah menjahitku. Sejak itu, satu demi satu orang datang. Walaupun tak seramai dulu, tapi cukup membuat mesin jahitku berirama lagi dan semangat hidupku bangkit kembali. Aku menerima jahitan kembali---bukan karena terpaksa, tapi karena panggilan hati.

Akhirnya kini, di usia senja, aku menjahit dengan cara yang berbeda saat aku masih muda dulu. Lebih pelan, lebih tenang, tapi dengan cinta yang sama besarnya seperti saat aku memulai dulu. Aku tidak lagi mengejar pesanan yang banyak, aku menikmati setiap prosesnya. Tidak ada target, hanya keinginan untuk tetap berguna dan semangat untuk berkarya.
Banyak yang bilang masa tua waktunya untuk istirahat. Mungkin benar bagi sebagian besar orang. Tapi menurut aku, istirahat terbaik adalah ketika kita melakukan hal yang kita cintai---tanpa tekanan, tanpa paksaan, hanya karena hati yang memanggil.

"Setiap tusukan jarumku adalah do'a, setiap helai benang adalah harapan. Selama aku masih bisa menjahit, aku tahu, hidupku masih bermakna"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun