Mohon tunggu...
Meri Piryanti
Meri Piryanti Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Operasional Gadai Syariah

2 Desember 2013   12:00 Diperbarui: 4 April 2017   18:21 14232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TELAAH KONSEPTUAL

MEKANISME OPERASIONAL PEGADAIAN SYARIAH

Oleh: Meri Piryanti

Abstrak

Rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih (utang).  Pinjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan marhun bih dalam bentuk rahn itu diperbolehkan, dengan  ketentuan bahwa murtahin, dalam hal ini pegadaian syariah, mempunyai hak menahan marhun sampai semua marhun bih dilunasi. Dalam transaksi rahn mekanisme operasional sangat penting untuk diperhatikan, karena jangan sampai operasional gadai tidak efektif dan efesien. Akad yang dijalankan, termasuk jasa dan produk yang dijual juga harus berlandaskan syariah dengan tidak melakukan kegiatan usaha yang mengandung unsur riba, maisir, dan gharar. Mekanisme operasional Pegadaian syariah merupakan imple-mentasi dari konsep dasar rahn yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqih.

Kata Kunci: Pegadaian Syariah dan Mekanisme Operasional.

A.PENDAHULUAN

Kemaslahatan merupakan salah satu tujuan dari syariah Islam. Atas dasar itu pulalah Islam menganjurkan kepada umatnya untuk saling membantu. Saling membantu dapat diwujudkan dalam bentuk yang berbeda-beda, baik berupa pemberian tanpa ada pengembalian, seperti zakat, infak dan shadaqah, maupun berupa pinjaman yang harus dikembalikan kepada pemberi pinjaman.

Berbicara mengenai pinjam meminjam, Islam membolehkannya baik melalui individu maupun lembaga keuangan seperti bank, asuransi, dan sebagainya. Namun tidak boleh meminta kelebihan dari pokok pinjaman karena termasuk riba. Salah satu bentuk muamalah yang diperbolehkan oleh Rasulullah saw adalah gadai.

Tugas pokok dari lembaga ini adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan. Namun demikian, keberadaan lembaga keuangan ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat Indonesia, mengingat citra yang menempel sangat identik dengan sebuah lembaga keuangan “orang-orang susah”. Salah satu motto yang dibangun dalam rangka mengubah image-nya adalah “melayani masalah tanpa masalah”. Dengan motto tersebut diharapkan masyarakat tidak lagi segan untuk datang ketempat ini.

Implementasi operasi pegadaian syariah hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensioanal, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.

Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi dan pendanaan, pegadaian syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan pegadaian konvensioanal. Dan dalam makalah ini akan diuraikan mengenai konsep operasionalnya dari pegadaian syariah.

B.PEMBAHASAN

1.Pengertian

Gadai dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Dimana barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai hutang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai hutang.

Sedangkan transaksi umum gadai dalam fikih Islam disebut dengan ar-rahn. Ar-rahn secara bahasa berarti tetap, kekal dan jaminan. Dalam bahasa Arabnya dikenal dengan ats-tsubut wa ad daman (tetap dan kekal), seperti halnya juga dalam kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S Al-Muddatstir (74) ayat 38:

@ä.¤§øÿtR$yJÎ/ôMt6|¡x.îpoYÏduÇÌÑÈ

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”.

Pengertian tetap dan kekal dimaksud, merupakan makna yang bersifat materil. Karena itu, secara bahasa rahn berarti menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat utang atau dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, dan agunan. Kemudian dalam konteks hukum adat, gadai diartikan sebagai perjanjiann yang berhubungan dengan tanah, artinya tanah bukan sebagai uang, dengan ketentuan bahwa ia akan mengembalikan tanah pihak peminjam, setelah uangnya dikembalikan atau tanah akan kembali setelah ditebus. Ketentuan yang demikian bisa mengarah ke riba yang dapat menyebabkan ketidakadilan, sehingga gadai dalam hukum adat bertentangan dengan syariah.

Selain pengertian gadai (rahn) yang dikemukakan di atas, penulis mengungkapkan gadai (rahn) yang diberikan oleh ahli hukum Islam sebagai berikut:

a)Dari Ulama Syafi’iyah, Hanafi dan Malikiyah. Menurut Ulama Syafi’iyah rahn adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya. Ulama Hanafi  mendefinisikannya  menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar hutangnya. Selanjutnya dari Ulama Malikiyah mendefinisikan juga, bahwa rahn adalah sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat), menurutnya harta tersebut bukan saja berupa materi, namun juga berupa manfaat.

b)Menurut Imam Abu Zakariyah al-Anshari, rahn adalah menjadikan benda yang bersifat harta untuk kepercayaan dari suatu marhun bih yang dapat dibayarkan dari harga benda marhun itu apabila marhun bih tidak dibayar.

c)Imam Taqiyuddin dalam hal ini mendefinisikan rahn sebagai akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan marhun sebagai kepercayaan/penguat marhun bih dan murtahin berhak menjual/ melelang barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya. Barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat diperjualbelikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.

d)Menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan bisnis, jual beli atau bermitra. Jadi, menurutnya uang hasil gadai syariah ini tidak boleh dipakai untuk investasi.

e)Muhammad Syafi’I Antonio dalam bukunya, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, bahwa pengertian gadai atau rahn mengutip pandangan Sayyid Sabiq, adalah menyimpan sementara harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh sipiutang. Berarti, barang yang dititipkan pada sipiutang dapat diambil kembali dalam jangka waktu tertentu.

Berdasarkan definisi diatas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa rahn itu merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih (utang).

Pinjaman dengan menggadaikan marhun sebagai jaminan marhun bih dalam bentuk rahn itu diperbolehkan, dengan  ketentuan bahwa murtahin, dalam hal ini Pegadaian syariah, mempunyai hak menahan marhun sampai semua marhun bih dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin, yang pada prinsipnya tidak boleh dimanfaatkan murtahin, kecuali dengan seizin rahin, tanpa mengurangi nilainya, serta sekedar sebagai pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. Biaya pemeliharaan dan perawatan marhun adalah kewajiban rahin, yang tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah marhun bih. Apabila marhun bih telah jatuh tempo, maka murtahin memperingatkan rahin untuk segera melunasi marhun bih,  biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun yang belum dibayar, serta biaya pelelangan. Kelebihan hasil pelelangan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

2.Dasar Hukum

Tidak semua orang memiliki kepercayaan untuk memberikan pinjaman/ utang kepada pihak lain. Untuk membangun  suatu kepercayaan, diperlukan adanya jaminan (gadai) yang dapat dijadikan pegangan. Adapun dalil-dalil yang menjadi landasan diperbolehkannya gadai adalah: Pertama, dibolehkannya gadai tercantum dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282 dan 283.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur”.

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Syaikh Muhammad ‘Ali As-Sayis berpendapat, bahwa ayat al-Qur’an diatas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang (rahn).

Selain itu juga, beliau mengungkapkan bahwa rahn dapat dilakukan ketika dua pihak yang bertransaksi sedang melakukan perjalanan (mufassir) dan transaksi yang demikian itu harus dicatat dalam sebuah berita acara (ada orang yang menuliskannya) dan ada orang yang menjadi saksi terhadapnya. Bahkan ‘Ali As-Sayis menganggap bahwa dengan rahn, prinsip kehati-hatian sebenarnya lebih terjamin ketimbang bukti tertulis ditambah dengan persaksian seseorang. Sekalipun demikian, penerima gadai (murtahin) juga dibolehkan tidak menerima barang jaminan (marhun) dari pemberi gadai (rahin), dengan alasan bahwa ia meyakini pemberi gadai (rahin) tidak akan menghindar dari kewajibannya. Sebab, substansi dalam peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudaratan yang diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan transaksi utang piutang.

Selain itu, dalam Q. S al-Baqarah ayat 283 pada dasarnya hakikat dan fungsi dari  pegadaian dalam Islam semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dengan bentuk marhun sebagai jaminan, dan bukan untuk kepentingan komersil dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kemampuan orang lain. Kemudian, kutipan ayat yang artinya “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang” merupakan anjuran memberikan jaminan untuk membina kepercayaan. Akan tetapi jika sebagian kamu saling mempercayai (meskipun tanpa jaminan), hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya.

Produk rahn disediakan untuk membantu nasabah dalam pembiayaan kegiatan multiguna. Rahn sebagai produk pinjaman, berarti Pegadaian syariah hanya memperoleh imbalan biaya atas biaya administrasi, penyimpanan, pemeliharaan , dan asuransi marhun , maka produk rahn ini biasanya hanya digunakan bagi keperluan fungsi sosial-konsumtif, seperti kebutuhan hidup, pendidikan dan kesehatan. Sedangkan rahn sebagai produk pembiayaan, berarti Pegadaian syariah memperoleh bagi hasil dari usaha rahin yang dibiayainya.

Kedua, dalam hadis Rasulullah saw. “Dari Anas ra. Nabi saw. pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi untuk ditukar dengan gandum. Lalu orang Yahudi tersebut berkata: “Sungguh Muhammad ingin membawa lari hartaku”. Rasulullah saw. menjawab: Bohong, sesungguhnya aku orang yang jujur di atas bumi ini dan di langit. Jika kamu berikan amanat kepadaku, pasti aku tunaikan. Pergilah kalian dengan baju besiku menemuinya”.

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah mengeluarkan biaya. Kepada orang yang naik atau minum, maka ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”. (HR. Jama’ah kecuali Muslim dan Nasa’I, Bukhari no. 2329, kitab rahn).

Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Barang yang digadaikan itu tidak boleh di tutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya keuntungan dan tanggung jawabnya adalah bila ada kerugian.

Ketiga, Ijma Ulama. Berdasarkan al-Qur’an dan hadist diatas, menunjukkan bahwa transaksi gadai pada dasarnya dibolehkan dalam Islam, demikian jumhur ulama juga telah sepakat bahwa bolehnya transaksi gadai.

Keempat, Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah, diantaranya dikemukakan sebagai berikut: a) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSN-MUI/III/2002, tentang rahn, b) Fatwa Dewan Syariah NasionalMajelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas, c) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah, d) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah, e) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi.

3.Sejarah Pegadaian Syariah

Keberadaan pegadaian syariah pada awalnya didorong oleh perkembangan dan keberhasilan lembaga-lembaga keuangan syariah. Di samping itu, juga dilandasi oleh kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap hadirnya sebuah pegadaian yang menerapkan prinsip-prinsip syariah.

Seiring dengan maraknya aspirasi dari warga masyarakat Islam diberbagai daerah yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam dalam berbagai aspeknya termasuk Pegadaian syariah ini, maka pihak pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk melegitimasi secara hukum positif pelaksanaan praktik bisnis sesuai dengan syariah yang termasuk gadai syariah. Karena itu, pihak pemerintah bersama DPR merumuskan rancangan peraturan perundang-undangan yang kemudian disahkan pada bulam Mei menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-undang dimaksud, memberi peluang untuk diterapkan praktik perekonomian sesuai syariah dibawah perlindungan hukum positif.

Berdasarkan undang-undang tersebut maka terwujud Lembaga-Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Pada awalnya, muncul lembaga Perbankan Syariah, yaitu bank Muamalat sebagai pionirnya, dan kemudian bermunculan lembaga keuangan syariah lainnya, seperti Lembaga Asuransi Syariah, Lembaga Pegadaian syariah, dan lain-lainnya.

Melihat adanya peluang dalam mengimplementasikan praktik gadai berdasarkan prinsip syariah, Perum Pegadaian yang telah bergelut dalam bisnis pegadaian konvensioanal selama beratus-ratus tahun lebih, berinisiatif untuk mengadakan kerja sama dengan PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) dalam mengusahakan praktik gadai syariah sebagai diversifikasi usaha gadai yang sudah dilakukannya sehingga pada bulan Mei tahun 2002, ditandatangani sebuah kerjasama antara keduanya untuk meluncurkan gadai syariah, yaitu BMI sebagai penyandang dana.

Sebelum Perum Pegadaian membuka unit gadai syariah, pelayanan jasa serupa telah dimulai oleh Bank Syariah Mandiri (BSM) dengan meluncurkan sebuah produk gadai syariah yang disebut gadai emas Bank Syariah Mandiri (BSM), pada tanggal 1 November 2001 atau bertepatan dengan ulang tahun kedua BSM. Dalam pelaksanaan gadai syariah ini, BSM menerapkan konsep transaksi (akad), yaitu gadai sebagai prinsip dan akad sebagai tambahan terhadap produk lain, seperti dalam pembiayaan ba’i  al-murabahah, yaitu a) bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi dari akad yang dilakukannya. Namun bank tidak menahan jaminan secara fisik, kecuali surat-suratnya saja (secara fidusia)  b) gadai sebagai produk, yaitu bank dapat menerima dan menahan barang jaminan untuk pinjaman yang diberikan dalam jangka waktu pendek.

Pada dasarnya, jasa gadai emas syariah dan konvensional tidak berbeda jauh dalam bentuk pelayanannya, yang membedakan hanyalah pada pengenaan biaya. Pada gadai emas konvensional, biaya adalah bunga yang bersifat akumulatif. Sedangkan gadai syariah hanya ditetapkan sekali dan dibayar dimuka.

4.Rukun dan Syarat Sahnya Perjanjian Gadai

Sebelum dilakukan rahn, terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa’ adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh 2 pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu akad. Sedangkan menurut Syamsul Anwar dalam bukunya hukum perjanjian syariah menuliskan bahwa akad adalah pertemuan  ijab dan qabul sebagai pernyataan  kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.

Ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn ada 4, sama seperti dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Bab XIV bagian Pertama tentang Rukun dan Syarat Rahn, yaitu:

1)Shigat

2)Orang yang berakad (rahin dan murtahin)

3)Harta yang dijadikan marhun

4)Utang (marhun bih)

Menurut Imam Abu Hanifah, sesuai dengan pandangannya tentang rukun akad, rukun rahn hanya ijab dan kabul saja.

Sedangkan syarat-syarat terkait dengan rukun-rukun diatas, diantaranya adalah:

1)Shigat, syarat shigat adalah tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan masa yang akan datang. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhun bih habis dan marhun bih belum terbayar, maka rahn dapat diperpanjang satu bulan. Kecuali jika syarat itu mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan. Sebagai contohnya adalah pihak penerima gadai meminta supaya akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.

2)Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum, maksudnya orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah bahwa kedua-duanya harus:  a) telah dewasa b) Berakal sehat c) dan atas keinginan sendiri secara bebas.

3)Utang (marhun bih), syaratnya adalah a) Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin, b) Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak dapat dimanfaatkan, maka tidak sah, c) Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.

4)Marhun, dan untuk syarat marhun menurut pakar fiqh adalah: a) Marhun itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan marhun bih, b) Marhun itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan (halal), c) Marhun itu jelas dan tertentu, d) marhun itu milik sah rahin, e) Marhun tidak terkait dengan hak orang lain f) Marhun merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat, dan g) Marhun tidak boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.

5.Pemanfaatan Barang Gadai

Pada dasarnya, marhun tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh rahin maupun murtahin, kecuali apabila mendapat izin masing-masing pihak yang bersangkutan. Hak murtahin terhadap marhun hanya sebatas menahan dan tidak berhak menggunakan marhun, terkecuali apabila kedua rahin dan murtahin ada kesepakatan. Dalam hal ini, ulama sepakat bahwa barang yang digadaikan tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan itu termasuk menyia-nyiakan harta. Para ulama mempunyai pendapat berkenaan dengan pemanfaatan barang gadai:

·Pendapat Ulama Syafi’iyah

Menurut Ulama Syafi’iyah seperti yang dikutip oleh Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari bahwa yang mempunyai hak atas manfaat harta benda gadai (marhun) adalah pemberi gadai (rahin) walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan penerima gadai (murtahin). Dasar hukum hal dimaksud adalah hadis Nabi Muhammad saw. sebagai berikut:

Pertama, Hadis Nabi saw. yang artinya ”Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. dia bersabda: ‘Gadaian itu tidak menutup  akan yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segalanya (kerusakan dan biaya)”. (HR. Asy-Syafi’I dan Daruquthny dan ia berkata bahwa sanadnya Hasan dan bersambung). Hadis ini menjelaskan bahwa rahin berhak mengambil manfaat dari marhun selama pihak rahin menanggung segalanya.

Kedua, Hadis Nabi yang artinya “Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, bersabda gadaian itu tidak menutup hak yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segalanya (kerusakan dan biaya). (HR. Asy-Syafi’I dan Ad-Daruquthni)

Ketiga, Hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya “Dari Ibn Umar ia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Hewan seseorang tidak boleh diperas tanpa seizin pemiliknya”. (HR. Bukhari).

Berdasarkan hadis tersebut, maka ulama syafiiiyah berpendapat bahwa marhun itu tidak lain sebagai jaminan atau kepercayaan atas murtahin. Kepemilikan marhun tetap ada pada rahin. Karenanya, manfaat atau hasil dari marhun itu milik rahin. Kemudian as-Syafii menjelaskan tasarruf yang dapat mengurangi harga marhun adalah tidak sah, kecuali atas izin murtahin. Oleh karena itu, tidak sah bagi rahin menyewakan marhun, kecuali  ada izin dari murtahin. Selanjutnya apabila murtahin mensyaratkan bahwa manfaat marhun itu baginya yang disebutkan dalam akad, maka akad itu rusak atau tidak sah. Sedangkan apabila mensyaratkannya sebelum akad, maka hal itu dibolehkan.

·Pendapat Ulama Malikiyah

Ulama Malikiyyah berpendapat seperti yang dikutip Muhammad dan Sholikhul Hadi bahwa menerima harta gadai (murtahin) hanya dapat  memanfaatkan harta benda barang gadaian atas izin dari pemberi gadai dengan persyaratan tertentu:

1)Utang disebabkan dari jual beli, bukan karena mengutangkan. Hal itu terjadi seperti orang menjual barang dengan harta tangguh, kemudian orang itu meminta gadai dengan suatu barang sesuai dengan utangnya maka hal ini diperbolehkan.

2)Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari harta benda gadaian diperuntukkan pada dirinya.

3)Jika waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak ditentukan batas waktunya maka menjadi batal.

·Pendapat Ulama Hanabilah

Ulama Hanabillah lebih memperhatikan marhun itu sendiri, yaitu hewan atau bukan hewan, sedangkan hewanpun dibedakan pula antara hewan yang dapat diperah atau ditunggangi dan hewan yang tidak dapat diperah atau ditunggangi. Dalam kondisi sekarang, maka akan lebih tepat apabila marhun berupa hewan itu diqiyaskan dengan kendaraan. Illatnya yang disamakan adalah hewan dan kendaraan sama-sama memiliki fungsi yang dapat dinaiki dan diperah susunya dapat diillatkan dengan digunakannya kendaraan itu untuk hal yang menghasilkan dengan syarat tidak merusak kendaraan itu. Hal yang dapat dipersamakan illatnya adalah hasilnya, yaitu apabila hewan hasilnya susu, maka kendaraan hasilnya uang.

·Pendapat Ulama Hanafiyah

Menurut pendapat ulama Hanafiyyah, tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak. Menurut ulama Hanafiyyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai (marhun) sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai (murtahin). Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai, maka berarti menghilangkan dari barang tersebut, padahal barang itu memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal itu dapat mendatangkan kemudaratan bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai (rahin).

6.Persamaan dan Perbedaan Gadai Syariah (Rahn) dan Gadai Konvensional

Apabila kita membandingkan produk gadai syariah dan gadai konvensional, maka pegadaian syariah dapat menjadi alternatif bagi orang yang membutuhkan dana murah, cepat dan juga sesuai dengan hukum Islam.

Persamaan gadai dengan gadai syariah (rahn) adalah:

a)Hak gadai berlaku atas pinjaman uang

b)Adanya agunan sebagai jaminan utang

c)Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan

d)Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai

e)Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.

Perbedaan antara gadai konvensional dan rahn adalah:

Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan.

a)Di dalam pegadaian konvensioanal, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman. Sedangkan dalam rahn hanya diperkenankan untuk mengambil sejumlah dana dari biaya perawatan dan sewa atas pemeliharaan.

b)Pegadaian konvensioanal hanya melakukan satu akad perjanjian, hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang bisa ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensioanal bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktek fidusia. Berbeda dengan pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpanan.

c)Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum pegadaian), dan rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.

d)Kelebihan uang hasil dari penjualan barang pada pegadaian syariah tidak diambil oleh nasabah, diserahkan kepda lembaga ZIS, sedangkan pada gadai konvensional kelebihan uang hasil lelang barang tidak diambil oleh nasabah tetapi menjadi pemilik pegadaian.

Dan didalam Lembaga Keuangan Syariah, transaksi rahn dapat dilakukan dengan dua cara, 1) Sebagai produk pelengkap 2) Sebagai produk tersendiri.

Untuk lebih lengkapnyanya, dibawah ini akan dibedakan mengenai variable biaya dalam pegadaian konvensional dan Pegadaian syariah.

Variabel biaya dalam Pegadaian konvensioanal meliputi:

1)Biaya administrasi yang ditetapkan sebesar 1% dari uang pinjaman.

2)Biaya sewa Modal yang dihitung sebagai berikut:

a.Pinjaman kurang dari Rp. 20.000.000,- dengan masa pinjam setiap 15 hari sebesar 1,25%.

b.Pinjaman lebih dari Rp. 20.000.000,- dengan masa pinjam setiap 15 hari sebesar 1%.

Variabel biaya dalam Pegadaian syariah  meliputi:

1)Biaya administrasi yang ditetapkan sebagai berikut:

Rp. 20.000 – Rp. 150.000              = Rp. 1.000

Rp. 155.000 – Rp. 500.000            = Rp. 3.000

Rp. 505.000 – Rp. 1.000.000         = Rp. 5.000

Rp. 1.050.000 – Rp. 10.000.000    = Rp. 15.0001

Rp. 10.050.000 – dan seterusnya   = Rp. 25.000

2)Biaya Jasa Simpan yang dihitung per 10 hari

Berikut disajikan table perbedaan teknis antara Pegadaian syariah dan Pegadaian konvensioanal:

No

Pegadaian syariah

Pegadaian konvensioanal

1

Biaya administrasi menurut ketetapan berdasarkan golongan barang.

Biaya administrasi menurut prosentase berdasarkan golongan barang.

2

Jasa simpanan berdasarkan taksiran.

Sewa modal berdasarkan pinjaman.

3

Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dijual kepada masyarakat.

Bila lama pengembalian melebihi perjanjian, barang dilelang kepada masyarakat.

4

Maksimal jangka waktu 4 bulan.

Maksimal jangka waktu 3 bulan.

5

Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil diserahkan kepada lembaga ZIS

Bila uang kelebihan dalam satu tahun tidak diambil menjadi milik pegadaian.

7.Mekanisme Operasional Pegadaian syariah

a)Prinsip Operasional

Salah satu bentuk jasa pelayanan lembaga keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pembiayaan dengan menggadaikan barang sebagai jaminan. Landasan akad yang digunakan dalam operasional perusahaan dalam pegadaian syariah adalah rahn. Berlakunya rahn adalah bersifat mengikuti (tabi’iyah) terhadap akad tertentu yang dijalankan secara tidak tunai tunai (dayn) sebagai jaminan untuk mendapatkan kepercayaan. Adapun secara teknis, implementasi akad rahn dalam lembaga pegadaian adalah sebagai berikut:

Skema: Operasional

1)Nasabah menjaminkan barang (marhun) kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan tersebut untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.

2)Pegadaian syariah dan nasabah menyapakati akad gadai. Akad ini meliputi jumlah pinjaman, pembebanan biaya jasa simpanan dan biaya administrasi. Jatuh tempo pengembalian pembiayaan yaitu 120 hari (4 bulan).

3)Pegadaian syariah memberikan pembiayaan atau jasa yang dibutuhkan nasabah sesuai kesepakatan.

4)Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo. Apabila pada saat jatuh tempo belum dapat mengembalikan uang pinjaman, dapat diperpanjang 1 (satu) kali masa jatuh tempo, demikian seterusnya. Apabila nasabha tidak dapat mengembalikan uang pinjaman dan tidak memperpanjang akad gadai, maka pegadaian dapat melakukan kegiatan pelelangan dengan menjual barang tersebut untuk melunasi pinjaman.

5)Pegadaian (murtahin) mengembalikan harta benda yang digadai (marhun) kepada pemiliknya (nasabah).

Pegadaian syariah juga memiliki jasa pelayanan yang ditawarkan kepada masyarakat saat ini, yaitu:

1)Pemberian pembiayaan atas dasar hukum gadai syariah (rahn), yaitu berupa penyerahan barang gadai oleh nasabah (rahin) untuk mendapatkan pinjaman yang jumlahnya ditentukan oleh nilai barang yang digadaikan.

2)Penaksiran nilai barang, yaitu bahwa pegadaian syariah memberikan jasa penaksiran atas nilai suatu barang yang dilakukan oleh calon nasabah (rahin). Jasa ini diberikan karena biasanya lembaga pegadaian mempunyai alat penaksir yang keakurannya dapatkan dihandalkan.

3)Pegadaian syariah juga menyelenggarakan jasa (ijarah) tempat penitipan barang untuk alasan keamanan. Usaha ini dapat dijalankan karena pegadaian syariah menyediakan tempat atau gudang penyimpanan yang memadai.

4)Gerai Emas (gold counteri), yaitu tempat penjualan emas yang menawarkan keunggulan kualitas dan keaslian. Emas yang dijual digerai ini dilengkapi sertifikat jaminan, sehingga lebih dipercaya masyarakat.

5)ARRUM (Ar-rahn untuk usaha Mikro Kecil) merupakan pembiayaan bagi para pengusaha mikro kecil, untuk pengembangan usaha dengan berprinsip syariah.

Sumber Pendanaan

Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dengan dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk mem-back up modal kerja.

Pegadaian syariah sebagai organisasi keuangan yang mempunyai misi ganda, yaitu misi sosial dan misi komersil, sehingga harus menerapkan prinsip operasional yang serba modern. Oleh karena itu, dalam operasionalisasi pegadaian syariah mengandalkan dan menjalankan 4 prinsip kerja sebagai berikut:

a.Proses cepat, nasabah dapat memperoleh pinjaman yang hanya membutuhkan waktu singkat.  Proses administrasi dan penaksiran dilaksanakan dalam waktu 15 menit. Selanjutnya nasabah (rahin) dapat memperoleh dana cair (marhun bih) tidak lebih dari 1 jam.

b.Mudah caranya, untuk mendapatkan pinjaman (marhun bih), nasabah cukup membawa barang yang digadaikan (marhun) dengan melampirkan bukti kepemilikan bila diperlukan serta melampirkan bukti identitas ke kantor pegadaian syariah. Hal dimaksud, pembukaan rekening atau cara lain yang merepotkan seperti meminjam uang ke bank tidak lagi diperlukan.

c.Jaminan keamanan atas barang, pegadaian syariah juga memberikan jaminan keamanan atas barang yang diserahkan dengan standar keamanan yang telah teruji dan diasuransikan.

d.Pinjaman yang optimum, mengusahakan pemberian pinjaman hingga 90% dari nilai harga taksiran barang sehingga nasabah (rahin) tidak dirugikan oleh rasio antara taksiran barang gadai (marhun) dengan besar uang pinjaman (marhun bih). Hal dimaksud, setiap barang memiliki nilai ekonomis yang wajar.

b)Mekanisme Operasional

Mekanisme operasional gadai syariah sangat penting untuk diperhatikan, karena jangan sampai operasional gadai tidak efektif dan efesien. Akad yang dijalankan, termasuk jasa dan produk yang dijual juga harus berlandaskan syariah dengan tidak melakukan kegiatan usaha yang mengandung unsur riba, maisir, dan gharar. Mekanisme operasional pegadaian syariah merupakan imple-mentasi dari konsep dasar rahn yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqih. Secara teknis, pelaksanaan atau kegiatan pegadaian syariah adalah:

·Jenis Barang yang Digadaikan

a)Perhiasan: emas, perak, mutiara, intan, dan sejenisnya.

b)Peralatan rumah tangga; perlengkapan dapur, perlengkapan makan/ minum, perlengkapan bertaman, dan sebagainya.

c)Kendaraan; sepeda ontel, sepeda motor, mobil, dan sebagainya.

·Biaya-Biaya Sistem

Biaya yang dikenakan dalam pegadaian syariah meliputi biaya administrasi dan biaya penyimpanan barang gadai.

Biaya Administrasi

Besarnya biaya administrasi murah dan tidak memberatkan. Transaksi pinjaman ditetapkan sebesar Rp. 50 untuk setiap kelipatan pinjaman Rp. 5.000, untuk semua golongan pinjaman. Terhadap hasil hitungan biaya administrasi, dilakukan pembulatan ke Rp. 100 terdekat; Rp. 1 s/d 50 dianggap sama dengan 0, diatas Rp. 50 s/d 100 dibulatkan menjadi Rp. 100. Biaya administrasi hanya dikenakan sekali di awal akad. Adapun biaya administrasi tersebut meliputi:

1.Biaya riil yang dikeluarkan, seperti ATK, perlengkapan, dan biaya tenaga kerja.

2.Besarnya ditetapkan berdasarkan SE tersendiri

3.Di pungut dimuka saat pinjaman dicairkan.

Biaya Sewa Tempat Penyimpanan Barang Gadai

Biaya sewa tempat penyimpanan gadai syariah didasarkan kepada besarnya tarif jasa simpanan. Berikut ini adalah contohnya, Jika berupa:

1.Perhiasan. Marhun jenis perhiasan yang ditebus, maka dikenakan tarif jasa simpanan sebesar Rp. 90 per 10 hari masa penyimpanan untuk setiap kali kelipatan taksiran marhun emas sebesar Rp. 10 hari masa penyimpanan dihitung sama dengan 10 hari. Terhadap hasil hitungan jasa simpanan ini dilakukan pembulatan Rp. 100 terdekat: 1 s/d Rp. 50 dianggap sama dengan 0, tetapi diatas Rp. 50 s/d Rp. 100 dibulatkan ke Rp. 100.

2.Barang elektronik, alat rumah tangga, dan lainnya dikenakan tarif jasa simpanan sebesar Rp. 95 per hari masa penyimpanan.

3.Kendaraan bermotor. Jenis simpanan berupa kendaraan bermotor seperti mobil dan sepeda motor, dikenakan tarif  jasa simpanan sebesar Rp. 100 per sepuluh hari masa penyimpanan.

Table Tarif Sewa Tempat Simpanan

No

Jenis Simpanan

Tarif Jasa Simpanan

1

Emas dan Berlian

Taksiran/ Rp. 10.000 x Rp. 90 x jangka waktu/ 10 hari

2

Elektronik, mesin jahit, dan peralatan rumah tangga

Taksiran/ Rp. 10.000 x Rp. 95 x jangka

3

Kendaraan Bermotor

Taksiran/ Rp. 10.000 x Rp. 100 x jangka waktu/ 10

·Cicilan dan Perpanjangan

Pada dasarnya, nasabah atau orang yang menggadaikan (rahin) dapat melunasi pinjamannya kapan saja, tanpa harus menunggu jatuh tempo. Tetapi nasabah (rahin) dapat memilih cara pelunasan sekaligus maupun dengan cara mencicil. Jika dalam masa 4 bulan dan nasabah belum melunasi, maka dengan mengajukan permohonan serta menyelesaikan biaya, nasabah dapat memperpanjang jangka waktu pinjaman selama kurang lebih 4 bulan. Tetapi jika dalam jangka waktu yang ditetapkan nasabah tidak mengambil marhun, maka pegadaian syariah akan melakukan pelelangan atau penjualan barang gadai (rahn).

·Prosedur Penaksiran Gadai

Dalam hal ini, besar kecilnya pinjaman yang diberikan kepada nasabah, tergantung dari nilai taksir barang setelah petugas penaksir menilai barang tersebut. petugas penaksir sebaiknya orang-orang yang sudah mempunyai keahlian dan pengalaman khusus dalam melakukan penaksiran barang-barang yang akan digadaikan. Jasa yang ditaksir biasanya meliputi semua barang yang bergerak dan tidak bergerak.

Untuk barang bergerak, murtahin (petugas penaksir) melihat Harga Pasar Pusat (HPP) yang telah berlaku, Melihat Harga Pasar Setempat (HPS) dari barang karena harga pedoman untuk keperluan penaksiran ini selalu disesuaikan dengan perkembangan harga yang terjadi, murtahin menguji kualitas marhun, dan terakhir murtahin menentukan nilai taksir barang jaminan.

Untuk Barang yang tidak bergerak, murtahin bisa meminta informasi ataupun sertifikat tanah/pekarangan kepada rahin untuk mengetahui gambaran umum marhun, murtahin/ penaksir dapat melihat langsung atau tidak langsung kondisi marhun ke lapangan, murtahin /petugas penaksir melakukan pengujian kualitas marhun/barang jaminan, maka murtahin/ petugas penaksir menentukan niali taksir.

·Ketentuan Bagi Hasil

Pada hakikatnya bagi hasil yang dibagikan dalam akad ini adalah dari keuntungan bersih pihak yang diamati untuk mengelola barang gadaian. Artinya, bahwa keuntungan tersebut setelah dikurangi biaya-biaya pengelolaan, seperti halnya biaya operasional maupun biaya non operasional.

Sedangkan mengenai ketentuan bagi hasilnya adalah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Apabila marhun dikelola oleh rahin, maka nisbah yang dibagikan misalnya 75% untuk rahin dan 25% untuk murtahin. Hal ini ditempuh karena pihak rahin adalah pemilik barang gadaian yang sah. Sedangkan bagi murtahin, jumlah persentasenya dapat digunakan untuk menjaga terjadinya inflasi atau kerugian lain atas uang yang dipinjamkan.

c)Struktur Organisasi, Tugas Pokok dan Fungsi Gadai

Untuk struktur organisasinya, Kantor Cabang Pegadaian Syariah (KCPS) adalah sebuah lembaga pegadaian syariah di bawah binaan divisi Unit Usaha Syariah perum Pegadaian, yang secara struktual terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Untuk mewujudkan tercapainya tugas dan fungsi KCPS, maka dibentuk struktur kepemimpinan dari pusat hingga ketempat cabang.

Pegadaian syariah dibentuk sebagai unit bisnis yang mandiri dengan maksud untuk menjawab tantangan kebutuhan masyarakat yang mengharapkan adanya pelayanan pinjam meminjam yang bebas dari unsur riba, maysir dan gharar. Maka, tugas pokok pegadaian syariah adalah melayani kegiatan pemberian pembiayaan  kepada masyarakat luas atas dasar penerapan prinsip gadai yang dibenarkan oleh syariat Islam.

Perum pegadaian syariah ini dalam menjalankan tugas pokok diatas, maka KCPS berfungsi sebagai organisasi cabang Perum Pegadaian yang bertanggung jawab mengelola usaha sesuai syariah agar berkembang menjadi institusi syariah yang mandiri dan menjadi pilihan utama warga masyarakat yang membutuhkan pelayanan gadai secara syariah.

8.Akad Perjanjian Transaksi Gadai

Untuk mempermudah mekanisme perjanjian gadai antara rahin (pemberi gadai) dan murtahin (penerima gadai), maka dapat menggunakan  akad perjanjian:

1)Akad Qard al-Hasan

Akad ini biasanya dilakukan pada nasabah yang ingin meng-gadaikan barangnya untuk tujuan konsumtif. Untuk itu, nasabah (rahin) dikenakan biaya berupa upah/fee kepada pihak pegadaian (murtahin) karena telah menjaga dan merawat barang gadaian (marhun).

Sebenarnya, dalam akad qard al-hasan tidak diperbolehkan memungut biaya kecuali biaya administrasi. Mekanisme pelaksanaan akad qard al-hasan:

§Barang gadai (marhun) berupa barang yang tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan jalan menjualnya dan berupa barang bergerak saja, seperti emas, barang elektronik, dan sebagainya.

§Tidak ada pembagian bagi hasil, karena akad ini bersifat social. Tetap diperkenankan menerima fee sebagai pengganti biaya administrasi yang biasanya diberikan pihak pemberi gadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin).

Adapun untuk lebih jelasnya mengenai akad ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

4. Fee

Skema akad Qardhul Hasan Gadai Syariah

3.

Marhun Bih

Pencarian

1.

Rahin

Murtahin

Akad Rahn

2.Hutang dan Jasa

Keterangan Skema Akad Qardhul Hasan

a)Rahin mendatangi murtahin untuk minta fasilitas pembiayaan dengan membawa marhun yang tidak dapat dimanfaatkan/ dikelola yang akan diserahkan kepada murtahin.

b)Murtahin melakukan pemeriksaan, termasuk juga menaksir harga marhun yang diberikan rahin sebagai jaminan utangnya.

c)Setelah semua persyaratan terpenuhi, maka murtahin dan rahin akan melakukan akad.

d)Selanjutnya, setelah akad dilakukan, maka murtahin akan memberikan sejumlah marhun bih, yang diinginkan rahin dan jumlahnya disesuaikan dengan nilai taksir barang (di bawah nilai jaminan).

e)Sebagai pengganti biaya administrasi dan biaya perawatan, maka pada saat melunasi marhun bih, maka rahin akan memberikan sejumlah fee kepada murtahin.

2)Akad Mudharabah

Akad mudharabah diterapkan untuk nasabah yang menginginkan menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha  (pembiayaan investasi atau modal kerja). Dengan demikian rahin akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan usaha yang diperoleh kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan. Sampai dengan modal dipinjam terlunasi.

3)Akad Ba’i Muqayyadah

Sementara akad al-ba’I muqayyadah dapat dilakukan jika rahin yang menginginkan menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif, seperti pembelian peralatan untuk modal kerja. Untuk memperoleh pinjaman, nasabah harus menyerahkan barang sebagai jaminan berupa barang-barang yang dapat dimanfaatkan, baik oleh rahin maupun murtahin.Dalam hal ini, nasabah dapat memberi keuntungan berupa mark up atas barang yang dibelikan oleh murtahin. Atau dengan kata lain, murtahin (pihak pegadaian) dapat memberikan barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan akad jual beli, sehingga murtahin dapat mengambil keuntungan berupa margin dari penjualan barang tersebut sesuai dengan kesepakatan antara keduanya.

4)Akad Ijarah

Akad ijarah adalah akad yang objeknya adalah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat. Dalam kontrak ini ada kebolehan untuk menggunakan manfaat atau jasadengan ganti berupa kompensasi.

Dalam gadai syariah, penerima gadai (murtahin) dapat menyewakan tempat penyimpanan barang (deposit box) kepada nasabahnya. Barang titipan dapat berupa barang yang menghasilkan manfaat maupun tidak menghasilkan manfaat. Pemilik yang menyewakan disebut mustajir, dan sesuatu yang dapat diambil manfaatnya disebut major, sedangkan kompensasi atau balas jasa disebut  ujrah.

9.Prospek Pegadaian Syariah

Prospek suatu perusahaan secara relatif dan dapat dilihat dari suatu analisis  yang disebut SWOT, yakni kekuatan (Streght), Kelemahan (Wakness), peluang (Opportunity), dan ancaman (Threath). Hal-hal tersebut dapat di uraikan sebagai berikut:

a.Kekuatan Pegadaian syariah bersumber dari:

ØDukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk

ØDukungan lembaga keuangan Islam diseluruh dunia

ØPemberian pinjaman lunak al-Qardul Hasan dan pinjaman mudharabah dengan system bagi hasil pada pegadaian syariah sangat sesuai dengan kebutuhan pembangunan.

b.Kelemahan Pegadaian syariah

ØBerprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil adalah jujur. Namun hal ini dapat menjadi boomerang.

ØMemerlukan metode penghitungan yang rumit terutama dalam menghitung biaya yang dibolehkan dan pembagian laba untuk nasabah-nasabah yang kecil.

ØKarena menggunakan konsep bagi hasil, pegadaian syariah lebih banyak memerlukan tenaga-tenaga professional yang handal.

ØPerlu adanya perangkat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan dan pengawasan.

c.Peluang Pegadaian syariah

ØMunculnya berbagai lembaga bisnis syari’ah (LKS)

ØAdanya peluang ekonomi bagi berkembangnya pegadaian syariah

d.Ancaman Pegadaian syariah

ØDianggap adanya fanatisme agama

ØSusah untuk menghilangkan mekanisme Bunga yang sudah mengakar dan menguntungkan bagi sebagian kecil golongan.

10.Berakhirnya Transaksi Gadai

Akad dalam transaksi rahn (gadai) akan berakhir bila terpenuhi beberapa hal, yaitu (a) Barang telah diserahkan kembali kepada pemiliknya, (b) rahin membayar hutangnya,  (c) barang gadai dijual dengan perintah hakim atas permintaan murtahin, (d) pembebasan utang dengan cara apa pun, meskipun dengan pemindahan oleh murtahin, (e) pembatalan oleh murtahin, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin, (f) rusaknya barang rahn bukan oleh tindakan/penggunaan murtahin, (g) memanfaatkan barang rahn sebagai penyewaan, hibah, atau shadaqah baik dari pihak rahin maupun murtahin.

C.PENUTUP

Rahn (gadai syariah) merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang memiliki nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan marhun bih (utang).  Mekanisme operasional gadai syariah sangat penting untuk diperhatikan, karena jangan sampai operasional gadai tidak efektif dan efesien. Akad yang dijalankan, termasuk jasa dan produk yang dijual juga harus berlandaskan syariah dengan tidak melakukan kegiatan usaha yang mengandung unsur riba, maisir, dan gharar.  Mekanisme operasional pegadaian syariah merupakan imple-mentasi dari konsep dasar rahn yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqih.

Secara teknis, pelaksanaan atau kegiatan pegadaian syariah meliputi jenis barang yang digadaikan, biaya-biaya system, cicilan dan perpanjangan, prosedur penaksiran gadai, dan ketentuan bagi hasil. Implementasi operasinya hamper mirip dengan pegadaian konvensioanal hanya saja ada perbedaan-perbedaan yang menjadi ciri khas tersendiri dari pegadaian syariah.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Yazid, Fiqih Muamalah dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Logung Printika, 2009.

Ali, Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, Edisi 1, Cetakan 1 Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Anshari, Abdul Ghafur, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Cetakan Pertama Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010.

-------------------------------, Gadai Syariah Di Indonesia Konsep, Implementasi, Dan Institusionalisasi, Cetakan Pertama Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.

Anshari, Hafiz, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Edisi ke-3, Jakarta: LSIK, 1997.

Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, Jakarta: Renaisan Anggota IKAPI, 2005.

Burhanuddin, Hukum Bisnis Syariah, Cetakan Pertama, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2011.

Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Cetakan Pertama, Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 2003.

Muhammad dan Sholikul Hadi, Pegadaian syariah, Edisi Pertama, Jakarta: Salemba Diniyah, 2003.

Nasution, Mustafa Edwin dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

Nawawi, Ismail, Ekonomi kelembagaan Syariah Dalam Pusaran Perekonomian Global Sebuah Tuntutan Dan Realitas, Surabaya: CV. Putra Media  Nusantara, 2009.

Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi, Cetakan Pertama, Jakarta: Kencana Media Group, 2009.

Rais, Sasli, Pegadaian syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer), Jakarta: UI Press, 2005.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Jilid 12, Bandung: Al-Ma’arif, 1996.

Soemitra, Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ed. 1, Cet. 1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi Revisi, Cet. 34, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2004.

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian  Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010.

Yanggo, Chuzimah T. dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Kontemporer, Edisi 3, Jakarta: LSIK, 1997.

Zuhaily, Wahbah, Al-fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Jilid 4, Beirut: Dar al-fikr, 2002.

Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum Lembaga Keuangan Syariah (Bank dan Non Bank) yang diampu oleh Bapak Dr. H. Syafiq Mahmadah Hanafi, S. Ag, M, Ag.

Penulis adalah mahasiswi Pasca Sarjana Kosentrasi Hukum Bisnis Syariah Prodi Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer) (Jakarta: UI Press, 2005) hlm. 68.

Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah (Jakarta: Renaisan Anggota IKAPI, 2005), hlm. 12.

Dalam sebuah hadis: “ Telah diriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin ‘Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari ‘Aisyah berkata: bahwasanya Rasulullah saw. membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya (HR. Muslim).

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi Revisi, Cet. 34 (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2004), hlm. 209.

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Edisi 1, Cetakan 1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1.

Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian syariah, hlm. 16.

Wahbah Zuhaily, Al-fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Jilid 4(Beirut: Dar al-fikr, 2002), hlm. 4204 dalam Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, hlm. 1.

Abdul Ghafur Anshari, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Cetakan Pertama (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm. 124.

Yazid Afandi, Fiqih Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Logung Printika, 2009), hlm. 147.

Harta yang dimaksud adalah hanya sebatas materi, bukan termasuk manfaat.

Contohnya menyerahkan sawah sebagai jaminan, maka yang diserahkan dari jaminan sawah adalah sertifikatnya.

Chuzimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Kontemporer, Edisi 3 (Jakarta: LSIK, 1997), hlm. 60.

Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer), hlm. 39.

Mustafa Edwin Nasution dkk,  Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Edisi Pertama, Cetakan Kedua (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 314.

Fatwa DSN Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn.

Abdul Ghafur Anshari, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), hlm. 39.

Q. S. Al-Baqarah: 23.

Sekalipun ayat tersebut, secara literal mengindikasikan bahwa rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan mufasir. Hal ini, bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap atau bermukim. Sebab keadaan mufassir ataupun menetap bukanlah merupakan suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn, karena hadis yang mengisahkan bahwa Rasulullah saw. menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi, untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan perjalanan.

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, hlm. 6.

Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer), hlm. 42.

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 12 (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), hlm. 139.

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, hlm. 8.

Ibid., hlm. 15.

Ibid.

Gadai emas Bank Syariah Mandiri ketika itu, masih menetapkan fee terhadap jumlah pinjaman yang diberikan sebesar 4%, yang dialokasikan sebagai pendapatan yang dibagikan kepada para deposan dan biaya administrasi bank, yang didalamnya juga termasuk asuransi. Pelaksanaan gadai dimaksud, mendapat reaksi dari Dewan Syariah Nasional (DSN) yang menganggapnya tidak lebih sebagai praktik bisnis ribawi dan menyalahi prinsip dan nilai hukum Islam, yang membungakan pinjaman. Oleh karena itu, mulai bulan Juli 2002, BSM tidak lagimenerapkan praktek  gadai konvensional dan menggantinya dengan skim pembebanan biaya pada penyimpanan barang gadai (deposit box) yang ditentukan oleh besar dan kecilnya terhadap risiko barang gadai (marhun), bukan pada besarnya pinjaman. Hal dimaksud, sesuai fatwa DSN No. 26/DSN/MUI/2002.

Mustafa az-Zarqa dalam M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Cetakan Pertama (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 2003), hlm. 102-103.

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian  Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Edisi Pertama, Cetakan Kedua ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 68.

Abdul Ghafur Anshari, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), hlm. 42.

Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi, Cetakan Pertama (Jakarta: Kencana Media Group, 2009), hlm. 105.

Yazid Afandi, Fiqih Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga Keuangan Syariah, hlm. 152

Dalam masalah ini juga terjadi khilafiah (perbedaan pendapat), Menurut sebagian pengikut ulama Abu Hanafiah membolehkan anak-anak yang mumayyiz untuk melakukan akad karena dapat membedakan yang baik dan buruk sehingga ia dapat melakukan akad rahn dengan syarat akad rahn yang dilakukan mendapat persetujuan dari walinya.

Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer), hlm. 44, lihat juga dalam Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian syariah, hlm. 25 dan Abdul Ghafur Anshari, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), hlm. 126.

A. A. Basyir, Hukum Islam Tentang Riba Utang Piutang Gadai dalam  Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer), hlm.53.

Ismail Nawawi, Ekonomi kelembagaan Syariah Dalam Pusaran Perekonomian Global Sebuah Tuntutan Dan Realitas, (Surabaya: CV. Putra Media  Nusantara, 2009), hlm. 134.

Lihat Chuzaimah Y Tanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Edisi ke-3 (Jakarta: LSIK, 1997), hlm. 333.

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, hlm. 78.

Muhammad dan Sholikul Hadi, Pegadaian syariah, Edisi Pertama (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003), hlm. 42.

Dalam produk ini, akad rahn merupakan pengiring dari produk-produk perbankan lain, seperti produk ba’I murabahah maupun qardl al-hasan. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai jaminan/kollateral bagi akad yang lain. Dalam produk ini, barang yang ditahan oleh bank harus tetap diberlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam akad rahn.

Artinya rahn dilembagakan sebagai sebuah lembaga keuangan selain bank. Dalam prakteknya, ia dapat digunakan untuk alternatif lain dari pegadaian konvensioanal.

Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia Konsep, Implementasi, Dan Institusionalisasi, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), hlm. 121.

Transaksi tidak tunai (dayn) dapat terjadi pada akad apapun baik yang bersifat nirlaba (tabarru’) seperti utang-piutang (qardh), pinjam meminjam (‘ariyah) dan lain-lain, maupun pada akad yang bersifat komersial (tijarah) seperti jual beli (al-ba’i), sewa menyewa (Ijarah) dan lain-lain. Selama dalam transaksi tidak tunai itu salah satu pihak mensyaratkan harta dengan sebagai jaminan, maka pada sabarikaat itu pula rahn berlaku.

Burhanuddin, Hukum Bisnis Syariah, Cetakan Pertama  (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2011), hlm. 172.

Pedoman operasi gadai syariah untuk pemberlakuan tanggal 1 Januari 2007. pedoman ini dikeluarkan oleh Devisi Usaha Gadai Syariah Perum Pegadaian pusat yang pada faktanya belum mengalami perubahan, kecuali tanggal pemberlakuannya yang diperbaharui melalui SK Direksi Perum Pegadaian. lihat: Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, hlm. 67-68.

Burhanuddin, Hukum Bisnis Syariah, hlm. 175.

Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Ed. 1, Cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 393.

Ibid., hlm. 394.

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, hlm. 57.

Sasli Rais, Pegadaian syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer), hlm. 68.

Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian syariah, hlm. 38.

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, hlm. 48.

Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian syariah, hlm. 41.

Muhammad dan Sholikul Hadi, Pegadaian syariah, hlm. 91.

Ibid., hlm. 90.

[56]Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, hlm. 58-59.

Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, hlm. 29.

Sasli Rais, Pegadaian Syariah Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer), hlm. 77

Ibid., hlm. 31.

Muhammad dan Sholikul Hadi, Pegadaian syariah,  hlm. 95.

Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, hlm. 39, lihat juga Ismail Nawawi, Ekonomi Kelembagaan Syariah, hlm. 136.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun