Mohon tunggu...
Merkyana Nancy Sitorus
Merkyana Nancy Sitorus Mohon Tunggu... Administrasi - Pejalan Pemerhati

Pejalan dan pemerhati apapun yang menarik mata dan telinga. Menyalurkan hobby jalan melalui www.fb.com/gerakpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengingat dan Merayakan Hari Lahir Sang Proklamator

12 Agustus 2016   22:14 Diperbarui: 12 Agustus 2016   22:54 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: suprizaltanjung.wordpress.com

Sejak masih kecil, pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya selalu saya mendengarkan kisah pembacaan teks Proklamasi yang diakhiri dengan "Atas nama bangsa Indonesia, Sukarno-Hatta".

Masih merinding setiap mengikuti upacara 17 Agustus-an, karena memang semua pengetahuan yang saya dapat tentang Proklamasi itu (entah bagaimana penyampaian guru Sejarah saya masa itu) begitu berkesan buat saya dalam arti yang sebenarnya. Membayangkan awal terbentuknya negara yang hanya diumumkan oleh 2 orang mewakili ratusan ribu jiwa yang tersebar di seluruh nusantara. 

Dalam pertumbuhan saya, kemudian rasa penasaran saya mengerucut pada sosok Bung Hatta. Sosok yang dalam buku-buku sejarah digambarkan sebagai seorang laki-laki berkacamata dengan rambut klimis dan hampir selalu dengan setelan resmi. Laki-laki itu selalu berdiri di belakang Bung Karno, dan dalam imajinasi saya saat itu, mungkin beliau sedang mengamati apa orang-orang yang berkumpul saat itu mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh rekannya, atau mungkin sedang mengingat-ingat siapa saja yang hadir dan tidak hadir disitu. Entahlah, namanya juga imajinasi bocah tanggung.

Sejak itu semua informasi tentang Bung Hatta begitu menarik hati saya. Tentang cerita persahabatannya dengan Sutan Syahrir, tentang kecintaannya pada buku dan pendidikan, tentang pengalamannya selama di pembuangan Digul dan Banda Neira, tentang cerita beliau menempuh pendidikannya di Belanda, kiprah politik di Perhimpunan Indonesia, tentang buah tangannya yang masih banyak belum saya baca sampai sekarang. Semuanya sangat menarik hati. Terlebih dengan penuturan dari anak-anak beliau tentang keseharian beliau yang dimuat di banyak surat kabar, dalam ulasan tentang sejarah Guru Bangsa. 

Cukup mengharukan saat ternyata beliau pernah harus menyurati Gubernur Ali Sadikin tentang tingginya tagihan PAM beliau dan ketidaksanggupannya untuk membayarnya. Seorang yang mengorbankan kebebasan dan masa mudanya demi kemerdekaan itu ternyata begitu jujur dengan keadaan dirinya. Dengan besar hati beliau mengakui ketidaksanggupannya dan meminta bantuan dari Gubernur Ali Sadikin. 

Keteguhan hatinya juga begitu luar biasa. Sejak mulai berjuang, beliau selalu mengedepankan pendidikan dan pengetahuan untuk rakyat Indonesia. Selama di Perhimpunan Indonesia, banyak sudah buah tangannya yang bersifat mengedukasi para anggota Perhimpunan Indonesia tentang bangsa yang merdeka, tentang kedaulatan secara luas, sebut saja :"Struktur Ekonomi Di Dunia Dan Konflik Kekuasaan", sebuah pidato inaugurasi saat beliau didaulat memimpin Perhimpunan Indonesia 17 Januari 1926, benar-benar menyoroti faktor kemerdekaan dan kedaulatan secara global, bukan semata hanya pada lingkup nasib bangsa Indonesia. 

Sekembalinya ke Indonesia, saat semua orang berlomba membentuk partai politik, Bung Hatta bersama Sutan Syahrir membentuk Pendidikan Nasional Indonesia. Dari namanya saja jelas bahwa yang diinginkan oleh Bung Hatta bukan sekedar sekelompok massa yang diberitahu apa yang mereka butuhkan, tapi sekelompok massa yang mengerti apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan bukan semata apa yang mereka butuhkan, namun yang "kemanusiaan" butuhkan. 

Darimana tumbuhnya seorang Bung Hatta yang nasionalitas dan loyalitasnya nyata dalam tindakannya?

Bung Hatta kecil tumbuh dalam lingkungan keluarga matrilineal di Aur Tajungkang, Bukittinggi. Seorang yatim yang dibesarkan oleh Siti Saleha, ibunya dan juga dengan pengaruh besar dari Ayah Gaeknya(kakak dari ayah kandungnya) yang bercita-cita untuk mengirimkan Bung Hatta bersekolah ke Mekkah, sebagaimana sebagian besar kaum lelaki pada keluarga mereka. Siapa sangka, takdir berkata lain, Bung Hatta malah menimba ilmu ke Negeri Belanda.

Sangat keras didikan yang diterima Bung Hatta, bahkan beberapa kali beliau berseberangan paham dengan ibundanya. Toleransinya yang sangat tinggi terbentuk dari nasihat dan teladan yang diberikan oleh Ayah Gaeknya sendiri. Kedisiplinannya juga merupakan tempahan dari kecintaannya akan sekolah dan kekagumannya terhadap Ayah Gaeknya.

Keberadaan Bung Hatta sungguh merupakan suatu berkat buat bangsa Indonesia. Seorang yang begitu mengagumkan dengan apa adanya dirinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun