Mohon tunggu...
Merkyana Nancy Sitorus
Merkyana Nancy Sitorus Mohon Tunggu... Administrasi - Pejalan Pemerhati

Pejalan dan pemerhati apapun yang menarik mata dan telinga. Menyalurkan hobby jalan melalui www.fb.com/gerakpetualang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung

13 April 2018   13:43 Diperbarui: 13 April 2018   13:49 1245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Adat Aceh (TMII) (source : koleksi pribadi)

Peribahasa ini, saya pribadi merasa "biasa" saat peribahasa ini diucapkan entah oleh orangtua atau handai taulan, dan malah dijadikan bercandaan dalam pergaulan sehari-hari. Sudah tidak istimewa di telinga atau mungkin sudah bebal karena dalam hati berpendapat "aaah...sudah tau kok".

Kemudian, saya mulai bertualang. Berkunjung dari satu daerah ke daerah lain di Indonesia. Melihat secara langsung  keseharian dan adat-istiadat dari masyarakat yang nyata-nyata berbeda dengan daerah asal saya. Berinteraksi langsung dan merasakan sendiri keanekaragaman yang selama ini saya hanya bisa lihat dan baca melalui buku Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap (RPUL) atau melalui mesin pencarian dalam jaringan.

Sekarang, saya mulai merasa kalau bangsa ini sedang terancam ke"Bhineka"annya, keberagamannya. Ancaman itu sebenarnya datang dari internal bangsa ini sendiri. Dari mindset kita dan bahkan mungkin juga "program pemerataan" kesejahteraan yang sedang digalakkan oleh Pemerintah. Saya sangat setuju dengan pembangunan yang seharusnya dilakukan dari Sabang sampai Merauke. Tapi sekarang, saya mulai mempertanyakan pembangunan yang bagaimana yang seharusnya dilakukan di Sabang? Lalu pembangunan yang bagaimana yang seharusnya dilakukan di Merauke?

Kita tahu, faktor alam merupakan hal utama penyebab keberagaman bangsa Indonesia. Kontur alam, cuaca dan musim yang khas dari tiap provinsi itu berbeda. Manusia yang tinggal di pegunungan tentu bertahan hidup dengan cara yang berbeda dengan manusia yang tinggal di tepi pantai. Demikian juga manusia yang tinggal di tanah berrawa berbeda dengan manusia yang tinggal tanah tandus dan gersang. Karena itu muncul kearifan lokal, sebuah cara hidup, budaya, bahasa dan adat istiadat yang ditemukan oleh para pendahulu dan dianggap terbaik untuk mereka melangsungkan kehidupan yang sejahtera. Kearifan ini kemudian diturunkan turun temurun ke anak cucu sampai saat ini.

Konsep kesejahteraan dari nenek moyang kita tergambar paling jelas dari rumah adat dari masing-masing daerah. Terlihat jelas bagaimana nenek moyang kita membangun tempat tinggal yang aman untuk ditinggali dan juga nyaman berdampingan dengan keadaan alam di sekitarnya.

Rumah adat di Aceh, yang biasa disebut Rumah Krong Bade, berbentuk panggung dengan tiang yang tingginya 2,5 sampai 3 meter dari permukaan tanah. Atapnya dari bahan daun rumbia dan daun enau yang dianyam, lantainya terbuat dari bambu. Rumah ini akan hangat di malam hari dan segar di siang hari. Dan karena Provinsi Aceh terdiri dari hutan tropis dan pesisir pantai, bentuk rumah ini melindungi penghuni dari gangguan binatang buas ataupun pada saat terjadi rob.

Rumah Honai (TMII) (source : koleksi pribadi)
Rumah Honai (TMII) (source : koleksi pribadi)
Rumah adat di Papua lebih beragam. Di daerah pegunungan, spesifiknya pada suku Dani dikenal dengan nama Rumah Honai. Bentuknya yang menyerupai kerucut dan beralaskan tanah dengan kapasitas 5 -- 9 orang. Rumah ini beratapkan jerami atau alang-alang kering, beralaskan tanah dan ketinggian rumah disesuaikan dengan peruntukannya. Ketinggian rumah untuk pria berbeda dengan rumah untuk wanita. Rumah ini dibuat bertingkat, hanya memiliki satu pintu dan tanpa jendela. Bagian atas hanya untuk tidur dan bagian bawah dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari, menyimpan persenjataan, memasak dan untuk membuat api unggun di malam hari.

source : www.rumah-adat.com
source : www.rumah-adat.com
Di daerah pesisir, spesifiknya di suku Arfak dikenal rumah denngan nama Mod Aki Aksa atau rumah kaki seribu. Disebut demikian karena rumah tersebut berbentuk panggung dan dibuat memiliki banyak sekali tiang penyangga yang tingginya bisa mencapai 4 meter dari permukaan tanah. Fungsinya terutama untuk mencegah serangan binatang dan juga jika ada rob maka amanlah penghuni rumah tersebut. Atapnya terbuat dari daun sagu atau jerami, dengan pintu depan dan pintu belakang.

Muncullah konsep kesejahteraan modern. Dengan sanitasi yang sangat memadai, bangunan yang kokoh terbuat dari batu bata, semen dan pasir. Atap genteng atau seng, ventilasi yang memadai, berlantaikan semen atau marmer. Siapa saja yang sudah memiliki rumah yang demikian barulah dapat dikatakan hidupnya sejahtera dan beradab.

Lalu apa yang terjadi? Para manusia Indonesia mulai berlomba-lomba mengumpulkan rupiah untuk mendapatkan rumah yang sesuai dengan konsep kesejahteraan modern tersebut. Mereka mulai berdagang, bekerja dengan digaji, melakukan apapun profesi mereka dengan tujuan membangun rumah batu yang megah.

Program pembangunan Pemerintah juga sangat mendukung penyebaran konsep ini. Sehingga saat berkunjung ke provinsi manapun di Indonesia, akan terlihat bangunan rumah batu di perkampungan kecil sampai di perkotaan. Masih tetap akan ada sentuhan daerah, tapi itu hanya sentuhan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun