Mohon tunggu...
Arto Soebiantoro
Arto Soebiantoro Mohon Tunggu... -

Founder and Chief Consulting Officer Gambaran Brand

Selanjutnya

Tutup

Money

World Batik Summit dan Menduniakan Batik Indonesia

16 Desember 2011   04:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:11 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Senang sekali rasanya kemarin melihat World Batik Summit yang diadakan antara tanggal 28 September sampai 2 Oktober 2011 sekaligus memperingati Hari Batik Nasional yang dihelat di Jakarta Convention Center. Yang menjadi luar biasa menurut saya adalah kemampuan panitia yang mampu menyelenggarakan event tersebut dalam skala Internasional, dimana lebih dari 1000 orang dan delegasi dari 11 negara datang ke Jakarta untuk membicarakan batik, budaya lokal bangsa kita yang membanggakan. Dalam branding, event tersebut menjadi sangat penting sekali, khususnya bagi merek lokal karena event tersebut adalah sebuah “penanda” kelas batik Indonesia dimata dunia sebagai crème de la crème of batik capital of the world. Menjadi yang pertama sangat penting dalam membangun merek dan apa yang dilakukan dalam event seperti itu jelas merupakan strategi merek yang tepat.

Isu ini saya angkat terkait maraknya kekhawatiran banyak orang tentang bagaimana suatu saat batik kita akan diproduksi masal oleh Cina dengan harga yang murah dan akhirnya akan mematikan industri batik dalam negeri.

Memang sejujurnya siapapun tidak akan dapat menghentikan laju globalisasi. Siapapun tidak bisa melarang kesempatan orang lain, perusahaan lain bahkan Negara lain meniru. Bagi saya meniru memiliki arti positif. Meniru berarti si peniru sudah menyadari bahwa yang ditiru adalah pedoman, patokan dan standar terbaik dari dirinya.

Oleh karena itu kita sudah selayaknya bergembira kalau batik ditiru dan dicopy. Itu berarti, batik Indonesia sebagai merek telah memiliki brand image yang baik di dunia. Kalaupun ditiru, yang bisa dilakukan adalah hanya mengcopy coraknya dan di print secara masal dengan alat produksi modern, sementara batik tulis dan cap yang merupakan hasil karya seni tertinggi dari membatik, akan selalu menjadi milik bangsa ini.

Brand image atau dalam bahasa saya persepsi, adalah segala-galanya. Khususnya di era globalisasi dimana kompetisi dan teknologi sudah begitu ketatnya. Orang bisa meniru bahkan mengcopy sedemikian sempurna tapi tetap saja itu tiruan. Kita bisa lihat bagaimana merek-merek besar seperti Louis Vuitton, TAG Heur, Prada bahkan KFC ditiru oleh pedagang-pedagang lokal kita. Tapi tetap saja mereka bukanlah Louis Vuitton yang sesungguhnya, bukan pula TAG Heur. Mereka hanyalah imitasi yang sempurna atau kalau mau sedikit lebih halus KW1 yang sempurna.

Kita tidak perlu takut dengan para peniru. Sejarah kaya bangsa kita tentang batik memiliki “barrier to entry” yang sulit untuk ditembus. Teknik-teknik batik, seperti: kerokan, lorodan, bedesan dan seterusnya akan sulit untuk dipelajari karena tidak adanya ketertarikan budaya yang berhubungan langsung. Kalaupun bisa tetap saja tidak akan seindah dan sehebat aslinya. Kita akan selalu bisa membuat produk seperti KFC atau Louis Vuitton tapi tidak akan bisa semahal dan sehebat yang aslinya. Tiruan gitu loh! Sama seperti karpet terbaik dari Persia, keramik terbaik dari China begitulah persepsi masyarakat dunia. Batik terbaik datang dari Indonesia, itulah kenyataannya.

Selanjutnya yang penting dilakukan adalah, agar batik sebagai merek kemudian bisa diterjemahkan oleh desainer-desainer Indonesia menjadi merek-merek terpisah berdasarkan keunikan dan kelebihannya. Batik sebagai budaya asal Indonesia kini juga harus mulai dikenal sebagai merek fashion dunia. Tantangannya lalu bagaimana mengangkat cerita-cerita unik dalam setiap produksinya (yang memang kaya teknik dan budaya) menjadi sesuatu yang luar biasa, hal tersebut yang sebenarnya dibeli oleh para kolektor batik dunia. Hermes sudah berani mengeluarkan fashion mode terbarunya yang terinspirasi oleh kain Sari dari India. Batikpun juga harusnya demikian.

Inilah yang semestinya didukung oleh pemerintah. Kita butuh pemikir dan orang-orang berkomitmen yang bisa melihat potensi budaya yang “sexy” untuk diangkat menjadi karya merek lokal yang mendunia. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya yakin Indonesia bisa membuat barang elektronik yang berkualitas tinggi. Namun persepsi itu sudah menjadi milik orang Jepang dan sebagian Eropa serta Amerika. Tidak ada gunanya kalau kita ingin membangun merek lokal yang bersaing di kancah dunia dengan merebut persepsi itu dari Negara-Negara tersebut.

Kita harus bisa mencari sesuatu yang unik dari kita sendiri dan itulah yang menarik dari event batik Internasional kemarin. Masa depan budaya dan merek lokal ada di tangan kita semua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun