Mohon tunggu...
Indah Shofiatin
Indah Shofiatin Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas, Alumnus FKM Unair

Hidup hari ini, menang di hari nanti.

Selanjutnya

Tutup

Money

Negara Tanpa Hutang, Sebuah Cita-cita Besar

12 Desember 2017   22:21 Diperbarui: 12 Desember 2017   22:29 1514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Awal 2017 lalu, Bank Indonesia melansir sebuah laporan yang mengenaskan. Per Januari 2017, utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar USD 320,28 miliar atau setara dengan Rp 4.274 triliun dengan kurs dolar hari itu (merdeka.com). Selama bulan-bulan berikutnya utang itu kian membengkak, berubahlah angkanya menjadi Rp 4.590 triliun di bulan Agustus. 

Terlihat kecil bila ditulis tanpa tambahan nol di belakangnya. Cuma goceng. Tapi coba dilengkapi nolnya: 4.590.000.000.000.000. Fantastis bukan? Belum lagi tambahan hutang yang terus mengalir hingga akhir tahun ini. Tidak terbayang sefantastis dan seberapa banyak rupiah yang harus dikumpulkan untuk melunasi hutang-hutang yang jatuh tempo.

Itu kecil! Masih kalah dibandingkan utant Jepang, Cina, India, apalagi negara adidaya Amerika Serikat. Begitu kecilnya, sampai-sampai utang jatuh tempo sebesar Rp 810.000.000.000.000,- periode 2018/2019 sudah menjadi momok bagi keuangan negara republik ini. Sektor perpajakan digalakkan segalak-galaknya. Mulai dari kebijakan Tax Amnesti sampai membuat berbagai varian baru pajak baru, tak peduli rakyat bagian mana dan semayoritas apa yang akan merasa berat menanggungnya. 

Rakyat harus ikut tanggung juga utang negaranya, lah. Ini juga untuk pembangunan! Begitu rupanya alibi penggenjotan dana dari rakyat ini. Selain itu, secara resmi Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah menyampaikan bahwa Indonesia perlu meminjam (lagi) bukan untuk investasi, tapi meminjam untuk keperluan service utang masa lalu. Pemerintah perlu menarik utang untuk membayar bunga utang (detikfinance, 16 Agustus 2016). Untuk APBN 2017 perlu utang untuk membayar bunga utang, lalu untuk melunasi utang jatuh tempo 2018/2019 sebesar Rp 810 triliun itu perlu utang berapa lagi. 

Mari kita berdendang, "Gali lubang, tutup lubang. Hutang uang bayar hutang"!. Dan fakta di depan mata, utang negara semakin gendut. Bukan gendut sehat dan lincah menggemaskan, tapi rupanya mengarah pada obesitas yang mengancam nyawa.

Bila memang utang itu menjadi momok yang menghantui kesehatan negara berkembang ini, lantas mengapa pemerintah kita enggan berlepas dari sumber masalah, justru malah semakin dalam bergelut pada masalah utang yang makin menumpuk? Sri Mulyani menjawab itu terjadi karena Indonesia saat ini masih menganut kebijakan ekspansif, yakni belanja atau pengeluaran lebih besar daripada penerimaan negara. 

Akibatnya terjadi defisit fiskal yang harus dibiayai dari utang. Indonesia hanya akan berhenti dari utang bila pendapatannya lebih besar dari negara (liputan6.com, 19 Februari 2017). Pelajaran ekonomi dasar saja sudah menjelaskan, utang bisa muncul bila belanja lebih besar dari pendapatan. Pepatah bilang, "Besar pasak daripada tiang". Para murid di sekolah dasar juga bisa menjelaskan hal tersebut. Namun, apakah Indonesia tidak bisa meninggalkan kebijakan ekonominya yang ekspansif dengan modal utang itu?

Mari kita daftar secara sederhana kekayaan alam Indonesia: pengekspor gas alam terbesar di dunia, minyak bumi melimpah di segala penjuru nusantara, emas dan aneka bahan tambang bergunung-gunung di Papua, permata-permata terbaik di dunia ada, hutan membentang, mutiara dan berbagai ikan dikandung lautnya yang lebih luas dari wilayah daratan, sawah-ladang-perkebunan masih menjadi medan mata pencaharian utama penduduknya, ditambah daftar panjang lain yang mudah ditemukan di berbagai buku ilmu pengetahuan sosial tingkat SMP sekalipun. Kaya sekali bukan? Lantas mengapa kekayaan alam yang melimpah-ruah ini tidak membuat negara kita kelebihan pendapatan, malah kurang untuk membiayai anggaran belanja sehingga harus utang?

Jawabannya: kebijakan liberalisasi. Negara kita sudah secara sah menyerahkan kekayaan alam meluber ini kepada swasta, baik dalam negeri maupun asing dengan berbagai kebijakan ekonomi. Sebut saja UU SDA, UU PMA, UU Minerba, dan berbagai peraturan lain yang melegalkan pihak bukan pemerintah untuk mengambil kekayaan alam itu dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan perusahaan dan pemiliknya. 

Freeport yang mengambil hak pengelolaan gunung emas di Papua; Exon, Total, Chevron, dan perusahaan pengelolaan minyak lain yang menguasai kelola minyak mentah bumi pertiwi; sumber air bersih dipetak-petak untuk swasta; tepi pantai ramai diobral untuk siapapun yang bisa mengapling tanah dan membayar rupiah; sawah-kebun dirubah menjadi perumahan elit punya orang kaya; kekayaan laut dilahap nelayan asing yang melenggang santai di atas laut kaya kita; bahkan hari ini BUMN bukan lagi sepenuhnya milik negara melainkan milik siapapun yang bisa membeli sahamnya dengan rupiah. 

Manis sekali bukan? Lalu negara kita dapat apa? Pajaknya saja. Secuil debu dari gundukan gunung kekayaan. Bukan hasil kekayaan alam yang mereka kelola sehingga bisa kita jual dan menambah pendapatan negara, tentunya. Inilah hasil dari liberalisasi kekayaan alam punya rakyat. Bukannya untung, negara jadi buntung, rakyat pula yang harus menanggung beban kebijakan yang tidak menghiraukan rakyat ini. Bagaimana tidak? Saat mereka meneken kontrak dan memberlakukan aturan pro swasta asing (dan sedikit dalam negeri), rakyat jua yang harus menanggung dipotongnya berbagai subsidi dengan alasan negara kurang anggaran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun