Mohon tunggu...
Melvi Yendra
Melvi Yendra Mohon Tunggu... profesional -

author, writer, editor, journalist, screenwriter, ghostwriter, bookaholic, communication specialist

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Cerpen] "Tanah Mati"

11 Juni 2011   04:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:38 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

© Melvi Yendra Secara mendadak, Amak memintaku pulang. Hari itu juga. Secepatnya. “Pulanglah,” pinta Amak kedua kalinya di telepon. Kali ini penuh tekanan. “Ada apa, Mak?” tanyaku gusar. Adakah ini tentang Abak? Apakah Abak akhirnya pergi meninggalkan kami setelah sakit bertahun-tahun? “Bukan tentang Abak,” sahut Amak seolah bisa menangkap isi kepalaku. “Ini tentang tanah di kampung kita.” “Kenapa dengan tanah di kampung kita?” “Mereka telah mati.” *** Setelah menempuh perjalanan yang makan waktu lebih dari sepuluh jam—sekali dengan pesawat terbang, sekali dengan bus antarkota, sekali dengan taksi, dan terakhir dengan ojek motor—aku akhirnya sampai juga di Kampung Puruak, kampung halamanku. Ketika ojek yang kutumpangi memasuki gapura kampung, hari telah senja. Jalan-jalan sudah lengang, dan lampu-lampu di rumah-rumah sudah dinyalakan. Dari kejauhan sayup-sayup kudengar suara azan. Tapi waktu kulewati masjid tua di kampung kami, bagian dalam masjid tampak gulita. Sebuah bohlam menyala redup di ujung tangga batunya yang hijau lumut. Tak tampak seorang pun yang datang untuk sembahyang berjamaah. Semakin masuk ke dalam kampung, aku makin merasa gelisah. Sebagian penduduk sudah duduk terpaku di depan televisi, di ruang tengah masing-masing. Jendela mereka yang tak berkain tampak tembus pandang, sehingga apa saja yang mereka lakukan, terlihat jelas dari luar. Yang tidak punya televisi, pergi ke lapau-lapau, duduk sambil minum kopi dan merokok, atau cuma berdiri di luar, memagut lengan dalam sarung, memelototi televisi yang ditaruh di tempat paling tinggi. Sejauh yang aku lihat, kampungku tak banyak berubah sejak aku pulang terakhir kali empat tahun lalu. Ojek motor berhenti di depan rumah tua yang dibangun Abak setengah abad silam. Rumah itu, makin lama makin tampak tak terurus, lebih-lebih sejak Naira, adikku satu-satunya menikah dan dibawa suaminya ke Kalimantan. Sekarang pastilah Amak sendirian yang mengurus rumah, mulai dari lumbung padi di depan sampai ke kebun di belakang rumah. Sudah pernah aku sarankan agar Amak membayar pembantu, tapi Amak menolak, dengan alasan dia akan makin cepat tua bila tak banyak bergerak. Aku jadi menyesal karena terlalu sibuk dengan hidupku sendiri di Jakarta. Tiga kali lebaran Idul Fitri, aku malah tidak bisa pulang. Amak menyambutku di atas jenjang rumah. Wajahnya keruh, tampak lebih tua dari seharusnya. Abak kulihat terbaring lemah di dipan dalam kamarnya, masih seperti empat tahun lalu. Sudah sangat sulit bagi Abak mengenali anaknya sendiri, sekalipun aku sudah meneriakkan namaku keras-keras di pangkal telinganya dan mendekatkan kepalaku sehingga nyaris menyentuh hidungnya. Abak cuma tersenyum tanpa maksud, seolah-olah aku ini tamu yang sedang berkunjung. “Kenapa Mak memanggilku pulang?” Aku sadar itu pertanyaan bodoh, tak pada tempatnya. Amak tak 'kan memaksaku pulang kalau tidak ada hal penting. “Makan dan istirahatlah. Besok, kita ke ladang, pagi-pagi sekali,” kata Amak penuh misteri. Ladang? Ah, aku semakin penasaran. *** Aku terbangun ketika matahari sudah tinggi. “Kenapa Amak tak bangunkan aku untuk salat subuh?” protesku di depan pintu dapur setelah keluar dari kamar mandi. “Cepatlah sembahyang! Nanti matahari makin tinggi,” sahut Amak tak peduli. Setelah sembahyang, aku dan Amak turun dari rumah. Kami berjalan menuju ladang milik keluarga yang terletak di batas kampung. Tanah itu luasnya lebih kurang satu hektar, dan sisi utaranya berbatasan langsung dengan ladang milik orang kampung sebelah, Kampung Palimo. Baru saja beberapa langkah dari rumah, aku langsung melihat ada yang aneh. Ladang Mak Pado, tetangga kami, terbengkalai dalam keadaan menyedihkan. Tanahnya kerontang, bahkan retak di sana-sini. Pohon pisang dan jagung yang dulu tumbuh subur di sana, sekarang tidak ada lagi. Ladang yang kulewati ini gersang, nyaris seperti padang pasir. “Apa yang telah berlaku? Kenapa ladang Mak Pado seperti ini?” tanyaku pada Amak. Amak diam, meneruskan langkah. Rasa heranku kian membuncah ketika kuputar kepalaku berkeliling. Ya, Tuhan, ladang jagung dan ladang cabai Mak Anjang, yang kini sedang kulewati juga dalam keadaan yang sama. Sama kerontangnya dengan ladang Mak Pado. Begitu pula dengan ladang Mak Saini, kepala kampung kami, dan ladang Ajo Kameih, pedagang sate di pasar. Aku heran, kenapa semalam, waktu aku melewati jalan-jalan kampung, aku tidak melihat semua ini? Saat langit terang tanah, aku dan Amak sampai di ladang milik kami. Ketika melihat kondisi ladang kami, aku sudah tidak begitu terkejut lagi, karena ini sudah kuduga sebelumnya. Pohon pisang, rambutan dan batang durian yang dulu ada di sana, sekarang sudah tiada. Di tempat dulu pohon durian besar itu tumbuh, sekarang tinggal sebuah lubang besar yang dari dalamnya muncul akar-akar kecil yang sudah kempes seperti pepesan kosong. Tidak kulihat lagi sehelai daun pun, yang pagi-pagi seperti ini biasanya menuai embun. “Apa yang terjadi, Mak?” tanyaku. Amak belum juga bicara. Ia membawaku ke sisi utara ladang kami yang berbatasan dengan kampung sebelah. “Yang kaulihat tadi belum terlalu buruk. Coba kauperhatikan baik-baik ke sebelah sana, ke ladang orang-orang Kampung Palimo.” Amak menunjuk ke seberang pagar yang memisahkan ladang kami dengan ladang milik orang-orang Kampung Palimo. Cahaya matahari yang mulai muncul dari langit sebelah timur, menyinari lebatnya daun dan buah ratusan pohon pisang yang mulai menguning. Di sisi sebelah kanan ladang itu, pemiliknya menanaminya dengan lobak besar yang saat itu mulai matang dan cukup umur untuk dipanen. Di bagian sebelah kiri, aku melihat tanaman cabai yang memerahkan tanah coklat basah di bawahnya. Bahkan bisa kudengar suara tetes embun jatuh dari kelopak daun-daun pisang menimpa saluran air di ujung sana. Aku terkesiap. Ini aneh sekali. Bagaimana mungkin sebuah kampung diberi anugerah kesuburan sementara persis di sebelahnya ada kampung yang tanah dan tanamannya kering kerontang? Jika Tuhan memaksudkan ini sebagai hukuman, dosa apa yang telah orang kampung kami lakukan? Lalu, bagaimana caranya Dia akan menjelaskan semua ini melalui otak kami yang kecil dan tak berguna ini? “Ada apa dengan semua ini, Mak?” tanyaku heran. “Amak tak tahu, Zal. Karena inilah Amak menyuruh kau pulang,” sahut Amak. Wajah Amak tampak keruh. Setelah itu beliau terdiam, sementara aku masih terheran-heran memandangi keanehan yang terhampar di depan mataku. “Ini semua terjadi hanya beberapa minggu setelah peristiwa memalukan itu berlaku,” Amak bergumam. “Peristiwa yang semestinya tak terjadi di sini.” Aku kaget. “Peristiwa apa, Mak?” Mak menatapku sayu. “Amak akan ceritakan padamu, Zal. Amak akan ceritakan...” *** Kurang-lebih dua tahun yang lalu, datanglah ke kampung kami seorang lelaki muda, kira-kira seusiaku. Dia seorang lelaki yang sederhana, datang dari seberang lautan, bermaksud mengabdikan hidup untuk beribadah kepada Tuhan. Dia mendatangi masjid tua kami dan mengajukan diri menjadi marbot. Karena masjid tua kampung kami memang tak terurus, lamarannya itu diterima oleh orang-orang kampung. Pemuda itu bernama Amin. Amin saja, tak kurang, tak lebih. Ternyata, Amin bukan pemuda biasa. Kedatangannya membawa banyak perubahan. Masjid kami yang dulu kotor sekarang menjadi bersih. Masjid kami yang dulu lengang, sekarang mulai ramai didatangi orang-orang untuk sembahyang. Bahkan anak-anak di kampung kami, tak perlu jauh-jauh lagi belajar mengaji, karena Amin sangat fasih membaca Al-Quran dan pandai mendendangkannya. Suaranya merdu melantunkan azan, dan ceramah yang dia berikan menyentuh sampai ke dalam hati. Orang-orang kampung langsung jatuh hati pada pemuda itu. Anak-anak senang belajar padanya, para pemuda dan pemudi senang bergaul dengannya, dan para orangtua merasa tertolong oleh ilmu dan keluasan pengetahuannya akan agama. “Lalu, datanglah hari celaka itu,” kata Amak. “Hari celaka apa? Apa yang terjadi?” “Si Midun datang seperti sedang dikejar-kejar setan, menghampur ke lapau Kak Sani, dan menunjuk-nunjuk masjid kita.” “Ada apa dengan dia?” Midun, pemuda pengangguran yang terkenal suka bikin onar di kampung kami, mengaku telah menyaksikan Amin berzina dengan Minah, gadis kampung kami. Dan, menurut Midun, Amin dan Minah melakukannya di dalam masjid! “Benarkah tuduhan itu?” potongku. “Tak seorang pun yang tahu. Tak ada seorang pun yang menyaksikan kejadian itu selain si Midun. Yang Mak tahu, orang tua Minah memang berniat mau mengambil Amin jadi menantu.” “Bagaimana dengan Amin? Apakah dia mengakui perbuatan itu? Bagaimana dengan Minah, apakah dia sudah ditanyai tentang tuduhan itu?” “Amin tidak sempat memberikan pembelaan apa pun. Para pemuda sudah telanjur terbakar amarah. Atas perintah si Midun, pemuda-pemuda kampung menyeret Amin ke tengah halaman masjid dan memukulinya sampai pingsan.” “Ya, Allah...” desisku. “Apa tidak ada yang berani mencegah mereka main hakim sendiri seperti itu?” “Tak ada yang berani melawan si Midun, Rizal. Kau kan tahu siapa ayahnya.” Mak Saini, ayah di Midun, adalah orang paling kaya dan paling berkuasa di kampung kami. Si Midun, anak tunggalnya, bertindak seperti raja kecil saja di kampung kami. Orang-orang yang tak suka dengannya, memilih tak menentangnya. Orang-orang yang takut padanya, banyak yang bersedia menjadi kaki-tangannya. Hitam kata si Midun, hitamlah yang berlaku. Putih katanya, putihlah yang terjadi. Aku mendesah. Kurang ajar sekali. “Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?” Kali ini Amak tak langsung menjawab. Amak menundukkan kepalanya tanda duka. “Si Amin tak diberi ampun. Bahkan ketika pemuda itu melolong minta tolong. Menjelang senja mereka membawanya ke hutan di lereng bukit di utara kampung sana dan menggali lobang sempit seukuran badan.” “Untuk apa?” tanyaku makin kaget. “Amin dimasukkan ke lubang itu. Seluruh tubuhnya ditimbun tanah, kecuali kepalanya.” Kata Amak, mereka sengaja menyisakan kepalanya hanya untuk memastikan pemuda itu masih hidup dan bisa bernapas saat dirinya disiksa. Amak menangis terisak-isak. Aku bisa menebak ke mana arah cerita Amak selanjutnya. Aku merangkul Amak dan menenangkannya. “Amak memang tak melihat dengan mata kepala sendiri, Zal. Tapi dari cerita orang-orang, Amak bisa membayangkan apa yang telah mereka lakukan pada pemuda itu.” Amak tidak menyelesaikan ceritanya karena terlalu bersedih mengingat kejadian itu. Dua hari berikutnya aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi selanjutnya pada Amin. Mak hanya bercerita, bahwa setelah peristiwa itu, kampung kami seperti terkena kutukan. Tanah kering kerontang, seolah mati. Apa saja yang ditanam di atasnya, langsung mati. Beberapa keluarga yang mengandalkan hidup dari pertanian, langsung jatuh miskin. Orang-orang kampung lalu mengaitkan kutukan itu dengan kejadian yang menimpa Amin, pemuda saleh itu. Mereka menyimpulkan diam-diam, bahwa tuduhan zina yang diderakan pada pemuda itu tidak benar. Amin, pemuda saleh itu hanya jadi korban fitnah si Midun, yang ternyata ketahuan jatuh cinta pada Minah. Sejak kejadian itu, masjid kami kembali kosong dan tak terurus. Tak terdengar lagi lantunan ayat-ayat Al-Quran dari dalamnya. Tak terdengar lagi suara hiruk-pikuk anak-anak yang sedang belajar mengaji. *** Dua bulan berlalu. Aku kembali sibuk dengan pekerjaanku di Jakarta. Aku sudah berusaha melupakan cerita Amak itu. Tapi, setiap kali menelepon Amak, aku kembali teringat kisah tentang Amin, pemuda saleh itu, yang tak kutahu di mana rimbanya kini. Semalam, sebuah nomor dari kampung berkedap-kedip di ponselku. Ketika kuangkat, kudengar suara Amak ketakutan di seberang sana. “Zal, kau harus segera pulang,” pinta Amak. “Kenapa, Mak?” “Baru saja datang seorang pemuda baik-baik ke kampung kita dan menyediakan diri untuk mengurus masjid tua kita. Dia pintar berceramah dan pandai mengaji.” “Baguslah kalau begitu, Mak. Berarti ada yang akan menggantikan si Amin,” sahutku ringan. “Pandir kau ini, Zal. Apakah kau mau anak muda baik-baik ini juga jadi korban fitnah si Midun nantinya dan mati dirajam orang-orang kampung di lereng bukit? Apa kau mau ada lagi mayat pemuda baik-baik dihanyutkan ke Batang Anau dan tak seorang pun berani menyelamatkan mayatnya yang ditemukan mengapung tersangkut di bendungan di ujung sungai? Kau harus pulang, Zal! Kau harus ada di rumah untuk mencegah kejadian itu terulang kembali. Mak tak mau tanah di seluruh kampung kita akhirnya benar-benar mati.”[] twitter @melviyendra

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun