Mohon tunggu...
Melvern16 Sebastian12
Melvern16 Sebastian12 Mohon Tunggu... pelajar

hobi saya memasak, menulis, dan bermain game

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Dari Ulat Bulu Hingga Elite Politik : Potret Ketakutkan dan Lemahnya Kepemimpinan

16 September 2025   08:35 Diperbarui: 16 September 2025   08:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Artikel-artikel yang dibaca sama-sama mengangkat isu sosial, politik, dan lingkungan dengan pendekatan kritis serta sarat sindiran. Masing-masing tulisan menyoroti persoalan yang berbeda, namun bermuara pada refleksi tentang kepemimpinan, masyarakat, dan rasionalitas berpikir.

Dalam artikel F. Rahardi “Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu”, penulis tidak sekadar membahas fenomena ekologis, melainkan juga menunjukkan bahwa ketakutan berlebihan terhadap ulat bulu hanyalah refleksi dari pola pikir masyarakat yang mudah panik. Dengan membandingkan masa lalu ketika pupa ulat justru dikonsumsi hingga sekarang ketika ulat dianggap ancaman, Rahardi menegaskan pentingnya memahami alam secara ilmiah dan ekologis, bukan dengan kepanikan. Kritiknya bahkan diperluas dengan menyindir kepemimpinan nasional yang juga terjebak dalam “fobia politik”, menjadikan Indonesia seperti “republik hantu” yang takut pada bayangan sendiri.

Senada dengan itu, editorial tentang kasus pagar laut ilegal menyoroti kelemahan pemerintah dalam menegakkan hukum. Penulis dengan lugas memperlihatkan bahwa masalah tersebut bukan sekadar urusan pemagaran, tetapi menyangkut keadilan, hukum, dan legitimasi pemerintah. 

Lambannya penanganan hanya mempertegas lemahnya koordinasi antarinstansi dan berpotensi mengikis kepercayaan publik. Editorial tersebut tidak hanya berhenti pada kritik, tetapi juga mendorong Presiden Prabowo untuk turun tangan langsung agar kasus tidak berlarut-larut. Dengan menyajikan data, pernyataan pejabat, dan analisis sosial-politik, penulis berhasil menunjukkan bahwa editorial dapat menjadi sarana untuk menggugah kesadaran publik sekaligus menekan pemerintah agar bertindak.

Di sisi lain, artikel tentang sumpah jabatan dan etika elite politik mengingatkan bahwa demokrasi tidak akan berjalan baik tanpa keteladanan pemimpin. Penulis secara reflektif mengaitkan Reformasi 1998 dengan situasi politik saat ini, terutama ketika elite justru melanggar sumpah jabatan demi kepentingan golongan. Revisi UU Pilkada yang bertentangan dengan semangat konstitusi dijadikan contoh konkret lemahnya komitmen terhadap etika berbangsa. Artikel ini menegaskan bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis keteladanan, di mana kejujuran, keadilan, dan integritas tidak lagi menjadi pegangan utama para pemimpin. Tanpa perubahan sikap, masalah ketidakadilan sosial, lemahnya hukum, dan praktik korupsi akan terus berulang.

Ketiga artikel—Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu (F. Rahardi), Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo), dan Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo)—sama-sama memperlihatkan wajah bangsa yang rentan pada kepanikan, lemahnya etika kepemimpinan, dan bobroknya tata kelola pemerintahan. 

Ketiga artikel—Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu (F. Rahardi), Ketika Etika dan Sumpah Menjadi Teks Mati (Budiman Tanuredjo), dan Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal (Editorial Tempo)—sama-sama memperlihatkan wajah bangsa yang rentan pada kepanikan, lemahnya etika kepemimpinan, dan bobroknya tata kelola pemerintahan. Fobia ulat bulu menggambarkan bagaimana masyarakat mudah terjebak dalam ketakutan yang tidak beralasan, sementara elite politik juga menunjukkan “fobia” dalam bentuk ketakutan kehilangan jabatan atau posisi. Artikel tentang sumpah jabatan menyingkap bahwa sumpah luhur hanya tinggal formalitas, etika dijadikan ornamen, sementara praktik politik justru mengabaikan konstitusi dan demokrasi. Editorial tentang pagar laut ilegal menegaskan bagaimana kepentingan segelintir elite bisa mengalahkan aturan hukum, dengan penanganan yang semrawut, penuh drama, dan mengikis kepercayaan publik.

Jika dikaitkan dengan kondisi nyata saat ini, persoalan yang muncul adalah krisis lingkungan dan tata ruang akibat pembangunan yang merusak ekosistem, krisis politik karena elite mengabaikan etika dan konstitusi, serta krisis hukum karena aparat lamban dan tidak tegas menghadapi pelanggaran oleh kelompok berkuasa. Semua itu memperlihatkan bahwa masalah-masalah kecil seperti fobia ulat bulu, revisi UU untuk kepentingan politik, hingga pagar laut ilegal, sesungguhnya mencerminkan persoalan besar: lemahnya tata kelola negara dan hilangnya keberpihakan pada rakyat.

Masalah utama yang timbul dari rangkaian persoalan tersebut adalah krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah dan elite politik. Ketika masyarakat melihat pemimpin tidak berintegritas, hukum hanya tajam ke bawah, dan kepentingan segelintir kelompok lebih diutamakan daripada rakyat banyak, rasa percaya akan runtuh. Tanpa kepercayaan, masyarakat mudah tersulut konflik sosial, tidak lagi patuh pada aturan, dan menutup diri dari kebijakan pemerintah.

Solusi yang diperlukan tidak cukup bersifat teknis, melainkan harus menyentuh akar persoalan. Pertama, penguatan literasi publik agar masyarakat tidak mudah terjebak fobia atau manipulasi isu, serta mampu menilai kebijakan dengan rasional. Kedua, penegakan hukum yang tegas dan independen, tanpa intervensi kepentingan elite atau modal, agar kasus seperti pagar laut ilegal benar-benar bisa diusut tuntas. Ketiga, restorasi etika politik, yaitu menghidupkan kembali sumpah jabatan dan prinsip demokrasi sebagai pedoman nyata, bukan sekadar teks mati. Terakhir, kepemimpinan teladan yang berani melawan arus kepentingan sempit demi keberlangsungan bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun