Mohon tunggu...
Fajry Akbar
Fajry Akbar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Natural born scientist

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bersama, Kita Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan

21 November 2014   23:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:11 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416559400582472819

Krisis tahun 1998 lalu menjadi pelajaran penting bagi bangsa indonesia tentang bagaimana menjaga stabilitas sistem keuangan. Biaya ekonomi yang besar sampai konflik sosial membuat kita sadar akan Pentingnya stabilitas sistem keuangan.  Oleh karena itu, sistem keuangan yang stabil haruslah tetap terjaga.

Bagi saya, stabilitas sistem keuangan tidak hanya tanggung jawab institusi tertentu saja. Menjaga stabilitas sistem keuangan merupakan kewajiban seluruh elemen bangsa termasuk kita sebagai masyarakat. Lalu apakah apakah peran yang  dapat dilakukan oleh setiap elemen bangsa tersebut ?

a.) PERAN MASYARAKAT

Peran masyarakat dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dapat dilakukan melalui pendekatan financial behavior, yaitu :

Melihat Kedepan (forward looking)

Kata kunci peran masyarakat dalam menjaga stabilitas sistem keuangan adalah melihat kedepan (forward looking) dalam mengambil keputusan. Kita tidak boleh terlena dengan apa yang terjadi sebelumnya. Kita harus sadar bahwa masa “enak”, seperti periode Boom dalam siklus bisnis, itu tidak bisa bertahan selamanya. Pasti ada goncangan dimasa depan seperti kenaikan harga BBM atau kenaikan tingkat suku bunga.

Kita sering mendengar cerita Nabi Yusuf. Didalam cerita tersebut Nabi Yusuf menjelaskan bahwa bakal ada tujuh muslim paceklik  setelah tujuh musim panen. Nabi Yusuf-pun memerintahkan rakyat mesir untuk “menabung” saat masa panen. Alhasil, rakyat mesir pun selamat dari tujuh musim paceklik.

Cerita Nabi Yusuf sebenarnya memberikan pelajaran bahwa kita harus memandang kedepan dan juga menyadarkan kita bahwa masa enak tak akan beralangsung selamanya namun akan ada masa sulit yang akan datang. Oleh karena itu kita harus memiliki solusinya seperti menabung.

Memiliki Informasi yang Cukup

Selama ini, kita sebagai masyarakat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang terbatas seperti harga masa lalu dan kini atau kemampuan membayar kredit selama ini. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memiliki informasi yang cukup untuk mengambil keputusan. Karena dengan memiliki informasi yang cukup, kita akan mampu mengambil keputusan dengan melihat kedepan (forward looking).

Seperti cerita Nabi Yusuf, dalam cerita tersebut Nabi Yusuf memiliki informasi akan tujuh musim panen kemudian datang tujuh musim paceklik. Dengan informasi tersebut Nabi Yusuf mengambil keputusan dengan melihat kedepan yaitu “menabung” di saat panen. Akhirnya rakyat mesir dapat mengantisipasi apa yang akan terjadi masa mendatang.

Lalu bagaimana masyarakat kita sekarang mendapatkan informasi seperti Nabi Yusuf ? Memang Nabi Yusuf telah meninggal ribuan tahun lalu. Tetapi, kita memiliki Bank Indonesia (BI)  serta pemerintah. BI dan pemerintah harus berperan seperti Nabi Yusuf. Mereka harus dapat memprediksi pergerakan siklus bisnis, kapan periode enak dan kapan periode susah. Setelah itu, barulah kewajiban kita masyarakat harus mengikuti informasi maupun arahan dari BI maupun pemerintah tentang ekonomi kedepan. Dengan begitu, kita akan memiliki informasi yang cukup untuk mengambil keputusan.

Misalkan saja, kita sebagai masyarakat memiliki informasi dari BI maupun pemerintah bahwa akan terjadi kenaikan harga dan suku bunga kedepan.  Dengan begitu kita akan memikirkan dampaknya terhadap kemampuannya membayar cicilan hutang dimasa mendatang. Hal tersebut akan membuat kita mempertimbangkan secara matang sebelum menetapkan keputusan untuk mengambil kredit. Alhasil, kita akan mampu mengantisipasi apa yang akan terjadi masa mendatang.

Selain itu, Masyarakat juga harus memiliki informasi kredit yang akan diambilnya seperti skema tagihan kartu kredit.  Jiakalau tidak, maka masyarakat sendiri yang dirugikan.

Mendidik Agar Menjauhi Budaya Boros

Dalam teori financial behavior, manusia akan mengambil keputusan konsumsi berdasarkan konsumsi masa lalu dan saat ini. Akibatnya, pada masa enak, tingkat konsumsi akan selalu meningkat. Pertumbuhan kredit konsumsi pun juga meningkat. Alhasil, tingkat hutang masyarakat akhirnya tinggi.

Padahal kondisi enak itu tidak akan berlangsung terus  menerus. Akan ada dimana masa sulit itu akan datang.  Oleh karena itu, penting bagi kita mendidik diri maupun keluarga agar tidak berboros diri di saat enak. Saya teringat Misae dalam serial kartun Crayon Shinchan.

Pada saat sedang berlibur ke suatu daerah tropis, mereka bertemu makanan mewah dengan harga murah.Tapi, Misae malah melarang keluarganya untuk menyantap hidangan mewah tersebut. Misae berpendapat kalau sudah mencoba nanti akan mejadi kebiasaan untuk makan mewah dan hidup boros saat pulang di jepang nanti.

Memang konteksnya perbedaan tempat tapi intinya adalah pendidikan agar jangan terlena pada kesempatan di masa enak. Memang disaat enak ini kita mampu membeli gadget mahal tapi kita harus sadar bahwa masa ini akan ada akhirnya. Oleh karena itu, Kita harus dapat menahan diri untuk mengkonsumsi mahal yang tidak diperlukan.

Needs vs Wants

Untuk dapat menahan diri dalam masa enak tersebut kita harus mengetahui mana yang “Needs” (kebutuhan) dan mana yang “wants” (keinginan). Needs adalah sesuatu yang harus kita miliki seperti makan tiga kali sehari. Sedangkan wants sesuatu yang kita ingin miliki seperti makan di sebuah restoran mewah. Dengan membedakan needs dan wants dalam kehidupan kita maka kita dapat mengurangi tingkat konsumsi yang tidak “bermanfaat”.

Manajemen Keuangan Rumah Tangga

Pada masa enak seperti sekarang kita harus memiliki rencana dan persiapan untuk masa depan.  Lalu bagaiman caranya ?

Caranya adalah dengan manajemen keuangan rumah tangga dan Individu. Masyarakat tidak boleh rakus disaat enak mereka harus menyisakan pendapatan mereka untuk kedepan seperti menabung misalnya. Kita sebagai masyarakat harus punya persiapan untuk masa buruk. Persiapaan berarti kita harus melakukan anggaran terhadap pendaptan kita. Misalnya, kita menyisakan 20 % dari pendapatan untuk masa depan dalam bentuk menabung atau investasi.

Dalam berhutang, jangan sampai rasio cicilan terhadap pendapatan kita pas-pasan. Misalnya, saat tingkat suku bunga naik maka kita mempunyai sisa pendapatan yang dimiliki untuk menambah kenaikan biaya cicilan tersebut. Kita harus memiliki “ruang” pada pendapatan untuk kejadian di masa buruk. Oleh karena itu kita harus membatasi berapa rasio maksimal cicilan kredit terhadap pendaptan. Contoh: Total cicilan perbulan adalah 30 % dari total pendaptan perbulan.

Mendahulukan Tabungan daripada Konsumsi

Memang ktia dapat menyisihkan pendapatan untuk ditabung, tapi pola pikir seperti itu akan membuat tabungan bukan menjadi prioritas sehingga sering kali “kebablasan” yang akhirnya pendapatan kita ternyata habis hanya untuk konsumsi. Kita harus merubahnya menjadi pola pikir bahwa tabungan lebih didahulukan dari pada konsumsi. Pola pikir baru tersebut akan membuat kita menargetkan berapa jumlah tabungan pada periode tertentu. Dengan begitu, kita akan selalu memiliki porsi pendaptan untuk ditabung. Kita juga lebih efektif mengontrol tingkat konsumsi.

Pola Pikir Cash flow bukan Capital Gain

Selain tingkat hutang yang cukup tinggi, salah satu masalah di negara kita adalah harga rumah yang sudah meroket sehinggga ditakutkan akan mengalami bubble yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Nah apa peran masyarakat dalam menjaga agar harga rumah tidak menjadi bubble ?

Jawabannya adalah kita harus merubah pola pikir kita. Sebagai masyarakat, kita harus merubah pola pikir mencari “capital gain” atau cuan menjadi pola pikir cash flow. Kita jangan lagi berpikir “Nih rumah kalau gw beli, tahun depan harganya kira-kira bakal naik berapa ?” tapi kita harus berpikir “Kalau nih rumah gw beli, kira-kira pertahun pendapatannya dapat berapa ? berapa lama balik modal ?”. Misalkan harga rumah Rp 1 Miliar disewakan Rp 25 juta/tahun maka lama balik modalnya adalah 40 tahun. Itulah pola pikir cash flow.

Dengan pola pikir cash flow ini kita tak akan tertarik lagi dengan omongan sales properti “Beli sekarang, senin naik”. Kita juga mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari nilai fundamental rumah tersebut. Begitupula dengan kemampuan membayar cicilan, pendapatan pertahun akan meringankan cicilan KPR. Kita juga tak harus menghadapi risiko penurunan nilai aset karena pendapatan kita tetap.

Dan yang terakhir,  penulis mengingatkan bahwa properti bukanlah tempat yang tepat untuk menaruh uang anda dalam berinvestasi.

Selain melalui pendekatan Financial behavior, peran masyarakat juga dapat dilakukan dengan hal berikut:

Jangan Mudah Terpengaruh Isu Negatif

Kepercayaan kita sebagai masyarakat sangat penting terhadap stabilitas sistem keuangan. Saat kepercayaan itu hilang maka akan terjadi penarikan besar-besaran dana mayasarakat dari bank. Bank-pun akhirnya menjadi bangkrut. Kemudian kebangkrutan itu dapat menyebar ke bank-bank lainnya sehingga menciptakan sebuah krisis.

Kepercayaan masyarakat terhadap bank erat kaitannya dengan isu-isu negatif atau kabar burung yang beredar di masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat jangan mudah terpengaruh isu negatif atau kabar burung. Masyarakat harus dapat meng-cross check isu tersebut ke sumber yang dapat dipercaya seperti Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan.

b.) PERUSAHAAN KEUANGAN DAN NON-KEUANGAN

Dari setiap terjadinya guncangan stabilitas sistem keuangan biasanya terbongkar pelanggaran atau tindakan tidak etis di dunia keuangan. Kita masih ingat krisis tahun 2008 lalu yang mengungkap tindakan kecurangan dan tak etis pada perbankan. Tindakan tersebut akhirnya menjadi sumber ketidakstabilan sistem keuangan.

Oleh karena itu sangat penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran maupun tindakan tidak etis di dunia perbankan. Memang, selama ini ada pengawasan dari dari otoritas tapi kita boleh menggantungkan beban tersebut kepada otoritas sendiri. Beban menurut saya tersebut terlalu berat jikalau ditanggung otoritas pengawas sendiri. Oleh karena itu, Pencegahan harus dimulai dari individu lembaga keuangan itu sendiri. Bagaimana caranya agar pencegahan dapat dimulai dari individu institusi bank ?

Memperbaiki Budaya dan Manajemen Bank

Budaya bank dapat dijadikan sebagai senjata utama dalam pencegahan tindakan kecurangan dan tidak etis. Budaya bank yang sehat akan mendorong karyawan untuk berperilaku baik. Hal tersebut terjadi karena budaya yang sehat mengurangi benefit dari tindakan pelanggaran dan kecurangan. Disisi lain, budaya yang sehat maningkatkan risiko atau kerugian dari tindakan pelanggaran dan kecurangan. Jadi, secara rasional seorang karyawan akan menjauh dari tindakan ilegal atau curang.

Perbaikan budaya dimulai dari peruabahan dari senior leader. Mereka harus memberikan contoh yang baik bagi bawahannya. Langkah selanjutnya adalah para senior leader harus memperbaiki manajemen sumber daya manusia mereka. Dimulai dari rekruitmen, pengembangan karir, penilaian performa, dan promosi karyawan. Para senior manager juga harus proaktif terhadap pelanggaran atau kecurangan yang dilakukan oleh karyawannya.  Sikap proaktif tersebut akan memberikan pesan kepada para karyawan untuk menaati hukum dan aturan yang berlaku.

Selain itu, harus dibuat fasilitas pengaduan untuk karyawan atas tindakan curangl dan tak etis. Karyawan  yang mengadukan tindakan tersebut juga harus mendapat benefit. Hal tersebut, akan menciptakan sebuah mekanisme pengawasan antar sesama pegawai dari tindakan curang dan tak etis.

Perbaikan budaya juga dapat dilakukan dengan kompensasi. Akan tetapi, bentuk dan jumlah kompensasi akan menetukan efektifitasnya. Oleh karena itu kita harus menentukan jumlah dan bentuk kompensasi yang tepat.

Kompensasi yang didapatkan harus dibayarkan untuk masa mendatang (deferred) dan dalam jangka panjang. Kompensasi yang dibayarkan juga digunakan untuk penambah modal bank jikalau terjadi kondisi insolvent. Jika terjadi pelanggaran, maka denda yang dibayarkan sebagian besar dari kompensasi tersebut sehingga terjadi mekanisme internalisasi risiko dari bank ke individu.

Dalam perbaikan manajemen terutama bagian HRD (Human Resource Division), Masa kontrak karyawan terutama dibagian kredit (Sering juga disebut Divisi Bisnis) tidak boleh singkat agar mereka meperhatikan dampak tindakannya terhadap masa depan bank. Sedangkan karyawan yang dalam masa percobaan harus dilakukan supervisi ketat oleh seniornya. HRD juga harus dapat menginternalisasi risiko kepada karyawan, jadi karyawanlah nanti yang menerima risiko dari tindakannya daripada bank sebagai organisasi. Target penjualan digunakan untuk memotivasi karyawan bukan untuk menentukan apakah pemutusan kontrak kerja.

Selain dengan budaya perusahaan, peran dari perusahaan keuangan dan non-keuangan juga bisa dilakukan dengan hal berikut ini:

Melihat Kedepan (Forward looking)

Melihat kedepan merupakan kunci dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Tak hanya masyarat, perusahaan keuangan maupun non-keuangan juga harus melihat kedepan. Bank misalnya, bank tidak boleh melihat risiko yang ada pada saat ini tapi risiko yang ada didepan. Disaat risiko kedepan meningkat maka bank seharusnya sudah meningkatkan “bantal” bagi risiko didepan seperti peningkatan modal.

Tapi bagimana manajemen bank mau melakukan ini ? jawabanya adalah budaya bank yang sehat, seperti yang saya jelaskan sebelumnya, menjadi pendorongan bagi manajemen bank untuk memperhatikan dalam jangka panjang.

Mewaspadai Currency Mismatch

“The new normal” akan membuat nilai tukar Rupiah melemah terhadap US dollar (USD). Hal tersebut harus diwaspadai oleh perusahaan yang memiliki banyak hutang dalam bentuk valas USD. Mereka harus ingat kalau pendapatan mereka dalam bentuk rupiah akan tetapi cicilan hutang dan pokok hutang mereka dalam bentuk USD. Depresiasi nilai tukar akan membuat pendapatan meningkat padahal pendaptan tak berubah. Oleh karena perusahaan harus menjaga jumlah hutang dalam bentuk valas pada posisi yang aman jika terjadi depresiasi nilai tukar.

c.) PERAN PEMERINTAH

Meningkatkan Persaingan Produk Asal Indonesia

Banyak produk pertanian indonesia tidak bisa menembus pasar luar negeri. Hal ini terjadi karena standar produk kita masih dibawah standar internasional. Padahal daya saing produk indonesia akan menentukan nilai ekspor yang pada akhirnya mempengaruhi nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, pemerintah harus berperan meningkatkan daya saing agar ancaman stabilitas sistem keuangan dari nilai tukar dapat teratasi.

Membangun Infrastruktur

Seperti kita ketahui, kondisi infrastruktur kita masih buruk padahal infrastruktur juga berperan dalam berperan penting dalam ekonomi kita. Rusaknya infrastruktur jalan maupun pelabuhan menjadi penyebab besarnya biaya transportasi di Indonesia serta terhambatnya pengiriman logistik. Hal tersebut mempengaruhi tingkat daya saing produk asal indonesia maupun tingkat inflasi di daerah-daerah.

Begitupula dengan infrastruktur listrik. Setelah anjloknya harga komoditas, pemerintah melakukan hilirasi industri dengan memaksa perusahaan tambang membangun smelter. Pabrik smelter sendiri membutuhkan tenaga listrik yang besar. Akan tetapi, infrastruktur listrik yang ada belum mencukupi. Alhasil beberapa pabrik smelter gagal dibangun.

Transformasi Menuju Industri Manufaktur

Selama ini negara kita sangat bergangung sekali terhadap komoditas. Hal ini bisa dilihat dari besarnya proporsi komoditas ekpor Indonesia. Berakhirnya era commodity super cycle akan menekan neraca perdagangan Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus melakukan transformasi ekonominya dari ketergantungan sektor komoditas menjadi ekonomi berbasiskan industri manufaktur. Pengalaman era Orde Baru saat kita menghadapi ancaman era akhir Oil Boom dapat diatasi dengan melakukan meningkatkan industri manufaktur menjadi bukti bahwa ada kesempatan bagi Indonesia untuk mengatasi masalah ini.

Untuk mendorong industri manufaktur, pemerintah harus dapat membangun infrakstruktur yang baik, seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Lalu, pemerintah harus membenahi masalah ketenagakerjaan. Pemerintah juga harus berani mengambil memberikan insentif pajak seperti yang dilakukan oleh vietnam. Era Bonus Demografi  menjadi pendukung bagi industri manufaktur karena memberikan tenaga kerja yang murah dan konsumsi domestik yang tinggi.

Menjaga Inflasi

Menjaga stabilitas sistem keuangan juga berasal dari stabilitas lain seperti stabilitas lainnya seperti inflasi. Jikalau inflasi tak terkendali maka bisa-bisa tingkat suku bunga juga tak terkendali. Alhasil kredit macet bakal tinggi.

Untuk menjaga stabilitas, pemerintah bertanggung jawab atas sisi supply. Maka tugas pemerintah adalah memastikan jumlah barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan cukup. Untuk itu pemerintah membutuhkan statistika pertanian yang kuat. Selain itu, pemerintah juga harus dapat memperlancar aliran arus barang sehingga tidak ada kelangkaan di suatu daerah.

Efisiensi Sektor Perbankan

Menurut Prof. Anwar Nasution, Bank BUMN menjadi penyebab inefisiensi perbankan di Indonesia. Hal ini diakrenakan aturan dari pemerintah yang mewajibkan dana sektor negara untuk disimpan di Bank BUMN. Hal tersebut menyebabkan kurangnya persaingan didunia perbankan. alhasil hal tersebut menyebabkan tingginya perbedaan suku bunga pinjaman dengan suku bunga tabungan di indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus mengatasi masalah tersebut.

Koordinasi dengan BI

Pemerintah juga dapat berkerja sama dengan BI melalui kebijakan fiskal untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemerintah dapat menaikan pajak properti untuk menekan kenaikan harga properti agar tidak menjadi bubble.  Begitupula saat menaikan harga BBM, pemerintah harus berkerja sama dengan BI agar tingkat Inflasi dapat teratasi dengan baik.

d.) PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)

Mengesahkan RUU JPSK (Jaring Pengaman Sistem Keuangan)

DPR juga berperan dengan terhadap stabilitas sistem keuangan dengan memberikan payung hukum bagi manajemen krisis. Kasus Bank Century menjadi pelajaran bagi kita bagaimana kebijakan penyelamatan sistem keuangan menjadi rawan untuk dikriminalisasi. Hal ini terjadi karena lemahnya payung hukum.

Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera mengesahkan RUU JPSK. Dengan UU JPSK maka ada payung hukum bagi  tugas dan tanggung-jawab lembaga terkait yakni Departemen Keuangan, BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pemain dalam jaring pengaman keuangan. Dengan begitu, para pengambil keputusan memiliki keberanian untuk bertindak dalam situasi genting.

e.) PERAN BANK INDONESIA DAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Meningkatkan Jumlah Investor Domestik

Ancaman luar negeri seperti bearkhirnya kebijakan QE (Quantitative Easing) The Fed akan memberikan guncangan terhadap pasar keuangan Indonesia. Hal tersebut terjadi karena para investor asing menarik uangnya dari pasar keuangan kita. Kondisi diperburuk dengan besarnya proporsi kepimilikan asing terhadap kepemilikan surat berharga di Indonesia. Menurut salah satu Direktur BEI, Frederica Widyasari, sebanyak 64 persen dari total nilai investasi di pasar saham Indonesia dimiliki oleh investor asing.

Oleh karena itu peningkatan jumlah investor domestik akan meningkatkan daya tahan pasar keuangan kita terhadap ancaman dari luar negeri. Peningkatan jumlah investor dapat dilakukan dengan memberikan akeses mudah dalam membeli reksadana. Tapi, akses saja tidak akan cukup jikalau masyarakat tidak mengerti akan pasar modal. Oleh karena itu butuh literasi agar masyarakat mengerti manfaat pasar modal.

Untuk melakukan ini OJK dapat bersinergi dengan BEI (Bursa Efek Indonesia) maupun pemerintah.

Memperdalam Pasar Saham dan Obligasi

Air beriak tanda tak dalam, peribahasa tersebut juga dapat digunakan  dalam pasar saham dan obligasi.  Semakin rendah kedalaman (kapitalisasi pasar saham dan obligasi) maka guncangan yang dihasilkannya juga besar. Artinya, tingkat kedalaman pasar saham dan obligasi akan mempengaruhi tingkat guncangan (volatility) yang dihasilkan. Berdasarkan data, tingkat kedalaman (kapitalisasi) pasar saham indonesia  terhadap GDP ternyata masih rendah. Hal tersebut menjadi ancaman dari luar negeri seperti berakhirnya kebijakan QE.

Oleh karena itu, OJK dan BI harus dapat meningkatkan kedalaman pasar modal dan obligasi. Untuk memperdalam pasar modal diperlukan koordinasi tak hanya BI dan OJK tapi juga dukungan dari pemerintah. Pemerintah dapat memberikan insentif pajak kepada perusahaan untuk melakukan IPO (initial Public offering) atau penerbitan obligasi.

Meningkatkan Transparansi Lembaga Keuangan

Kepercayaan merupakan hal yang penting dalam perbankan. Jikalau masyarakat tidak lagi percaya terhadap perbankan maka yang terjadi adalah penarikan dana besar-besaran atau rush. Kepercayaan dari masyarakat bisa hilang karena ada isu-isu negatif maupun kejadian tertentu seperti koreksi besar harga saham meski kondisi lembaga keuangan saat itu sehat. Oleh karena itu, dibutuhkan transparansi dari lembaga keuangan agar masyarakat tidak menjadi panik terutama saat menghadapi koreksi nilai nilai aset finansial akibat berakhirnya kebijakan QE. Transparansi juga akan mencegah bank untuk melakukan tindak kecurangan maupun tak etis.

Kerjasama Antar Bank Sentral

Untuk mencegah ancaman dari luar negeri, BI dapat berkerja sama dengan pihak luar. Kerjasama tersebut bisa dalam bentuk credit swap line maupun koordinasi antara kebijakan antar bank central terutama The Fed (The Federal Reserve), BOJ (Bank  of Japan), dan ECB (European Central Bank Bank).

Credit swap line akan dapat memberikan bantuan valas bagi bank sentral yang membutuhkannya. Sedangkan koordinasi ini penting agar bank sentral yang melakukan QE tidak hanya melihat dampak kebijakannya terhadap ekonomi domestik tetapi juga ekonomi secara luas terutama neagra berkembang. Koordinasi juga akan membuat negara berkembang lebih memiliki persiapaan untuk mengantisipasi ancaman dari luar negeri.

Pengawasan Makroprudensial

BI dimandatkan untuk melakukan pengawasan makroprudensial. Untuk itu BI harus mampu mengidentifikasi risiko sistemik yang pada pada sistem keuangan. Menurut penulis, pengawasn makroprudensial BI harus mencakup empat hal yaitu: early warning sistem, procyclicality, concentration, dan interconnectedness.

BI harus dapat mengidentifikasi risiko sedini mungkin risiko sistemik sehingga ada ruang untuk melakukan pencegahan. BI juga harus mengidentifikasi fenomena procyclicality sehingga dapat mencegah amplifikasi dampak buruk transisi siklus bisnis dari boom ke burst. BI juga harus mengidentifikasi bagaimana dampak konsentrasi, seperti pemberian kredit berlebih pada suatu sektor tertentu maupun diversifikasi pada sisi funding bank, terhadap risiko sistemik. Terakhir, BI juga harus melihat pengaruh financial linkages terhadap sistem keuangan agar dapat mencegah fenomena “too-big-to-fail”.

Ada banyak metode yang bisa digunakan oleh BI untuk mengidentifikasi risiko sistemik. Tapi, belajar dari krisis tahun 2008 lalu, Robert Shiller menyatakan agar pengawas tidak terpaku oleh hasil pengukuran risiko hasil metode matematis yang kompleks. Pengawas juga harus melihat fakta atau bukti yang ada. Selain itu, interkoneksi sistem keuangan kita dengan sistem keuangan global membuat pengawas tak hanya memperhatikan apa yang terjadi di dalam negeri tapi juga apa yang terjadi di luar negeri terutama negara yang dampak besar terhadap sistem keuangan kita.

Pengaturan Makroprudensial

Setelah pengawasan, BI juga dimandatkan untuk melakukan regulasi makroprudensial. Menurut Janet Yellen dan Christine Lagarde, regulasi makroprudensial merupakan senjata andalan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Di Indonesia sendiri, regulasi Kebijakan makroprudensial Loan to value (LTV) telah berhasil menekan tingkat kenaikan harga rumah.

Akan tetapi, kondisi “The new normal” akan memberikan tantangan bagi kebijakan makroprudensial. Kondisi “The new normal” akan memberikan dampak terhadap ekonomi indonesia yaitu: Depresiasi nilai tukar rupiah, Koreksi nilai aset finansial, dan pertumbuhan ekonomi yang lambat.

Depresiasi nilai tukar rupiah akan menjadi ancaman jikalau lembaga keuangan dan lemabaga non-keuangan memiliki banyak hutang dalam bentuk valas atau US dollar (USD). Hal ini terjadi karena pendapatan mereka dalam bentuk rupiah tapi beban hutang mereka dalam bentuk USD. Sehingga saat terjadi depresiasi maka beban hutang mereka meningkat tapi pendaptan mereka tetap.  Oleh karena itu BI harus mempersiapkan regulasi makroprudensial yang berkaitan dengan valas.

Koreksi nilai aset finansial juga akan memberikan ancaman terhadap kecukupan modal bank (Capital adequacy ratio/CAR). Oleh karena itu, sebelum terjadinya “The new normal” BI dapat menggunakan regulasi makroprudensial untuk meningkatkan struktur modal bank.  Maka saat terjadi koreksi aset nanti, perbankan masih memiliki modal yang cukup kuat.

Kondisi “The new normal” akan mengkoreksi harga komoditas. Perusahaan berbasiskan komoditas akan mengalami penurunan profit sehingga meningkatkan probability default dari perusahaan tersebut. Secara umum hal tersebut akan memperlambat pertumbuhan ekonomi kita.

Selain faktor meningkatnya Inflasi akibat depresiasi rupiah, hal diatas akan meningkatkan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) pada perbankan.  Untuk itu BI harus mempersiapkan regulasi makroprudensial untuk mengatisipasi kenaikan NPL. BI bisa saja memberikan syarat yang lebih ketat untuk mendapatkan kredit seperti LTV. BI juga dapat membuat regulasi makroprudensial yang membatasi kredit untuk sektor yang paling kemungkinan besar mengalami kenaikan NPL seperti sektor pertambangan. Selain itu, BI juga dapat membuat kebijakan makroprudensial yang mendorong bank untuk meningkatkan “bantalan” bagi bank dalam mengantisipasi kenaikan NPL seperti peningkatan general provisions.

Menggunakan Dynamic Macroprudential Policy

Memang kebijakan LTV telah berhasil menekan kredit KPR maupun peningkatan harga rumah. Akan tetapi BI tidak boleh begitu saja berpuas diri akan keberhasilan LTV. Fakta dilapangan terlihat bahwa kini masyarakat maupun developer mulai mengakali kebijakan ini. Hal ini bisa berbahaya jikalau BI membiarkan praktek ini. Oleh karena itu, kebijakan makroprudensial yang dilakukan oleh BI haruslah bersifat dinamis atau organik. Artinya, Kebijakan makroprudensial harus dapat mengikuti terhadap inovasi maupun praktek yang baru muncul dilapangan.

Seperti contoh LTV, Kita harus sadari bahwa suatu kebijakan makroprudensial bisa efektif hanya pada kondisi tertentu saja. Jiakalau kondisi tersebut berubah maka kebijakan tersebut bisa menjadi tidak efektif. Hal inilah yang sering ditekankan oleh Hayman Minsky bagi pembuat regulasi.

Perubahan kondisi tersebut bisa terjadi karena inovasi dalam sektor keuangan atau terdapat cara untuk menghindari peraturan yang ada. Jadi, penting bagi bank sentral untuk dapat mendeteksi perubahan kondisi yang ada. Jikalau terdapat perubahan kondisi maka bank sentral harus dapat mengalisis dampak perubahan tersebut terhadap stabilitas sistem keuangan.  Setelah itu, barulah BI merumuskan kebijakan markoprudensial yang dapat mengkuti perubahan tersebut.

Mengapa hal ini penting ? karena selama ini regulasi atau kebijakan baru dibuat setelah terjadinya krisis. Dengan kata lain, regulasi atau kebijakan  dibuat berdasarkan peristiwa masa lampau. Tak heran jikalau krisis keuangan selalu terjadi. Kebijakan atau regulasi seharusnya diciptakan untuk masa depan sehingga tidak relevan sebuah kebijakan dibuat berdasarkan kejadian atau kondisi di masa lampau.

Mengukur Budaya Perusahaan

Setelah kita tahu bahwa pentingnya sebuah budaya bank terhadap stabilitas sistem keuangan. Maka OJK sebagai lembaga pengawas lembaga keuangan juga harus dapat mengkur budaya yang ada pada suatu lembaga keuangan. Pengawasan budaya perusahaan  lebih ditekankan terhadap lembaga keuangan yang memiliki dampak sistemik too-big-to-fail. OJK juga harus bersinergi dengan BI untuk melihat dampak budaya perusahaan terhadap stabilitas sistem keuangan.

Mendidik Masyarakat

BI harus dapat mendidik masyarakat mengeenaik stabilitas sistem keuangan. Pendidikan tersebut akan memberikan pengetahuan masyarakat akan arti stabilitas sistem keuangan dan apa dampaknya bagi kehidupan mereka. dengan begitu, BI dengan mudah mengarahkan masyarakat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Pendidikan juga akan menimbulkan dorongan dari diri masyarakat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.

Memanfaatkan Media Sosial

BI dapat menggunakan media sosial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Hal ini penting karena BI harus dapat menyampaikan informasi secara efektif terhadap masyarakat. Penyampaian informasi yang efektif tersebut akan mengatasi masalah asymmetric information yang mempengaruhi tingkat kepercayaan masayrakat terhadap sistem keuangan. Selain itu, BI juga dapat melakukan pengawasan stabilitas sistem keuangan melalui media sosial.  BI dapat melakukannya dengan melihat isu atau kabar angin yang sensitif terhadap sistem keuangan yang tersebar di media sosial.  Jiaka diperlukan, BI juga dapat berkerja sama dengan pemerintah untuk melakukan regulasi media sosial agar isu-isu atau kabar angin negatif dapat dikontrol.  Media sosial juga mendekatkan BI dengan masyarakat sehingga mudah bagi BI untuk mengarahkan masyarakat demi tujuan stabilitas sistem keuangan.

BERSAMA, KITA MAMPU MENJAGA STABILITAS SISTEM KEUANGAN

sumber: Ign.com

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun