Kita semua nggak akan lepas dari masa lalu. Dan apa kebahagiaan seseorang itu diukur dari harta kekayaan?Â
Jawabannya tidak, karena banyak orang yang sudah sukses secara finansial justru bunuh diri, harusnya sudah cukup tapi kenapa seseorang itu memilih bunuh diri?
Karena ada suatu dorongan dari masa lalu yang masih mengganjal pada diri seseorang. Misal saat kita tidak melakukan sesuatu, tidak ada peristiwa apapun tapi kok rasanya pngen nangis tapi nggak tahu alasannya apa. Itu kebanyakan berasal dari luka masa lalu dari inner child kita yang terluka, ini yang mendorong kita untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Trauma bukan cuma tinggal di kepala. Ia bisa terasa didada yang sesak, napas yang pendek, perut yang mual, dan tenggorokan yang tercekat. Kadang kita berpikir sudah baik-baik saja. Tapi tubuh masih menunjukkan tanda-tanda luka yang belum sembuh.
Tubuh punya cara mengingat yang berbeda. Saat pikiran memilih melupakan, tubuh memilih menyimpan. Karena bagi tubuh, pengalaman menyakitkan itu adalah ancaman nyata dan dia akan terus berjaga. (Sumber: Van der Kolk, B.(2014). The Body Keeps the Score)
Seringkali kita bertanya-tanya "bisa nggak sih aku jadi aku yang dulu, bisa nggak sih aku jadi orang yang seperti sebelum trauma ini terjadi?"
Pemikiran seperti itu wajar tapi itu bisa jadi barrier kita untuk menjadi orang yang lebih baik itu tadi, untuk bertransforming pada versi yang lebih baik dari kita. Kenapa? Karena fokus kita lagi-lagi sebenarnya tanpa kita sadari lensanya kita fokusin dimasa lalu bukan diri kita yang sekarang.
Jadi dalam keadaan berpikir "bisa nggak ya aku jadi aku yang dulu" coba pelan-pelan ganti jadi "bisa nggak ya aku jadi aku yang baru diversi aku yang sekarang".
Pada podcast Suara Berkelas eps. 16
Dr. Yuliana memberikan tips bagaimana cara kita mengatasi trauma. Beliau menyebutnya STAMINA.
S: Sadari trauma kita itu apa dan pahami kenapa bisa terjadi.