Mohon tunggu...
Melati Puspita Sari
Melati Puspita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - IR student

Not here for be the smartest one. Feel free to teach or criticize my writing!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Praktik Diplomasi Islam: Relevankah di Masa Kini?

17 September 2022   19:00 Diperbarui: 17 September 2022   18:59 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jika kita membicarakan diplomasi, secara garis besar yang orang ketahui awamnya merujuk pada praktik diplomasi yang berkembang dari peradaban barat. Jarang sekali ada yang membawa atau membahas tentang diplomasi islam. Sebagian mungkin ada yang merasa asing; sebagian lagi bahkan ada yang bisa saja merasa secara praktikal diplomasi Islam jelas tidak ada di dalam sejarah peradaban manusia. Tapi saya berusaha menjelaskan perspektif lain; diplomasi seperti apa yang dilakukan secara Islami? Nilainya apa? Dasar dan basis utamanya apa? Lantas, apa yang di perjuangkan dalam diplomasi? Apakah relevan?

Seperti yang kita tahu, diplomasi masuk ke dalam Ilmu Politik Hubungan Internasional. Diplomasi layaknya sudah menjadi bagian dari peradaban manusia yang muncul sudah dari peradaban Yunani, terus berkembang lantas mengalami perbaikan. Dikatakan oleh Dr. Umar Suryadi Bakry dalam buku yang berjudul "Dasar-Dasar Hubungan Internasional" bahwasannya diplomasi di definisikan sebagai keterampilan atau seni untuk berhubungan dengan orang-orang dengan cara yang efektif dengan melakukan negosiasi dengan pihak lain.

Berikut tadi adalah jika kita merujuk dengan definisi yang berdasar pada literatur umum. Lalu bagaimana di dalam Islam sendiri? 

Memang, untuk di katakan secara definitif atau dijelaskan secara terperinci, kita tidak akan menemukan bagaimana diplomasi Islam dijelaskan secara lengkap. Bahkan, jika kita mengacu pada sumber utama Islam yakni Qur'an dan Hadist, kita tidak bisa temukan secara literal kata diplomasi di jelaskan bahkan disinggung di keduanya.

Islam sering menggunakan terminologi ini dengan kata sifarah (kedutaan). Munculnya istilah ini ada sejak dalam kepemimpinan kota Makkah sebelum kenabian yang dilakukan oleh Bani Adi. Bani Adi adalah yang diberikan tugas untuk mengurusi hubungan antar suku serta antar raja atau bisa juga disebut dengan as-sifarah (urusan kedutaan). Setelah munculnya kenabian Rasul, kegiatan ini dilakukan sebagai sarana Rasulullah untuk melakukan pengutusan kepada kepala suku, raja-raja dengan menyertakan pengiriman surat untuk memperkenalkan Islam. Tidak hanya untuk menyebarkan dakwah Islam, as-sifarah dilakukan untuk melaksanakan pernjanjian damai yang sifatnya untuk kemaslahatan bersama. Itu hanya salah dari sekian banyak contoh kegiatan yang berhubungan dengan diplomasi yang telah dilakukan Nabi Muhammad kala itu. Secara praktik, bisa kita katakan cara menyelesaikan konfliknya kurang lebih sama dengan diplomasi pada umumnya (dengan mengirim utusan, perjanjian, dsb) hanya saja kala itu belum di kenal istilah seperti negara-bangsa, penengah, diplomat dan segala hal yang berkaitan dengan diplomasi yang kita ketahui di masa sekarang.

Walau cara menyelesaikan konflik antara diplomasi Islam dan diplomasi umumnya di rasa sama, tapi ada perbedaan mendasar yang tidak di lakukan dalam praktik diplomasi modern. Diplomasi Islam nilainya akan selalu dan mutlak dilandasi dengan tuntunan yang ada pada Qur'an dan Hadist. Kerangka berpikir yang harus ditanamkan jika kita ingin menelisik lebih jauh bagaimana diplomasi Islam bekerja akan selalu berakar pada mind of statenya terlebih dahulu. Etik, moral, tujuan apa yang ingin dicapai dari kegiatan diplomasi dalam Islam semua disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Tentang bagaiman kita membuat perjanjian, bagaimana etika kita dalam bernegosiasi, semua haruslah bersesuaian dengan nilai Islam di dalamnya. Tujuan yang ingin dicapai pun sifatnya kolektif; diplomasi Islam secara praktik dilakukan dengan nilai yang rahmatan lil 'alamin (bermanfaat bagi semua) baik bagi yang melakukan kegiatan, untuk pihak yang bersangkutan, maupun bagi alam semesta. Sifat rahmatan lil 'alamin ini bersifat universal. Bermanfaat, memberikan manfaat, dan mensejahterakan bagi sesama. Itulah menjadi fondasi/basis/dasar utama bagaimana diplomasi Islam harus dijalankan secara praktikal.

Jika diplomasi modern mengatakan bahwa akan selalu ada kepentingan di dalam setiap aktivitas diplomasi atau jika kita mengacu dari perspektif Realisme bagaimana negara dengan negara lainnya akan bisa melakukan hubungan satu dengan yang lainnya berdasarkan kepentingan nasionalnya saja, maka jika diplomasi Islam di definisikan dengan kata 'kepentingan' agaknya cukup dangkal untuk memberikan definisi semacam itu dalam diplomasi Islam. Katakanlah kita memiliki keterbatasan bahasa untuk bagaimana mendeskripsikan dan mendefinisikan bagaimana diplomasi Islam dalam suatu padanan kata yang baku, tapi yang pasti Diplomasi Islam tidak akan dijalankan dengan niat dan kepentingan yang demikian.  Semua dilakukan dengan hati suci, bersih. Dengan keimanan didalamnya. Mengemban misi berdakwah, menebar kebaikan, membawa kebaikan untuk sesama demi kesehjateraan umat manusia. Idealnya, Diplomasi Islam tidak akan dilakukan dengan cara yang hanya mementingkan kepentingan segelintirnya saja. Semua untuk umat. Semua demi ridho-Nya, sekaligus sebagai sarana berdakwah dengan baik demi mencapai kedamaian.

'Kepentingan' yang didefinisikan dalam Diplomasi Islam di sini adalah 'kepentingan' yang secara literal diartikan sebagai cara untuk mencapai kesehjateraan umat. Tidak dibenarkan praktik yang hanya menguntungkan secara sepihak dan merugikan yang lainnya. Semua dilakukan dengan jujur dan adil.

Tetapi, apakah dengan nilai yang seperti ini Diplomasi Islam dapat relevan untuk dipraktikkan di masa sekarang? 

Pembahasan ini pernah dibahas di dalam diskusi mata kuliah di kampus saya dengan mata kuliah Diplomasi Islam. Di dalam diskusi, dikatakan bahwa relevansi penggunaan praktik diplomasi Islam bukan di perkara bagaimana kita memasukkan Qur'an dan Hadist dalam praktiknya. Bukan pula menyerukan satu dunia untuk dapat mengikuti diplomasi dengan cara Islam, memaksa dunia dengan mengatakan bahwa satu-satunya diplomasi cara Islam-lah yang benar dan relevan. 

Bukti bahwa diplomasi Islam dapat relevan pada masa kini didasarkan pada bagaimana orang yang sedang menjalani praktiknya (menjadi diplomat, konsuler, ataupun yang menjadi utusan negara) dapat berlaku jujur dengan tidak meninggalkan keimanan pada Allah di setiap aktivitas diplomasi yang dijalankan. Ketika berdiplomasi, berlaku jujur. Setiap langkah, kegiatan, apapun yang dilakukan di aktivitasnya selalu berdasar pada keimanan dan kepercayaan bahwa kegiatan ini salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan bersama, demi mencapai perdamaian dunia yang menjadi salah satu nilai utama dalam diplomasi Islam. Menanamkan dalam jiwa bahwasannya kegiatan ini tidak terlepas dari tanda ketaqwaan pada Tuhan; bahwa kejujuran dan kebersihan yang dilakukan dalam setiap aktivitasnya merupakan salah satu tanda ketaatan kepada Allah dan dengan cara ini pula berdakwah dengan menyerukan nama-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun