Mohon tunggu...
melatidwiputri
melatidwiputri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya seorang mahasiswa Universitas Pamulang D4 Akuntansi Perpajakan, yang tertarik dengan dunia pajak dan keuangan. Suka menganalisis laporan keuangan, memahami regulasi perpajakan, dan mencari cara agar perpajakan lebih efisien. Selalu ingin belajar hal baru dan siap menghadapi tantangan di dunia perpajakan!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kenaikan 250% PBB: Ketidakadilan atau Kewenangan Daerah yang Disalahgunkan

14 Oktober 2025   08:38 Diperbarui: 14 Oktober 2025   08:38 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Masyarakat Pati dibuat geram setelah pemerintah daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen. Kebijakan yang awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan daerah ini justru berujung pada gelombang protes besar-besaran. Bukan hanya soal nominal, tapi juga tentang rasa keadilan yang kian memudar.

Beberapa waktu lalu, warganet dikejutkan oleh kabar kenaikan PBB yang ekstrem di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Menurut laporan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD, 2025), tarif pajak naik hingga 250 persen tanpa ada sosialisasi memadai kepada masyarakat. Kebijakan ini sontak memicu protes besar. Ribuan warga mendatangi kantor bupati untuk menuntut keadilan fiskal. Akibatnya, pemerintah daerah pun terpaksa mencabut aturan tersebut setelah tekanan publik memuncak (Detik.com, 2025).

Secara umum, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sumber penting bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dana ini digunakan untuk pembangunan jalan, kebersihan, dan fasilitas publik lainnya. Di DKI Jakarta, kontribusi PBB bahkan mencapai lebih dari 30 persen PAD (Bapenda DKI Jakarta, 2024). Namun di banyak kabupaten, penerimaan dari PBB masih minim. Itulah sebabnya banyak daerah memilih "jalan pintas" dengan menaikkan tarif, seperti yang terjadi di Pati (KPPOD, 2025).

Masalahnya, kenaikan sebesar itu tidak dilakukan dengan perhitungan matang. Berdasarkan aturan, besaran pajak ditentukan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP), lalu dikalikan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan tarif akhir. Namun menurut laporan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK, 2024), banyak pemerintah daerah tidak memperbarui data NJOP sesuai harga pasar. Akibatnya, nilai pajak bisa melonjak drastis dan tidak relevan dengan kondisi ekonomi warga.

Kebijakan fiskal semacam ini menimbulkan pertanyaan serius soal keadilan pajak. Laporan KPPOD (2025) mencatat bahwa kenaikan PBB di Pati diterapkan secara merata tanpa mempertimbangkan kemampuan warga. Padahal, prinsip pajak yang adil menuntut adanya perlakuan berbeda bagi warga berpenghasilan rendah. Artikel opini dari IAIN Parepare (2025) bahkan menyebut kebijakan ini sebagai bentuk "arogansi fiskal" yang tidak manusiawi karena mengabaikan kondisi sosial masyarakat.

Krisis kepercayaan pun tak terhindarkan. Menurut riset Drone Emprit (2025), sebanyak 77 persen percakapan publik di media sosial tentang isu PBB Pati bernada negatif. Banyak netizen menyebut kebijakan itu "absurd" dan "tidak masuk akal." Kasus ini kemudian menular ke daerah lain seperti Cirebon, Bone, dan Jombang, yang menghadapi isu serupa. Tagar #PBBNaik250Persen bahkan sempat menduduki posisi trending di platform X (Twitter) selama beberapa hari. Ini menunjukkan betapa sensitifnya masyarakat terhadap kebijakan fiskal yang dianggap tidak adil.

Pasca konflik berkepanjangan, Bupati Pati akhirnya mencabut kebijakan tersebut pada 8 Agustus 2025, dan mengembalikan tarif ke angka tahun sebelumnya (Detik.com, 2025). Bagi warga yang sudah membayar dengan tarif baru, pemerintah berjanji akan mengembalikan kelebihan pembayaran. Langkah ini menjadi bentuk "damage control" untuk menenangkan publik. Namun, DPRD Pati tetap membentuk panitia khusus untuk menyelidiki dasar hukum dan prosedur penyusunan perda yang melahirkan kebijakan itu (Wikipedia, 2025).

Kejadian ini menyisakan pelajaran penting. Pertama, setiap kebijakan pajak harus transparan dan berbasis partisipasi publik. Tanpa komunikasi yang jujur, rakyat mudah merasa diperlakukan tidak adil. Kedua, data NJOP wajib diperbarui secara berkala agar tarif pajak tetap relevan. Ketiga, pemerintah perlu memberikan perlindungan bagi warga berpenghasilan rendah, misalnya dengan tarif progresif atau kenaikan bertahap. Terakhir, Kemendagri dan BPKP perlu memperketat evaluasi perda pajak agar tidak ada lagi kebijakan "asal naik" tanpa analisis sosial-ekonomi yang memadai (KPPOD, 2025).

Kenaikan PBB di Pati bukan sekadar soal angka, ia adalah cermin dari bagaimana pemerintah daerah memahami keadilan. Pajak seharusnya menjadi bentuk gotong royong fiskal, bukan alat tekanan kepada rakyat. Jika pajak diperlakukan sebagai beban, bukan kontribusi, maka kepercayaan publik akan terus menurun.

Kini, sudah saatnya pemerintah daerah belajar bahwa kebijakan fiskal yang adil bukan hanya menghitung angka, tapi juga memahami manusia di baliknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun