Mohon tunggu...
Melathi Putri Cantika
Melathi Putri Cantika Mohon Tunggu... Freelancer - keterangan profil

Passionate Word Crafter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Militer Kecil di Sekolah

22 April 2021   21:47 Diperbarui: 22 April 2021   22:05 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Membaca salah satu novel membuat saya berpikir bahwa ada yang lebih mengerikan daripada orang dewasa yang tercuci otaknya: anak kecil yang lahir pada masa pencucian otak yang bahkan tidak mengenal kosa kata itu karena terlanjur hidup di dalamnya.

Satu kengerian ini benar-benar masih melekat sampai sekarang, beberapa bulan setelah menyelesaikan novel itu. Bagaimana teknik identifikasi pengkhianat oleh anak kecil (yang bahkan lebih akurat dari orang dewasa dengan level keterdidikan yang lebih darinya) sukses membuat saya bersyukur bahwa cerita itu hanyalah fiksi. Namun, benarkah memang fiksi?

Satu diskusi yang saya simak pagi ini membuat saya berpikir: mungkin hal itu bukan benar-benar berangkat dari kenihilan. Ada banyak anak yang bersikap seperti militer yang hanya menerima satu komando dalam suatu lingkungan. Hanya dibutuhkan beberapa butir peraturan dan satu instansi penegak peraturan itu untuk menghasilkan militer kecil. Kira-kira lingkungan apa yang memungkinkan hal seperti itu terjadi?

Saya teringat satu teman saya dari sekolah menengah yang terkenal dengan kebiasaannya menyitir peraturan baik undang-undang atau sejenisnya untuk memvalidasi organisasi kami ketika dirasa ada yang mengganggu. Pada saat itu, saya merasa bahwa itu normal-normal saja dan tentu menguntungkan. Meski saya agak penasaran bagaimana ia mengingat peraturan sedemikian bagus ketika dibutuhkan. Pertanyaan itu saya jawab sendiri dengan asumsi bahwa ia pasti mempelajarinya pada malam sebelumnya. Selesai perkara? Tidak. Ini yang saya ingat pada tahun pertama saya masuk sekolah menengah.

Pada sebuah upacara bendera yang tidak diinginkan, saya lupa untuk membawa topi. Saya tidak mau membelinya di koperasi sekolah karena uang jajan saya jelas tidak cukup untuk secara mendadak membelinya sementara saya akan berakhir dengan berbaris di luar gerbang (dan akan disuruh lari selepas upacara) bila nekat pulang untuk mengambil topi. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengambilnya dan sekaligus tidak memakainya karena jelas saya tidak dapat pinjaman topi. Dengan berkomplot dengan beberapa teman untuk menyembunyikan kepala saya, saya berbaris di barisan murid tahun pertama. Menariknya, saya berhasil tidak terlihat. Tidak menariknya, ada satu siswa yang seangkatan dengan saya yang terpaksa keluar dari barisan karena ketahuan tidak memakai topi.

Lebih menariknya, siswa itu ketahuan karena dilaporkan oleh sesama siswa tahun pertama yang mana adalah teman saya si pembawa undang-undang. Saat itu saya terpikir untuk menghafalkan wajah si pelapor dan berniat tidak akan punya urusan apapun dengannya (walaupun belakangan saya tahu bahwa itu tidak pernah terkabul).

Jadi, apakah mungkin suatu institusi menciptakan watch dog dari golongan anak-anak? Mari kita lihat sebentar apa itu institusi.
Institusi bukanlah organisasi. Institusi adalah suatu hal abstrak yang bisa diturunkan bergenerasi lamanya tanpa ada organisasi konkret yang mungkin menjadi tempat lahirnya. Salah satu ciri institusi adalah adanya efek distributif.

Efek distributif adalah suatu kondisi dimana dengan adanya institusi itu, kita bisa melihat siapa yang berkuasa dan tidak berkuasa. Siapa yang diuntungkan dan pihak mana yang patut dihormati lebih. Di sekolah, institusi membentuk peraturan yang memungkinkan terlihatnya siapa yang memiliki level lebih tinggi dan patut dihormati. Anak-anak pelanggar peraturan bisa jadi bagian dari mereka yang tidak kebagian pengaruh karena pelanggarannya tersebut. Sebaliknya, mereka yang berpihak dengan peraturan dan ikut menegakkan peraturan akan mendapat lampu sorot lebih karena berjalan sesuai dengan aturan.

Dari contoh yang saya telah tuliskan, si pelapor itu adalah bagian dari orang yang berenang sesuai dengan arus. Bahkan menghidupi arus itu. Tidak dapat dikatakan salah ketika apa yang terjadi hanya memakai atau tidak memakai topi, tapi kemungkinan besar jika ia berada pada institusi yang salah, ia akan berakhir membebek pada aturan yang melanggengkan institusi terlepas dari baik atau buruknya institusi itu.

Tulisan ini tidak terlepas dari adanya isu PKI yang mencuat kembali belakangan ini. Sebetulnya saya bukan orang yang bisa dikategorikan tertarik pada isu komunisme, tetapi karena beberapa kali pejabat negara mendapat labelling komunis dari para fundamentalis agama, saya rasa tidak ada salahnya saya membuka beberapa tautan yang kebetulan ada di depan mata dan memuat kata komunisme.

Mengapa kita khawatir pada kemunculan kembali PKI? Padahal manusia kejam yang membantai anggota PKI beserta keluarganya sekaligus memberikan stigma buruk kepada keturunan mereka malah dilanggengkan kekuasaannya selama 32 tahun. Tidak berarti bahwa PKI tidak memiliki banyak misinterpretasi, telah banyak sekali sumber yang menjelaskan bahwa isu PKI bukanlah isu yang seperti buku Sejarah kita ajarkan selama bertahun-tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun