Bayangkan Anda sedang berjalan kaki menikmati pagi yang tenang di kota. Tiba-tiba, sebuah sepeda motor melaju kencang di atas trotoar, memaksa Anda melompat ke badan jalan. Di sisi lain, trotoar yang seharusnya menjadi jalur aman bagi pejalan kaki justru dipenuhi pedagang kaki lima (PKL), sehingga Anda terpaksa berjalan di pinggir jalan yang dipadati kendaraan. Fenomena ini bukan sekadar cerita fiktif, melainkan potret nyata wajah transportasi jalan di banyak kota di Indonesia.
Trotoar merupakan jalur yang diperuntukkan khusus bagi pejalan kaki. Secara fisik, trotoar biasanya sejajar dengan jalan raya dan memiliki ketinggian tertentu untuk membedakannya dari jalur kendaraan bermotor. Kata "trotoar" berasal dari bahasa Belanda trottoir, yang berarti jalur pejalan kaki. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Marga No. 76/KPTS/Db/1999 tanggal 20 Desember 1999, trotoar didefinisikan sebagai bagian dari jalan raya yang disediakan khusus untuk pejalan kaki, terletak di daerah manfaat jalan, dan memiliki elevasi yang lebih tinggi dibandingkan jalur lalu lintas kendaraan.
Keberadaan trotoar sejatinya adalah bentuk perlindungan negara terhadap kelompok pengguna jalan yang paling rentan, yaitu pejalan kaki. Dalam sistem transportasi yang aman dan tertib, trotoar adalah hak publik yang tidak bisa ditawar. Sayangnya, fungsi ideal ini semakin kabur dalam praktiknya. Trotoar kerap kali disalahgunakan menjadi tempat parkir liar, jalur alternatif bagi pengendara sepeda motor saat jalanan macet, bahkan tempat berdagang.
Kondisi ini sangat mudah dijumpai, baik di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, maupun di kota kecil seperti Tegal atau Cirebon. Pejalan kaki seolah menjadi warga kelas dua yang haknya dilangkahi oleh kepentingan ekonomi dan kenyamanan sesaat. Padahal, menurut data kecelakaan lalu lintas, pejalan kaki termasuk kelompok yang paling sering menjadi korban akibat ketidaktertiban pengguna jalan lainnya.
Lantas, apa penyebab maraknya pelanggaran terhadap fungsi trotoar ini? Salah satu faktornya adalah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Tidak sedikit pengendara sepeda motor yang melintasi trotoar tanpa dikenai sanksi tegas. Bahkan, dalam beberapa kasus, aparat seolah membiarkan pelanggaran itu terjadi berulang kali. Sementara itu, keberadaan PKL di trotoar juga kerap dimaklumi karena alasan “mencari nafkah”, meskipun pada kenyataannya tindakan itu merampas hak pejalan kaki dan membahayakan keselamatan.
Perlu ditegaskan bahwa membela ekonomi rakyat kecil tidak berarti membenarkan pelanggaran terhadap ruang publik. Kita bisa mendukung UMKM dan pedagang kecil dengan menyediakan ruang usaha yang layak tanpa harus mengorbankan fungsi trotoar sebagai jalur pejalan kaki. Pemerintah daerah harus lebih tegas dalam menata ulang zonasi berdagang dan memberikan solusi yang manusiawi bagi para PKL.
Masalah ini juga tidak lepas dari rendahnya kesadaran kolektif masyarakat terhadap pentingnya etika berlalu lintas. Banyak yang menganggap trotoar sebagai ruang bebas yang bisa dimanfaatkan sesuka hati. Ketika masyarakat belum memiliki pemahaman bahwa trotoar adalah hak publik yang wajib dihormati, maka pelanggaran akan terus terjadi, berapa pun banyaknya razia atau program penertiban yang dilakukan.
Beberapa kota memang telah berupaya melakukan pembenahan. Pembangunan trotoar yang ramah disabilitas, pemasangan pembatas fisik, serta penertiban secara berkala adalah langkah positif. Namun, semua itu tidak akan efektif jika tidak disertai dengan perubahan perilaku masyarakat. Kesadaran bahwa trotoar bukan untuk kendaraan bermotor maupun untuk berdagang harus ditanamkan sejak dini melalui pendidikan lalu lintas dan kampanye publik yang masif.
Karena itu, mari kita mulai dari diri sendiri. Jangan lagi naik motor di atas trotoar. Jangan berjualan di trotoar yang mengganggu hak pejalan kaki. Jangan memarkir kendaraan seenaknya di atas jalur pedestrian. Trotoar adalah ruang aman bagi setiap warga untuk berjalan kaki dengan tenang dan selamat. Menghormati hak pejalan kaki adalah bentuk nyata dari keberadaban masyarakat kita.
Langkah kecil seperti menjaga fungsi trotoar bisa berdampak besar bagi keselamatan dan kenyamanan bersama. Dalam jangka panjang, inilah yang akan mewujudkan sistem transportasi yang lebih manusiawi, adil, dan tertib.