Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 15 Oktober 1945 dengan pernyataan dari Kaisar Hirohito yang mengaku kalah terhadap Sekutu. Kebingungan dan ketidakjelasan situasi yang terjadi pada saat itu dimanfaatkan oleh Soekarno dan Hatta untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dengan dukungan dari pihak nasionalis Indonesia. kemerdekaan Indonesia perlu dipertahankan dengan tidak sekedar dideklarasikan. Setelah kemerdekaan , bukan berarti bahwa upaya perjuangan bangsa Indonesia ini sudah berakhir. Sebaliknya, tantangan kita semakin berat, yaitu bagaimana menjaga kemerdekaan yang telah diraih dengan jerih payah oleh rakyat Indonesia, dan juga bagaimana mengisi kemerdekaan ini.
Pada masa awal kemerdekaan berita proklamasi sudah tersiar dimana-mana, namun kondisi Semarang masih penuh dengan gejolak. Kekalahan Jepang tidak langsung diikuti dengan pengembalian wilayah kepada Sekutu, termasuk Hindia Belanda. Melalui komandan Mayor Jendral Nakamura, Jepang melarang adanya pengibaran bendera merah putih. Kondisi ini akhirnya pertempuran di Semarang meletus pada bulan Oktober 1945 dengan melawan tentara Jepang yang disebut dengan Pertempuran Lima hari di Semarang. Pihak yang terlibat dalam pertempuran ini merupakan sisa-sisa dari pasukan Jepang di Indonesia dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang merupakan angkatan perang Indonesia pada masa itu sebelum menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Setelah dua bulan kemerdekaan Indonesia di Semarang, Jepang menghancurkan kemerdekaan tersebut melalui pertempuran Lima Hari di Semarang. Peristiwa ini sangat bermakna bagi masyarakat Semarang dalam usaha mempertahankan Kota Semarang dari adanya tentara Jepang. Pertempuran ini memiliki Suasana baru dalam perjalanan sejarah kemerdekaan di Indonesia. Dalam ketegangan pertempuran ini menjadi saksi bisu. Selama lima hari berlangsungnya perang, Kota Semarang menjadi medan pertempuran yang menentukan nasib berjuang untuk meraih kemerdekaan dari kekejaman penjajahan bangsa asing pada masa itu.
Pertempuran lima hari di Semarang merupakan perang yang paling sengit pada fase awal perjuangan Indonesia dalam menuju merebut kekuasaan untuk mendapatkan kebebasan. seorang panglima Jepang yaitu Kido, ia sangat menonjol menjadi figur yang dikenang dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam waktu lima hari Kido Butai berhasil untuk merebut kembali kuasa atas kota-kota tersebut.
Pertempuran Lima Hari di Semarang diabadikan melalui pembangunan Tugu Muda di Simpang Lima, sebagaimana tanda penghormatan di ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Selain itu juga, nama dr. Kariadi ini ia menjadi salah satu nama rumah sakit di Semarang yang sangat diabadikan. Rumah sakit ini terletak di Jl. Dr. Sutomo No. 16, Randusari, Semarang Selatan, Kota Semarang.
LATAR BELAKANG TERJADINYA PERTEMPURAN LIMA HARI DI SEMARANG
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945 diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, tampaknya Jepang belum bisa menerima kekalahannya sehingga Indonesia menjadi masih belum aman dari adanya penjajahan. tahapan-tahapan pertama peperangan dimulai disebabkan oleh pihak Jepang yang pada bulan Oktober 1945 berusaha mendapatkan kembali kekuasaan di kota-kota, baik kota besar maupun kecil di Jawa yang baru saja ia setujui untuk diambil alih oleh bangsa Indonesia. Namun, pemuda Surabaya berhasil dalam melucuti senjata Jepang pada 1 Oktober 1945 sehingga mendorong pemuda di daerah-daerah yang lainnya untuk berbuat serupa. Adapun sejumlah tentara Jepang ini belum bisa kembali ke negaranya diarahkan untuk bekerja di berbagai sektor, yang salah satunya yaitu industri manufaktur.
Pada tanggal 14 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30 secara tiba-tiba orang Jepang yang bekerja di pabrik Gula Cepiring tersebut memberontak dan menyerang para Polisi Indonesia yang menjaganya. Orang-orang Jepang yang dipindah ke Semarang tersebut melarikan diri ke arah Jatingaleh dan bergabung dengan pasukan Kidobutai yang dipimpin oleh Mayor Kido. Ketegangan semakin meningkat ketika Dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (RS Purasara), tewas tertembak oleh tentara Jepang. Saat itu, Dr. Kariadi sedang dalam perjalanan untuk melakukan pemeriksaan di Reservoir Siranda di Candi Lama, yang merupakan sumber mata air di Semarang.
Kematian Dr. Karyadi, Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) Semarang, menjadi simbol awal dari serangkaian tragedi dan kekerasan yang mengguncang Semarang selama peristiwa penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 14 Oktober 1945, Dr. Karyadi ditemukan tewas di dalam mobilnya di jalan Pandanaran dekat asrama Sekolah Pelayaran. Jenazahnya penuh luka-luka bekas benda tajam, hampir tak bisa dikenal lagi. Pembunuhan ini menjadi sorotan pertama dari serangkaian kejadian yang sangat tragis.
Pada sore hari sebelum kematian Dr. Karyadi, terdapat desas-desus bahwa pasukan Jepang telah meracuni reservoir air minum di Candibaru, yang rutin diperiksa oleh Dr. Karyadi setiap bulan. Hal ini menciptakan ketegangan dan tuduhan terhadap Dr. Karyadi sebagai dalang meracuni air minum, yang dia tolak keras. Untuk membuktikan kebenarannya, ia pergi ke reservoir tersebut. Pada saat yang sama, Jepang melucuti dan menangkap 8 orang Polisi Indonesia yang menjaga reservoir itu, memicu lebih banyak kecurigaan terhadap Jepang.
Tetapi, kematian Dr. Karyadi masih dikelilingi oleh misteri. Tidak jelas apakah ia berhasil sampai di reservoir atau tidak sebelum kematiannya. Selain itu, motif dan pelaku pembunuhannya masih belum terungkap dengan pasti. Ada spekulasi bahwa Jepang mungkin terlibat dalam pembunuhan ini saat Dr. Karyadi memeriksa reservoir, atau mungkin terdapat keterlibatan dari kelompok perlawanan yang berontak di asrama Sekolah Pelayaran di sekitar tempat tersebut. Peristiwa ini dapat dianggap sebagai "hujan gerimis pertama" yang memicu badai pembunuhan dan pembantaian yang melanda Semarang selama beberapa hari berikutnya.