Dampak konflik manusia-macaca tidak bisa direduksi hanya pada hilangnya hasil panen. Ada konsekuensi lain yang lebih kompleks, antara lain:
Ekologis: Penekanan populasi macaca secara berlebihan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Hilangnya peran mereka sebagai penyebar biji akan memperlambat regenerasi hutan.
Kesehatan: Kontak yang semakin intens antara manusia dan primata membuka peluang meningkatnya penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang menular dari satwa ke manusia. Kasus seperti herpes B virus pada primata menjadi salah satu ancaman potensial.
Sosial: Konflik juga menimbulkan ketegangan antar komunitas, misalnya antara warga lokal dengan otoritas konservasi. Ketika solusi dianggap tidak adil, muncul rasa ketidakpercayaan yang berujung pada resistensi terhadap program konservasi.
Dengan demikian, konflik ini bersifat multidimensi. Hal ini bukan sekadar soal kehilangan durian atau jagung, tetapi sebuah persoalan ekologi, kesehatan masyarakat, dan kohesi sosial yang saling terhubung.
Solusi dan Proyeksi Masa Depan
Menghadapi konflik manusia--macaca tidak cukup dengan pendekatan parsial. Diperlukan kombinasi strategi ekologis, sosial, teknologi, dan kebijakan yang terintegrasi. Beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh antara lain:
Restorasi Habitat
Reforestasi dengan menanam pohon buah hutan menjadi investasi jangka panjang. Semakin banyak pakan alami tersedia di habitat asli, semakin kecil kemungkinan macaca mendekati kebun warga.
Zona Penyangga Cerdas
Menanam tanaman penghalang seperti jahe, cabai, atau serai di perbatasan kebun terbukti efektif karena tidak disukai macaca. Pendekatan ini relatif murah dan dapat dilakukan masyarakat secara mandiri.