(2) kebiasaan memberi makan oleh manusia menciptakan behavioral dependence yang mempercepat kontak antarmuka;
(3) respons berbasis hukuman (mis. perburuan atau racun) berpotensi menimbulkan efek samping ekologi dan kesehatan (mis. risiko zoonosis dan gangguan rantai makanan).
Karena itu, solusi yang efektif harus bersifat multisektoral dan berbasis bukti: pengaturan tata ruang yang mempertimbangkan koridor satwa, restorasi sumber pakan alami, mekanisme insentif ekonomi untuk petani (mis. payment for ecosystem services atau skema kompensasi), penerapan deterrent non-lethal yang dirancang bersama komunitas (mis. perimeter tanaman penyangga, jaring pelindung, sistem peringatan komunitas berbasis ponsel), serta program pendidikan perilaku bagi wisatawan dan penduduk lokal. Pendekatan co-design di mana ilmuwan, pembuat kebijakan, dan masyarakat setempat merancang solusi bersama berpotensi menghasilkan intervensi yang lebih tahan lama dan adil.
Secara prospektif, ada dua skenario yang mungkin: jika kebijakan dan praktik saat ini dibiarkan, konflik akan meningkat, berdampak pada penurunan layanan ekosistem dan potensi kerugian ekonomi yang lebih besar; sebaliknya, jika strategi terpadu diterapkan konsisten, dalam 10--15 tahun dapat tercapai koeksistensi yang menguntungkan habitat pulih, insiden konflik menurun, dan komunitas lokal memperoleh manfaat alternatif seperti ekowisata dan insentif konservasi.
Mengapa Konflik Terjadi? Analisis Akar Masalah
Konflik manusia--macaca tidak lahir secara tiba-tiba. Hal ini merupakan akumulasi dari berbagai faktor ekologis, sosial, dan perilaku yang saling berkaitan. Beberapa faktor utama di antaranya:
- Penyusutan Habitat
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2023) luas deforestasi hutan Indonesia pada tahun 2022-2023 mencapai 121.103,5 hektare (ha). Angka ini menggambarkan penyusutan ruang hidup satwa liar, termasuk macaca. Hilangnya pepohonan buah alami memaksa mereka mencari sumber makanan baru di luar kawasan hutan.
- Tumpang Tindih Ruang
Perbatasan hutan dengan lahan pertanian dan permukiman menjadi zona konflik paling rawan. Dari sudut pandang macaca, kebun warga bagaikan "restoran terbuka" dengan ketersediaan pangan yang melimpah dan mudah dijangkau. Namun dari perspektif manusia, hal ini menjadi kerugian ekonomi dan sumber keresahan.
- Perubahan Perilaku Akibat Pakan Manusia
Kebiasaan wisatawan maupun masyarakat memberi makan satwa liar menyebabkan perubahan perilaku signifikan. Macaca yang seharusnya mencari pakan di hutan kini lebih memilih mendekati manusia. Ketergantungan ini tidak hanya mengubah pola hidup alami, tetapi juga meningkatkan risiko konflik langsung.
- Kurangnya Edukasi Konservasi
Sebagian besar masyarakat masih melihat macaca semata-mata sebagai pengganggu kebun. Padahal, keberadaan mereka memiliki fungsi ekologis penting sebagai agen penyebar biji yang berperan dalam regenerasi hutan. Minimnya pengetahuan ini membuat konflik cenderung diselesaikan dengan cara instan, misalnya pengusiran agresif atau bahkan perburuan.
Analisis Dampak: Lebih dari Sekadar Kerugian Ekonomi