Mohon tunggu...
Meitriany Fahira Kabau
Meitriany Fahira Kabau Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Trip

Pulau Buru, Sejarah, dan Pesona

19 April 2021   10:00 Diperbarui: 19 April 2021   10:20 3548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Berjarak 170.0 km dari Kota Ambon, dengan menempuh perjalanan laut selama 8 jam   atau penerbangan udara selama 30 menit, terdapat sebuah Pulau yang pernah menjadi saksi sejarah sebagai camp  para terpidana G30SPKI. Namun diantara sisi kelamnya  pulau dengan jumlah populasi penduduk 135.000 jiwa ini menyimpan pesona yang memikat.   Pulau Buru terbagi menjadi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Buru dan Buru Selatan.

Kota Namlea merupakan Ibu Kota Kabupaten Buru kota ini memiliki berbagai objek wisata diantaranya Gua Jepang, Benteng VOC, Bukit- bukit hijau yang disebut dengan Bukit Perdamaian, Bukit Tatanggo ,  pantai pantai berpasir putih, dengan air laut berwarna biru muda seperti Pantai Jikumarasa, Air Bom  yang jaraknya kurang lebih 30 menit dari pusat Kota, selain pantai  terdapat beberapa danau  salah satunya Danau Rana yang berada di daerah ketinggian dengan tradisi  yang masih sangat terjaga dan memberikan unsur magis, sehingga tidak bebas untuk  di kunjungi wisatawan.Kota yang akrab disebut dengan Kota Akeba ini memiliki banyak referensi kuliner yang unik, enak, dan lezat.  Papeda, olahan sagu, Sambal Colo-colo juga Ikan Kuah Kuning  mungkin tak asing  anda dengar sebagai panganan  khas masyarakat  di Indonesia Timur,  namun  tidak hanya itu di Kota Namlea anda akan  menemukan warung-warung Nasi Kuning disepanjang jalan yang dijual pada pagi hari dengan harga yang murah meriah mulai dari Rp. 5000 hingga Rp. 15.000, dan di malam hari  biasanya disebut dengan Nasi Kuning Bagadang  ini memilki cita rasa yang  berbeda dengan nasi kuning pada umumnya. Penduduk di Kota Namlea tidak hanya didominasi penduduk lokal, terdapat suku-suku pendatang yang mendiami kota Namlea diantaranya Suku Bugis, Suku Buton, Suku Jawa,  dengan beberapa etnis seperti Arab, Cina, dan beberapa suku yang berasal dari sekitar wilayah Maluku dan Maluku Utara.  Sementara Suku asli  Buru sendiri lebih banyak mendiami wilayah  pedalaman, juga perbatasan Kabupaten Buru dan Buru Selatan, disebut dengan masyarakat Adat  mereka indentik dengan kain penutup dikepala,  membawa parang, atau tombak, juga mengunyah sirih pinang, dan berkomunikasi dengan Bahasa Buru. 

Dari Kota Namlea anda bisa mengunjungi Desa Kayeli, Desa cantik yang  memiliki sejarah panjang di masa VOC, untuk menempuh perjalanan ke Desa Kayeli anda dapat menggunakan transportasi laut seperti perahu, maupun Kapal Feri, sementara jalur darat dapat anda tempuh dengan mobil, motor yang tentunya akan memakan waktu lebih lama dibandingkan menggunakan transportasi laut.  Tahun 1919, Kayeli menjadi Ibu Kota Pulau buru, kejayaan Kayeli sebagai pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru ditandai dengan berdirinya Benteng setinggi 2,5. Benteng ini dahulu adalah pusat pemerintahan Belanda di Pulau Buru, di bawah administrasi Provinsi Amboina dengan salah satu gubernurnya yang terkenal yaitu Bernadus Van Pleuren.

Pada abad 19 banjir besar meluap di sungai Waepo sehingga memporak-porandakan kota Kayeli. Saat masih dijajah Belanda, Kayeli dan daerah-daerah sekitar di Pulau Buru berada di bawah kekuasaan Raja-raja bermarga Wael, Hentihu, Bessy, dan Warhangan. Setelah kemerdekaan, kekuasaan para raja hanya menyangkut tanah ulayat dan menjaga kebudayaan.   

Awal tahun 2011,  masyarakat menemukan emas di Pulau Buru tempat itu disebut dengan Gunung Botak.  Penambangan yang tadinya hanya sekitar ratusan orang, berlipat ganda hingga puluhan ribu orang. Selain warga lokal, penambang berasal dari berbagai daerah seperti Kalimantan, Makassar, dan Jawa.  Penggunaan merkuri dan sianida di gunakan hal mengakibatkan kondisi lingkungan disekitar daerah penambangan menjadi buruk, alam sekitar  ikut tercemar,  warga tak lagi mengkomsumsi sayuran.

Pada 15 November 2015 tempat penambangan tersebut akhirnya ditutup dan masyarakat adat diterjunkan untuk menjaga lokasi bekas penambangan agar  kawasan tersebut tidak lagi diserbu penambang ilegal.

Selain memiliki sumberdaya alam seperti emas, di dataran rendah di Pulau Buru terdapat tumbuhan kayu putih yang tumbuh liar tentu ini menjadi pontesi yang luar biasa, kualitas minyak kayu putihnya  terbaik diantara minyak kayu putih dari berbagai daerah, sehingga menjadi salah satu ciri khas oleh-oleh dari Pulau Buru. Harga minyak putih perbotol bir ukuran sedang bisa  dijual dengan harga Rp. 100.000,00, dengan aroma minyak kayu putih yang kuat dan rasa hangat yang lebih lama bisa anda dapatkan di toko-toko kelontongan hingga Supermarket terdekat  atau bisa membelinya di ketel tempat pembuatan minyak kayu putih si pemilik ketel bisa menjamin bahwa 100% produknya asli tanpa campuran apapun.

Berwisata ke Pulau Buru tentu menjadi pengalaman yang sangat menyenangkan, anda dapat berwisata sejarah melihat alamnya yang indah,  mencoba kuliner yang beragam, mempelajari budaya, dan tradisi yang masih terjaga, membuat Pulau Buru layak untuk dikunjungi. Pemerintah Buru sendiri memiliki Jargon untuk  Parawisata di Pulau Buru yaitu " Ayo Main Ke Bupolo" dan " Pesona Bupolo"   Bupolo sendiri adalah nama lain dari Pulai Buru, jadi jangan  ragu untuk mengagendakan kunjungan anda ke Pulau Buru, sampai jumpa, Amato.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun