Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Teori Jarak Kekuasaan dalam Biduk Rumah Tangga

2 April 2020   11:31 Diperbarui: 2 April 2020   14:28 1911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi komunikasi antar suami-istri (sumber: blog.relationshipsurgery.com)

Beberapa hari kemarin, sebelum semua kasus corona menyerang, linimasa Twitterku penuh dengan pernyataan dan keributan orang-orang tentang foto sepiring nasi dan telur dadar. Begini keterangan foto tersebut:

"tadi suami wa katanya gausa masak krn dia mkn diluar, aku ga masak pikirku jg ntar pulang dibawain lauk untuk aku sekalian. 

Ternyata doi pulang dgn tangan kosong aku tanya 'loh km ga beli makanan yang?' dijawabnya 'ya engga kan tadi aku udah ngabarin kl mkn diluar' aku yg udah nungguin kelaperan seketika pengen nangis aja gt. Yaudah akhirnya dadar telor aja, untung nasi td pagi masih ada :') dianya lsg tidur aja ini ga peduli istrinya td nungguin sambil laper :))"

Kalian juga nggak?

Banyak banget pertanyaanku terkait foto ini. Kalo emang suaminya nggak mau makan di rumah, kenapa ada kata-kata nggak usah masak sih? Kenapa nggak cukup bilang aku mau makan di luar? 

Terus kenapa istrinya nggak nanya mau beli apa? Emang dia bakal makan apapun yang dibawa sama suaminya? Kenapa dia diem aja ketika suaminya tidur sedangkan dia kelaperan? Kenapa nggak bilang kalau dia menunggu berharap dibawakan tentengan? Dan kenapa-kenapa yang lain.

Orang-orang di Twitter banyak sih yang menanyakan hal yang sama denganku. Mereka kemudian mengatakan bahwa itu adalah kesalahan berkomunikasi antara suami dan istri. Mereka mengomentari bagaimana seharusnya si istri bersikap.

Aku juga sebenarnya ingin mengemukakan pertanyaan-pertanyaanku tadi di sosial media. Tapi aku tahan. Aku enggak tahu bagaimana latar keluarga si istri ini. Bagaimana sifat si suami? Bagaimana sifat si sstri? Jadi rasanya nggak bijaksana kalau aku berkomentar dari sudut pandangku.

Pernah tahu nggak, teman di sosmed yang suka mengunggah status tentang kondisi rumah tangganya? Status seorang istri yang nyinggung-nyinggung suaminya atau sebaliknya? Buatku itu aneh banget.

Ngapain sih lo nyindir-nyindir suami lo di medsos? Ngapain lo mention-mention suami lo di medsos? Emang kalian nggak tinggal serumah? Emang lo nggak bisa ngomong sama suami lo aja? Atau japri, kek.

Ada sih, orang-orang yang melakukan hal itu untuk caper saja. Dia sudah mengomel pada suaminya tapi masih unggah status. Supaya ada yang bertanya, "apa yang terjadi?"

Nggak semua perempuan caper, tentu saja. Mungkin mereka memang tidak tahu bagaimana mengomunikasikan apa yang dia rasakan pada suaminya. Hasilnya ya bikin status.

Seperti kalau kita (aku aja dink) sedang tidak suka dengan seseorang tapi tidak bisa mengungkapkannya, maka aku akan membuat status di media sosial.

Kenapa harus update status? Karena nggak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Aku pribadi sering kesulitan untuk mengungkapkan isi hati walaupun aku sering berbicara seenaknya. 

Tidak mudah untuk berkata bahwa aku tidak menyukai sesuatu atau aku menginginkan sesuatu. Aku sering berfikir tentang bagaimana reaksi orang terhadap kata-kataku. Apakah dia akan marah? Melemparku dengan batu? Atau mengataiku dengan kata-kata yang kejam?

Mungkin, itu juga yang terjadi pada perempuan yang suka menyindir suaminya di media sosial.

Membaca dari artikel yang ditulis oleh Nadya Karima Melati di magdalene.co, dia mengatakan bahwa kode-kodean seorang istri di media sosial pada suaminya adalah karena hubungan yang tidak setara yang berasal dari psike (jiwa) perempuan.

Ini mungkin tidak relate dengan kebanyakan perempuan dewasa muda pengguna Twitter, tapi ini relate sekali dengan banyak orang di sekitarku. 

Beberapa perempuan yang aku kenal, suka sekali mengunggah status-status bernada sindiran, terutama pada suaminya. Ada juga yang curhat padaku soal sikap suaminya yang menurut dia sangat cuek.

Ketika aku menyarankan untuk bilang langsung pada suaminya, dia bilang menurut nilai yang dia anut, seorang istri tidak boleh mengeluh pada suaminya yang sudah banting tulang untuknya.

Aku hanya bisa terdiam ketika batinku berkata, "kamu mengeluhkan suamimu pada orang lain tidak akan membuatmu lebih baik juga, lho."

Ada yang pernah baca buku Outlier karya Malcolm Gladwell?

Buat yang belum, kuberi tahu bahwa dalam buku itu ada satu bab berjudul "Teori Etnik Mengenai Jatuhnya Pesawat Terbang". 

Bab ini tidak berbicara tentang orang mana yang lebih pandai mengemudikan pesawat. Namun bagaimana co-pilot dari tempat yang memiliki jarak kekuasaan rendah memiliki peluang tinggi dalam menyelamatkan pesawat.

Memang jarak kekuasaan itu apa sih?

Jarak kekuasaan itu berhubungan dengan sikap seseorang dalam menghadapi hierarki atau atasan, khususnya dengan seberapa besar sebuah budaya menghargai nilai dan menghormati pihak yang berwenang. 

Jarak kekuasaan ini tidak bagus dalam industri penerbangan (di Amerika). Karena kalau sampai terjadi apa-apa di dalam pesawat, awak pesawat dari tempat berjarak kekuasaan rendah hanya akan memberi kode-kode pada kapten pilot. Mereka akan sungkan untuk menyampaikan pernyataan langsung.

Kemungkinan terburuk bisa terjadi, bila kondisi kapten pilot sedang lelah dan tidak bisa mengartikan kode-kode yang diberikan awak pesawat. 

Dalam bab ini, diceritakan contoh-contoh pesawat yang mengalami kecelakaan karena awak pesawat hanya memberikan kode-kode saat pesawat sedang dalam masalah. Karenanya, menurut Gladwell banyak maskapai penerbangan yang fokus untuk menghilangkan jarak kekuasaan ini.

Kurasa, rumah tangga kita pun seperti itu. Di sebagian besar rumah tangga di Indonesia, pasti ada jarak kekuasaan antara suami dan istri. Bagaimanapun, suami memiliki kedudukan sebagai pemimpin rumah tangga dan istri adalah pengikut. Tidak patut pengikut menegur pemimpin.

Padahal, seperti halnya dengan co-pilot, bukankah istri seharusnya menjadi pendamping? Yang bisa diajak berdiskusi dan bertukar pikiran tentang bagaimana seharusnya biduk rumah tangga dijalankan. 

Yang akan menegur bila ada salah langkah atau salah arah. Yang perlu didengar juga pendapatnya tentang suatu hal. Yang perlu juga merasa nyaman dalam menjalani hari-harinya.

Aku yakin setiap rumah tangga memiliki visinya masing-masing, seperti pesawat terbang yang memiliki tujuan.

Demi mencapai tujuannya, sebuah rumah tangga juga seharusnya dibangun dengan komunikasi yang nyaman antar anggota keluarganya. Sehingga setiap orang dalam rumah tangga tersebut tidak saling memendam perasaan tidak enak.

Komunikasi yang ideal bisa tercapai ketika seorang suami dan istrinya bisa mengecilkan jarak kekuasaannya. Sehingga tidak perlu ada kode-kode yang perlu dilontarkan. Tidak ada yang seharusnya merasa inferior dibanding yang lainnya.

Rumah tangga bahkan lebih dari sekadar kokpit. Kita menghabiskan lebih banyak waktu dengan pasangan dibanding dengan semua orang di dunia. Kita memiliki waktu yang sangat panjang untuk belajar bagaimana bisa berkomunikasi dengan baik pada suami/ istri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun