Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perihal "Sambat", Semua Orang Membutuhkannya

27 Maret 2019   15:30 Diperbarui: 27 Maret 2019   19:46 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sambat (sumber: iStock)

Hari ini adalah hari kedua, buku 'Nanti Kita Sambat Tentang Hari Ini', yang diterbitkan oleh Buku Mojok (bekerjasama dengan akun nksthi, memasuki masa Pre-Order. Lebih dari 1000 eksemplar buku ini sudah dipesan orang. Aku tiba-tiba teringat bahwa Kompasiana News, pernah menulis tentang akun ini.

Akun nksthi (akronim dari Nanti Kita Sambat Tentang Hari Ini) menurutku adalah parodi dari akun nkcthi (Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini) yang memiliki banyak pengikut dan menerbitkan buku terlebih dahulu. 

Berbeda dengan nkcthi yang mengajak pengikutnya untuk bercerita tentang sebuah topik, akun nksthi mengajak pengikutnya untuk sambat (mengeluh) terutama di hari Selasa dengan menggunakan tagar SelasaSambat.

Di saat motivator di luar sana mengingatkan kita untuk tidak banyak mengeluh, akun nksthi ini mempersilakan kita untuk mengeluh. Menarik sekali, kan? Makanya buku ini banyak peminatnya meskipun belum turun cetak.

Aku adalah orang yang hobi mengeluh. Selama bertahun-tahun, ayahku sudah menjadi 'tempat sampahku'. Sekarang, suamiku yang menjadi tempat berkeluh kesahku. Kasihan ya mereka?

Tapi ya, siapa sih orang yang tidak pernah mengeluh? Sepertinya mengeluh itu adalah bagian dari sifat cetakan manusia, deh. Sifat mengeluh, tersimpan dalam DNA setiap manusia. Buat yang beragama Islam pasti tahu isi Al Quran surat Al Maarij ayat 19 yang berbunyi: "sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir".

Menurutku, mengeluh tidak salah kok. Aku mengenal beberapa orang pengidap penyakit serius yang memiliki ganjalan hati yang dia pendam sendiri. Bahkan, menurut Dr. James Pennebaker, seorang psikolog yang mempelajari tentang trauma, mengatakan bahwa penyitas Holocaust yang tidak pernah membicarakan tentang trauma yang dialaminya memiliki masalah serius pada kesehatannya.

Tangkapan layar dari Twitter @nksthi
Tangkapan layar dari Twitter @nksthi

Emang sih, kita tidak bisa menyamakan orang yang punya trauma mendalam dengan orang yang mengeluh mengapa setiap malam minggu harus lembur. Tapi, dasarnya itu sama. Kita mencoba mengekspresikan emosi sehingga kita tidak lagi menyimpan perasaan negatif dalam diri kita yang berpotensi membuat masalah serius pada kesehatan kita.

Dari buku 'The Good News About What's Bad for You' yang ditulis oleh Jeff Wilser, ada 2 tipe mengeluh: expressive complaining dan instrumental complaining. Instrumental complaining dilakukan orang untuk mengatasi masalah yang ada. Sedangkan expressive complaining, kita hanya berbicara. Curhat kalau istilah orang sekarang.

Pertama, mari kita bahas tentang expressive complaining. Misalnya, kita mengeluhkan tentang bos kita yang menyebalkan, yang selalu menyuruh lembur setiap malam minggu. Kita sudah mencari banyak alasan untuk menolak lembur, namun bos kita memiliki lebih banyak alasan mengapa kita harus lembur. Akhirnya, kita bicarakan betapa menyebalkannya bos kita pada teman, pada suami, dan orang duduk di sebelah kita di KRL. Dan kecenderungannya, kita akan membicarakan bos ini pada siapa saja.

Apakah hal demikian baik untuk kita?

Kemarin, aku membaca tulisan di Twitter. Tulisan itu menanggapi sebuah tulisan panjang tentang seseorang yang ingin bunuh diri. Intinya dia bertanya, apakah orang yang ingin bunuh diri ini sudah memaafkan diri sendiri dan orang-orang yang menyebabkannya depresi?

Kalau belum bisa memaafkan, artinya masih ada luka batin dan bakal diomongin terus pada orang lain. Orang yang belum bisa memaafkan orang lain, pribadinya sangat rentan untuk dimasuki energi negatif. Mereka cenderung akan terus mengulik luka agar terus berdarah.

Ini yang tidak baik dari mengeluh.

Berbeda dengan instrumental complaining. Baru beli barang baru tapi dipakai sebentaran kemudian rusak? Silakan mengeluh ke pusat layanan konsumen produk tersebut. Punya trauma yang berat? Kita bisa ke psikolog untuk meminta bantuan. Ini yang sebenarnya harus kita lakukan. Kita mengeluh di tempat yang tepat.

Memang sih, pada akhirnya, selalu ada pengecualian. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan instrumental complaining. Misal kita mengeluh tentang bos kita ke HRD, seringnya malah menambah masalah baru. Atau kita berhadapan dengan orang yang nyinyir luar biasa tapi tidak bisa kita serang balik.

Sebenarnya, kalau boleh jujur, aku tipe orang yang pendendam dan sulit melupakan kekesalanku pada orang lain. Tapi aku sadar, hidup harus berlanjut. Aku berusaha untuk tidak membicarakan kekesalanku pada semua orang. Ya, aku tetap butuh mengekspresikan kekesalanku, kan? Tapi harus dibatasi. Selebihnya, aku memusatkan perhatian untuk hal-hal selain yang membuatku kesal. Yang paling penting, aku harus menerima kenyataan bahwa sesuatu yang menyebalkan terjadi padaku dan aku menjaga jarak dengan hal-hal yang menyebalkan.

Orang bilang, waktu akan menyembuhkan semuanya. Yes, jadi sambil menunggu waktu menyembuhkan luka, aku berusaha tidak terpapar oleh sesuatu yang bisa mengulik luka atau membuat luka baru. Karena hidup terlalu indah untuk dihabiskan dengan mengulik luka.

Tentang buku "Nanti Kita Sambat Tentang Hari Ini", aku juga belum baca. Tanggal 2 April 2019 nanti, penerbit baru akan mengirimkan bukunya ke tokoku. Kuharap, masih ada sisa untuk bisa aku baca sendiri (soalnya kalau ada yang mau beli mending aku jual. Hahaha) Kalau aku berkesempatan membacanya, akan aku ulas bukunya di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun