Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Freelancer - Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pentingnya Seminar Parenting agar Menjadi Ibu yang Profesional

1 November 2018   13:52 Diperbarui: 1 November 2018   20:12 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.parents.com

Beberapa hari yang lalu, aku menemukan sebuah postingan tentang ibu profesional di Instagram. Aku kemudian bertanya-tanya, ibu profesional itu yang seperti apa? Sebab yang aku tahu, seorang profesional itu menempuh pendidikan khusus. Seperti pesepak bola profesional, mereka menempuh pendidikan khususnya. Tidak seperti pemain sepak bola yang ada di acara tujuh belasan di kampung.

Setelah aku berselancar di internet, aku menemukan situs milik sebuah komunitas yang menasbihkan dirinya sebagai perkumpulan ibu-ibu profesional. Komunitas tersebut memiliki kurikulum seperti di perkuliahan jenjang S2. Ada matrikulasi untuk penyamakan frekuensi calon anggota dengan komunitas, kemudian ada materi dalam kelas-kelas yang berjenjang.

Aku terperangah dan tiba-tiba teringat dengan temanku yang anti seminar parenting. seorang teman pernah mengemukakan pendapatnya tentang seminar parenting saat kami sedang berbincang. Temanku adalah seorang yang tidak suka dengan adanya seminar-seminar parenting yang saat ini marak diselenggarakan.

"Buat apa, sih, seminar begituan? Kayak orang tuh bodoh banget nggak bisa menghadapi anaknya sendiri," katanya.

Aku tentu tidak setuju dengan ucapan temanku. Mengasuh anak manusia tidak cukup diberi susu lalu dibiarkan begitu saja seperti anak hewan. Yang jelas, anak manusia memiliki kondisi psikologis tertentu yang membuat mereka spesial. Dan sebagai orang tua, kita harus memahami kondisi psikologis ini untuk bisa menentukan sikap yang tepat.

manado.tribunnews.com
manado.tribunnews.com
Tidak semua orang beruntung bisa belajar psikologis anak secara mendalam. Namun kita tetap harus berusaha untuk mempelajarinya. Salah satunya adalah dengan menghadiri seminar-seminar parenting yang banyak diselenggarakan.

"Tapi, seminar-seminar itu menyeragamkan pola asuh orang-orang," kata temanku. "Setiap anak memiliki keunikannya sendiri yang harus dihadapi dengan caranya sendiri."

"Kamu pernah datang ke seminar parenting?" tanyaku.

Dia menggelengkan kepala. Aku kemudian tersenyum.

Well, aku memang belum punya anak. Namun beberapa kali aku pernah mengikuti seminar parenting yang tidak berbayar. Di sana, aku lebih banyak belajar tentang psikologis anak-anak dan dampak tindakan kita pada anak-anak. Tentu secara teori. Seperti yang temanku bilang tadi, setiap anak memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Belum tentu anak kita cocok dengan teori yang dipaparkan. Namun ini bisa menjelaskan sebagian besar fenomena yang terjadi pada anak-anak.

Misalnya saja tentang tantrum. Hampir semua anak tetanggaku yang berusia kurang dari 3 tahun memiliki kebiasaan yang sama saat mengamuk. Mereka suka membanting badannya ke lantai. Kadang, mereka mengamuk tanpa alasan yang jelas. Hal ini jelas menguji kesabaran ibu mereka. Respon para ibu pun berbeda-beda ketika gejala ini muncul. Namun saat aku tanya mengapa anaknya berbuat seperti ini, kebanyakan ibu menjawab tidak tahu dengan nada frustrasi. Hanya ada satu orang yang menjawab, "Namanya anak umur segini kan mulai punya keinginan, tapi belum bisa ngomong jelas. Jadi bisanya ya ngamuk."

Secara teori, memang itu yang terjadi. Anak berusia 1 -- 4 tahun akan sering mengalami tantrum. Mereka memiliki keinginan namun belum bisa mengekspresikan keinginannya. Mereka masih berusaha mengenali diri mereka sendiri dan belum mengerti tentang lingkungan sosial. Jadi, mereka bisa mengamuk dimana saja tanpa memikirkan kondisi lingkungannya.

Sikap kita menghadapi anak, tentu tergantung dari sikap anaknya. Apakah anaknya bisa dibujuk untuk diam tanpa iming-iming? Apakah anak itu akan mengamuk tanpa peduli apapun yang terjadi sampai batas waktu tertentu?

Mungkin seminar parenting seperti komunitas yang menyebut anggotanya ibu profesional ini yang dia tidak suka. Well, emh... Sepertinya akupun merasa tidak nyaman.

Begini, seseorang dikatakan profesional, bila dia bekerja dan mendapatkan uang dari keahlian yang diasahnya selama menempuh pendidikan tertentu. Misalnya seorang pemain tenis. Pemain tenis seperti Aldila Sutjiadi, misalnya, dia berlatih bermain tenis sejak kecil dan kini dewasanya, dia mencari uang dengan bermain tenis di turnamen-turnamen walaupun dia seorang sarjana matematika. Jadi dia bisa dibilang pemain tenis profesional. Berbeda cerita dengan aku yang menjadikan tenis adalah sebuah hobi. Aku berlatih bermain tenis sejak masih SMP, namun aku tidak mendapatkan uang dengan bermain tenis. Jelas aku tidak bisa disebut pemain tenis profesional.

Nah yang ingin aku tahu, bagaimana seseorang menjelaskan definisi dari ibu profesional? Apakah ada orang yang profesinya seorang ibu? Adakah orang yang mendapatkan bayaran dengan menjadi seorang ibu?

Saat aku membaca pengantar di situs komunitas tersebut, aku melihat komunitas tersebut mendefinisikan profesional sebagai bersungguh-sungguh. Jadi ini bukan tentang pekerjaan. Pertanyaan berikutnya, adakah orang yang tidak bersungguh-sungguh menjadi ibu?

Sayangnya, memang ada, sih, perempuan yang masa bodoh. Tidak peduli dengan anaknya yang penting anaknya sudah diberi makan. Tidak peduli dengan kondisi keuangan suaminya yang penting dia bisa bersenang-senang. Namun, apakah perempuan yang bersungguh-sungguh hanya mereka yang masuk dalam komunitas itu?

Bagiku pribadi, menjadi seorang perempuan, eh bukan, menjadi orang hidup memang harus belajar sepanjang hayat. Anak-anak tumbuh dengan belajar mengenal diri dan lingkungannya, murid-murid belajar secara formal di sekolah selain belajar tentang hal lain di luar sekolah, orang-orang yang bekerja belajar tentang pekerjaan mereka, suami istri yang baru menikah mempelajari tentang pasangan dan lingkungan barunya, calon orang tua belajar tentang tumbuh kembang bayi, dan seterusnya sampai malaikat maut menjemput.

Ya kalau ada yang belajar menjadi istri atau ibu dengan mengikuti komunitas semacam itu ya tidak apa-apa. Tidak ikut komunitas juga tidak apa-apa. Di Puskesmas, ada psilokog yang bisa kita temui setiap hari. Saat aku akan menikah, aku mendapat pengetahuan tentang kehidupan berumah tangga dan saran-saran dari beliau. Ada juga seorang calon ibu dan calon bapak yang berkonsultasi dengan psikolog di Puskesmas. Apalagi di era internet sekarang, kita bisa mendapatkan informasi dengan sangat mudah. Pintar-pintarnya saja kita menyaring informasi yang benar dan tidak benar.

Bagiku lagi, semua orang harus bisa berbangga menjadi dirinya sendiri. Apakah dia anggota sebuah komunitas eksklusif atau bukan. Apakah dia mendapat pengetahuannya dari pelatihan-pelatihan berbayar jutaan rupiah atau dari buku dan diskusi gratis. Yang tidak boleh adalah merendahkan dan mencibir orang lain. Ini yang kemudian menjadi kekhawatiranku dari adanya perkumpulan ibu-ibu yang menyebut dirinya profesional.

Ibu-ibu yang merasa dirinya profesional akan memandang rendah ibu-ibu yang tidak bersekolah. Ibu-ibu yang tidak mampu "membeli" status profesional kemudian akan mencibir ibu-ibu yang merasa dirinya profesional. Ini semua akan melengkapi perdebatan yang tidak kunjung usai di antara ibu-ibu. Tinggal di rumah atau bekerja? Pakai susu formula atau ASI? Bubur bayi instan atau bikin bubur sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun