Mohon tunggu...
Meita Eryanti
Meita Eryanti Mohon Tunggu... Penjual buku di IG @bukumee

Apoteker yang beralih pekerjaan menjadi penjual buku. Suka membicarakan tentang buku-buku, obat-obatan, dan kadang-kadang suka bergosip.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Obat-obat Pereda Nyeri: Amankah Mereka?

7 Oktober 2014   19:19 Diperbarui: 4 April 2017   17:52 4661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Adakah yang suka mengkonsumsi obat-obat pereda nyeri yang dijual bebas seperti bodrex (yang berisi paracetamol 500 mg dan cafein 50 mg) yang dapat menurunkan demam juga atau neo rheumacyl (yang berisi ibuprofen 200 mg dan paracetamol 350 mg)? Atau adakah yang merasa kondisinya tidak membaik saat mengkonsumsi obat-obat tersebut sehingga mengkonsumsi asam mefenamat (dengan merek ponstan atau mefinal) atau natrium (atau kalium) diklofenak (dengan merek dagang renadinac atau voltaren atau kataflam) yang memiliki logo obat keras (lingkaran berwarna merah dengan huruf K di tengahnya)? Seberapa banyak yang Anda konsumsi? Seberapa sering Anda mengkonsumsinya?

Saya pernah mendengar ada orang yang meminum neo-rheumacyl hingga 2 tablet karena dia merasa 1 tablet dirasa tidak bisa meredakan nyeri lututnya dan orang yang minum bodrex 2 tablet sekali minum untuk mengatasi sakit kepala yang dirasakannya. Saya juga pernah tau ada orang yang meminum kataflam 4 kali sehari untuk mengatasi rasa nyeri di gusinya. Apakah itu baik?

Sebenarnya tidak juga. Walaupun berlogo obat bebas, obat-obatan tersebut tidaklah benar-benar aman. Adakah yang tau minuman berenergi? Banyak orang mewaspadai minuman semacam ini karena meskipun bukan obat, minuman berenergi dapat mengganggu fungsi ginjal bila diminum terlalu sering dan melebihi anjuran. Demikian pula dengan obat pereda nyeri. Obat-obat seperti ibuprofen, asam mefenamat, dan natrium (kalium) diklofenak memiliki efek yang tidak diinginkan berupa gangguan pada sistem kerja jantung, gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan pada kerja ginjal bahkan pada dosis yang dianjurkan. Sedangkan paracetamol dapat menyebabkan gangguan hati bila terlalu sering digunakan dalam dosis yang tinggi.

Januari tahun 2014, FDA (lembaga pengawas obat dan makanan di Amerika) membatasi kekuatan sediaan parasetamol yang beredar di masyarakat. FDA mendapat kesimpulan bahwa mengkonsumsi parasetamol lebih dari 350 mg hanya akan meningkatkan resiko kerusakan hati. Pemberitahuan dari FDA ini dikhawatirkan akan membuat masyarakat yang biasa mengkonsumsi parasetamol akan beralih mengkonsumsi obat pereda nyeri golongan NSAID (asam mefenamat, ibuprofen, natrium diklofenak, dan banyak obat pereda nyeri lainnya yang masuk dalam golongan ini). Pada tahun 2005 di Amerika, dirilis dalam majalah Rheumatology sebuah survey yang dilakukan pada lebih dari 9000 orang untuk mengetahui bagaimana penggunaan obat nyeri di masyarakat dan seberapa peduli mereka pada efek samping yang ditimbulkan. Kesimpulannya, obat pereda nyeri digunakan secara luas dan sering dikonsumsi secara tidak tepat. Pasien juga umumnya tidak memperhatikan efek samping yang ditimbulkan pada penggunaan pereda nyeri.

Dengan tujuan untuk mengirimkan pesan pada masyarakat mengenai efek samping obat pereda nyeri terutama dari golongan NSAID , beberapa lembaga kesehatan di Amerika Serikat membuat sebuah serikat bernama The Alliance for the Rational Use of NSAID. Serikat yang menggunakan jargon “When take NSAIDs, use the lowest effective dose for the shortest period of time” ini memiliki misi memberi informasi dan memberi edukasi pada tenaga medis dan masyarakat untuk menggunakan obat pereda nyeri golongan NSAID secara aman dan tepat. Selain itu, serikat ini meminta masyarakat untuk mempertimbangkan resiko dan keuntungan yang akan didapat ketika mengkonsumsi obat pereda nyeri golongan NSAID. Dibentuknya aliansi ini menunjukkan betapa seriusnya masalah obat pereda rasa nyeri.

Bagaimana dengan di Indonesia? Walaupun tidak ada data pasti berapa banyak masyarakat yang menggunakan obat pereda nyeri, saya merasa jumlahnya cukup banyak. Bahkan sepertinya obat pereda nyeri adalah obat yang wajib ada dalam kotak obat di rumah. Saya pernah melihat orang membeli asam mefenamat 40 tablet di sebuah apotek. Ini jumlah yang sangat banyak untuk persediaan obat pribadi yang diminum maksimal 3 kali sehari 1 tablet dan diminum hanya pada saat ada keluhan nyeri. Saya malah sempat curiga, pembeli asam mefenamat sejumlah 40 tablet itu adalah seorang pembuat jamu oplosan.

Perhatian masyarakat dan informasi mengenai obat di Indonesia sepertinya memang kurang. Saya pernah menemui orang yang sama sekali tidak mau minum obat karena orang tersebut menganggap obat adalah suatu zat yang berbahaya dan hanya memberi sedikit manfaat. Di sisi lain, banyak orang yang menganggap enteng obat dan merasa tidak ada efek buruk yang mengintai dalam mengkonsumsi obat sehingga orang itu minum obat berlebih dan terlalu sering.

Rasa nyeri itu masalah dan mengganggu. Saya pun setuju akan hal itu. Ketika merasakan nyeri setelah terjatuh atau kaki terantuk batu, rasanya memang ingin segera melenyapkan rasa nyeri itu bagaimanapun caranya. Dan obat pereda rasa nyeri dibuat memang untuk membantu kita meredakan rasa nyeri yang kita derita. Akan tetapi, kita tidak bisa terlalu bergantung pada obat pereda nyeri. Obat-obat tersebut tidak selalu aman. Masyarakat harus tau bahwa mengkonsumsi obat-obat itu bisa menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan, dan reaksi yang terjadi bisa saja serius sehingga masyarakat perlu waspada. Saat kita merasa perlu mengkonsumsi pereda rasa nyeri, gunakanlah obat dengan dosis yang terendah tetapi efektif dan dalam waktu yang singkat. Hanya selama rasa sakit itu muncul. Obat pereda rasa nyeri sebaiknya tidak digunakan untuk mencegah rasa nyeri itu datang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun