Langit masih memerah saat kubuka jendela, rupanya petang kembali datang pertanda kesunyian akan menjadi karib di mana pun aku tinggal. Meski baru satu minggu di bilik kecil ini, bagiku tetaplah penyiksaan yang menakutkan.
Kriiiig ... kriiing ...! Ponselku berdering, telepon dari ibu. Dengan cepat kuangkat, walau sangat malas.
"Kinar ... persiapkan dirimu secantik mungkin, ibu tidak mau ini gagal lagi, usahakan semua baik-baik saja. Ingat, ini sudah yang kesekian kali," tegas ibu bernada ancaman. Aku  mendesah berat.
"Iya, Bu ..., aku pastikan semua akan berjalan sesuai harapan ibu," jawabku meyakinkan, terdengar gumaman ibu yang tak mampu kucerna sebelum kami mengakhiri percakapan.
***
Aku sangat paham apa yang diinginkan ibu, melihat anaknya bahagia, punya keluarga dan keturunan. Tapi, entah karena apa jodohku terasa jauh dari jangkauan.Â
Setiap pemuda yang melamarku selalu bertolak dan membatalkan pinangan begitu kami dipertemukan dalam ta'arruf, selayaknya laki-laki dan perempuan. Sampai usiaku mendekati 27 tahun, aku seperti menghadapi dilema tak terpecahkan.Â
Setiap laki-laki yang ingin menyematkan cincin di jari manisku, mereka seperti kena tusukan duri-duri dan mengerang kesakitan. Sontak mereka akan menggagalkan pinangan. Aku sebenarnya tak masalah, tapi lama-lama aku merasa seolah-seolah biang petaka tanpa sebab.Â
Bagaimana mungkin aku yang terkesan sederhana, jarang keluar rumah bahkan sering menghabiskan waktu di kamar seakan menyimpan bibit dan virus mematikan, atau ini gejala covid-19 dalam versi yang lain?Â
Tapi apa mungkin, kelainan yang kurasakan ini sudah lima tahun berlalu, jika dihitung aku dijodohkan duapuluh dua kali tapi semua gagal dan memilih pergi.
Merasa malu dengan keadaanku yang dianggap aib, ibu berinisiatif mengirim aku ke Rumah Nenek, di sebuah Desa terpencil demi menghindar dari gunjingan banyak orang.
"Kak ..., tamunya sudah datang." Ketukan pintu dan suara Rini mengagetkan aku.