Isu pembangunan ekonomi berkelanjutan kini semakin sering dibicarakan, terutama ketika dunia dihadapkan pada masalah kemiskinan, ketimpangan sosial, hingga kerusakan lingkungan. Konsep keberlanjutan sendiri pada dasarnya menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian alam. Hal ini sejalan dengan tujuan pembangunan global seperti Sustainable Development Goals (SDGs)Â yang dicanangkan PBB.
Dalam ajaran Islam, nilai-nilai pembangunan berkelanjutan sesungguhnya sudah lama menjadi fondasi. Prinsip keadilan ('adl), keseimbangan (tawazun), dan tanggung jawab sosial tercermin dalam banyak aspek ajaran Islam. Prinsip-prinsip ini tidak hanya menjadi tuntunan moral, melainkan juga dapat diterjemahkan dalam sistem ekonomi yang lebih adil dan berorientasi jangka panjang.
Salah satu tokoh yang sering dirujuk ketika membicarakan hal ini adalah Monzer Kahf, seorang ekonom Muslim kontemporer yang pemikirannya berpengaruh besar dalam literatur ekonomi Islam. Karya dan gagasannya banyak dibahas di kalangan akademisi maupun praktisi ekonomi Islam di Indonesia, terutama terkait peran zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) dalam mendorong kesejahteraan masyarakat (Abdurrahman, 2018). Pemikirannya relevan untuk dibicarakan kembali, terutama dalam konteks bagaimana Islam dapat memberi kontribusi nyata terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Monzer Kahf memandang bahwa ekonomi Islam bukan sekadar soal mencari keuntungan atau efisiensi, melainkan bagaimana aktivitas ekonomi bisa membawa kemaslahatan luas. Menurutnya, ekonomi Islam harus menghadirkan keadilan sosial melalui mekanisme distribusi kekayaan yang lebih baik. Zakat dan wakaf, misalnya, memiliki peran strategis dalam mengurangi kesenjangan sosial. Dengan mekanisme ini, kaum miskin tidak hanya dibantu secara sesaat, tetapi diberi peluang untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Di Indonesia, wacana ini cukup relevan mengingat potensi zakat sangat besar. Laporan dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa potensi zakat nasional bisa mencapai ratusan triliun rupiah bila dikelola secara optimal (Antonio, 2012). Namun, realisasi pengumpulan zakat masih jauh di bawah potensinya. Pemikiran Kahf memberi dorongan agar pengelolaan zakat tidak hanya bersifat karitatif, melainkan juga produktif untuk menciptakan kemandirian ekonomi masyarakat.
Selain itu, Kahf juga sangat kritis terhadap praktik riba. Ia menilai riba hanya memperlebar jurang ketidakadilan karena keuntungan jatuh pada pemilik modal, sementara risiko ditanggung pihak lain. Sistem ekonomi yang berbasis riba cenderung melahirkan ketidakstabilan dan krisis. Sebagai solusi, Kahf menawarkan sistem bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah yang lebih adil dan partisipatif. Prinsip ini ternyata juga menjadi dasar utama dalam praktik perbankan syariah di Indonesia (Karim, 2010).
Di sisi lain, Kahf menekankan pentingnya etika dalam aktivitas ekonomi. Bagi Kahf, kejujuran, transparansi, dan kepedulian sosial bukan sekadar nilai moral tambahan, tetapi bagian integral dari sistem ekonomi Islam. Etika inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional. Pemikiran semacam ini relevan dengan konteks pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya mengukur keberhasilan dari sisi materi, tetapi juga dari dampaknya terhadap manusia dan lingkungan.
Etika ini misalnya tercermin dalam larangan berlebihan (israf)Â dan pemborosan (tabdzir). Dalam praktik pembangunan, larangan ini sejalan dengan konsep efisiensi sumber daya, mengurangi eksploitasi alam, dan menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan demikian, ekonomi Islam memberi panduan moral sekaligus praktis agar pembangunan tidak mengorbankan generasi mendatang.
Jika dilihat lebih dekat, gagasan Kahf punya banyak kaitan dengan agenda pembangunan berkelanjutan.
Pertama, zakat produktif. Kahf berpendapat zakat sebaiknya tidak hanya digunakan untuk kebutuhan konsumtif, tetapi juga diarahkan pada kegiatan produktif yang bisa meningkatkan kemandirian mustahik. Praktik ini sudah terlihat di Indonesia melalui program pemberdayaan usaha mikro yang dijalankan . Dana zakat yang biasanya habis untuk kebutuhan sehari-hari kini bisa diputar menjadi modal usaha, sehingga efeknya lebih panjang dan berkelanjutan (BAZNAS, 2021). Dengan demikian, zakat tidak hanya mengentaskan kemiskinan sementara, tetapi juga menciptakan peluang bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Kedua, wakaf produktif. Kahf menekankan bahwa wakaf seharusnya tidak berhenti pada tanah makam atau pembangunan masjid, melainkan bisa dikembangkan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, hingga pemberdayaan ekonomi. Di Indonesia, Badan Wakaf Indonesia (BWI) sudah mulai mendorong praktik ini, contohnya pembangunan rumah sakit dan sekolah berbasis dana wakaf. Hal ini jelas menunjukkan bagaimana konsep yang digagas Kahf dapat diterapkan dalam konteks pembangunan nasional (BWI, 2020). Wakaf produktif memberi peluang keberlanjutan manfaat, karena harta wakaf tidak habis dipakai, tetapi terus menghasilkan dan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.