SAMPANGÂ - Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur turun tangan menangani dugaan maladministrasi di Desa Pajeruan, Kecamatan Kedungdung Kabupaten Sampang. Penyelidikan ini berfokus pada polemik pemberhentian perangkat desa dan munculnya dua kantor desa yang membingungkan warga, buntut dari laporan masyarakat setempat.
OmbudsmanPeriksa Camat Kedungdung
Tim Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur mendatangi kantor Kecamatan Kedungdung, Kabupaten Sampang, pada Selasa (7/10/2025) pagi. Kedatangan mereka bertujuan untuk meminta klarifikasi langsung dari Camat Muhammad Sulhan terkait aduan masyarakat mengenai tata kelola pemerintahan di Desa Pajeruan.
Asisten Pemeriksaan Laporan Ombudsman Jatim, Muhammad Diyanto, menyatakan bahwa langkah ini merupakan tindak lanjut atas laporan warga yang masuk.
"Kami meminta keterangan melalui Camat sebagaimana apa yang diadukan oleh masyarakat terhadap Ombudsman," ujar Diyanto di sela-sela pemeriksaan.
Menurutnya, Ombudsman telah mengantongi keterangan tertulis dari pelapor dan kini melengkapinya dengan penjelasan dari pihak kecamatan sebagai regulator dan pembina desa.
"Kami juga mendapatkan penjelasan hal-hal yang berkaitan dengan aduan yang disampaikan oleh pelapor," tambahnya.
Akar Masalah:Dua Kantor Desa dan Perangkat Ganda
Polemik di Desa Pajeruan mencuat setelah penunjukan Syamsul Bahri sebagai penjabat (Pj.) kepala desa pada 21 April 2025. Sejak saat itu, muncul sejumlah kebijakan yang menuai kritik, terutama dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Ketua BPD Pajeruan, Syaiful Bahri, mengungkapkan beberapa kejanggalan utama:
- Pendirian Kantor Desa Baru: Pj. Kepala Desa Syamsul Bahri diduga tidak pernah berkantor di balai desa resmi. Sebaliknya, ia disebut mendirikan kantor desa baru di lokasi berbeda.
- Penunjukan Perangkat Baru: Seiring dengan adanya kantor baru, Pj. Kepala Desa juga dikabarkan menunjuk perangkat desa baru, sementara perangkat desa yang lama masih aktif.
- Kebingungan Publik: Keberadaan dua pusat layanan pemerintahan desa ini menyebabkan disinformasi dan kebingungan di kalangan warga yang hendak mengurus administrasi.
"Jika dua kantor desa memiliki fungsi yang berbeda, dapat menyebabkan tumpang tindih wewenang dan tanggung jawab. Kantor desa yang lama masih aktif perangkatnya, sementara kantor yang baru juga ada perangkatnya," jelas Syaiful.
Ia menduga dualisme ini dipicu oleh "gengsi politik" yang belum terselesaikan dan mendesak Pj. Kepala Desa untuk tidak membuat keputusan sepihak yang berpotensi memicu konflik sosial.
Sementara itu, Moh. Arip, salah satu perangkat Desa Pajeruan yang digantikan tanpa prosedur pemberhentian resmi, menegaskan bahwa pihaknya akan menempuh eskalasi laporan.