Mohon tunggu...
Media Center Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada
Media Center Pusat Studi Kependudukan Dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Mohon Tunggu... profesional -

Media Center Gedung Masri Singarimbun Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada Jl. Tevesia, Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Selanjutnya

Tutup

Politik

Migran Indonesia di Malaysia: Memburu Ringgit di Balik Sebatan Rotan

17 September 2012   06:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:21 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1347862831859520712

Sebuah makalah yang ditulis oleh Drs. Abdul Haris, MA, mantan peneliti di PSKK UGM. Makalah ini disampaikan dalam agenda diskusi bulanan PSKK UGM pada 22 Agustus 2002. [caption id="attachment_212851" align="aligncenter" width="600" caption="Aksi Serikat Buruh Migran Indonesia (dok. berita.plasa.msn.com)"][/caption]

Abdul Haris[1]

Pengantar

Rasanya tidak terlalu sulit untuk menebak arah kebijakan politik dan ekonomi Malaysia dalam konteks tenaga kerja internasional. Malaysia yang dibesarkan di bawah ketiak pekerja migran internasional sebenarnya tidak mampu untuk mendirikan “tenda perlindungan” apalagi gedung megah seperti yang terlihat sekarang tanpa kehadiran tenaga kerja asing. Sebuah ironi di mana perubahan drastis dari komunalisme ekonomi ke alam modernisasi telah melumpuhkan rasa terima kasih sebuah negara bangsa yang dibesarkan dan dibina oleh sebagian besar pekerja asing di hampir seluruh lini pembangunannya. Sebuah alasan politis yang sebenarnya telah menciptakan jebakan politik bagi hubungan-hubungan ekonomi sosial dan politik regional atas nama stabilitas dan keamanan dalam negeri. Akan tetapi, patut pula dipertanyakan tidakkah stabilitas ekonomi nasional baik dalam konteks negara asal maupun negara tujuan, juga telah diperkuat oleh aktivitas migrasi yang berlangsung dalam volmue tinggi? Jika aktivitas migrasi yang berlangsung selama ini telah memberikan kontribusi besar dalam proses pembangunan, lalu kenapa tidak ada satu penghargaan pantas yang pernah diberikan kepada para pekerja migran?

Negara penerima dan sekaligus pengguna jasa tenaga kerja asing, dari sudut pandang internasional telah melakukan tindakan pemerasan dan ekploitasi berlebihan terhadap para pekerja. Sebuah tindakan yang tidak dapat dipandang sebagai respon positif atas kehadiran dan jerih payah pekerja tidak terkecuali tenaga kerja Indonesia. Di sisi lain, pemerintah negara asal juga telah melakukan tindakan “kejahatan” dengan mendiskriminasikan proses perlindungan dan administratif tenaga kerja internasional lewat terminologi “haram” –“halal” atau “legal” dan ilegal”.

Tulisan ini mencoba memberikan fakta di balik aktivitas migrasi internasional yang berlangsung dari Indonesia dan khususnya dari Pulau Lombok-Nusa Tenggara Barat. Tanpa bermaksud menempatkan kebijakan pemerintah dalam program penempatan tenaga kerja luar negeri dalam posisi yang paradoks, tulisan ini juga dimaksudkan untuk memberikan koreksi pada kebijakan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang jauh dari harapan. Kehadiran tangan pemerintah yang tidak efektif kecuali sebagai simbol kepedulian semu pemerintah di negara tujuan, telah melemahkan tingkat bargaining tanaga kerja Indonesia terutama di kalangan pengguna jasa tenaga kerja. Lebih spesifik tulisan ini menyoroti persoalan migrasi tenaga kerja Ind onesia yang melakukan aktivitas ekonomi produktif di negara-negara Asia-Pasifik khususnya Malaysia. Sebagai sebuah sebuah stimulan, tulisan ini juga dimaksudkan untuk memberikan wacana perdebatan tentang bagimana pekerja migran internasional ditempatkan lebih layak di dalam hubungan-hubungan relasional kebijakan pembangunan yang lebih luas.

Migrasi Internasional dan Mitos Kemiskinan

Berbicara soal migrasi internasional mungkin tidak terlalu menarik jika dilihat hanya pada tataran permukaan sebagai sebuah gejala perpindahan penduduk yang melibatkan aspek-aspek ruang dan waktu. Akan tetapi, persoalan tersebut akan menjadi sebuah fenomena besar jika mengkaji substansi persoalan yang menyebabkan gejala tersebut muncul dan berkembang. Oleh karena itu, fenomena migrasi yang berlangsung khususnya dalam konteks global atau internasional tidak dapat dipahami hanya dengan mengoposisikannya di dalam terminologi negatif atau positif (IOM, 2000). Persoalan tersebut juga tidak dapat disederhanakan dengan menempatkan aktivitas migrasi ke dalam sistem ekonomi sederhana yang menempatkannya di dalam suatu kontak keuntungan material yang menghasilkan atau memberikan tekanan pada perubahanperubahan harga produksi.

Persoalan stereotif konseptual, migrasi selalu dipandang sebagai sebuah respon rasional atas kemiskinan di daerah asal. Realitas ini paling kurang mendapat pembenaran-pembenaran empirik di dalam berbagai kajian yang telah dilakukan terutama di negara-negara berkembang (Hugo, 1982, 1993, 1996; Mantra, dkk, 1999, 2001; Meier, 1995; Todaro, 1995, 2000: Zlotnik 1992, 1998). Namun demikian, kenyataan yang selalu tidak pernah terungkap adalah bagaimana sebuah aktivitas migrasi yang berlangsung antar daerah atau antarnegara telah menciptakan perubahan-perubahan struktural yang membawa sebuah wilayah ekonomi dan politik suatu negara ke tingkat yang lebih baik dari sebelumnya. Di samping itu, Aktivitas migrasi yang terjadi tersebut juga telah mampu menarik aktivitas etno-ekonomi ke dalam wilayah-wilayah yang jauh lebih luas, dalam konteks politik, sosial maupun kultural. Aktivitas ini bahkan telah menciptakan pengaruh kuat pada pola hubungan global yang bersifat mutualisme antara negara-negara terkait.

Namun demikian, mitos kemiskinan yang melekat pada aktivitas migrasi tersebut nampaknya ikut memberikan warna di dalam perkembangan fenomena migrasi yang terjadi. Kondisi ini secara umum telah melamhkan posisi migran di dalam seluruh proses aktivitas pasar kerja, baik di tingkat lokal, nasiopnal, maupun internasional. Buruknya posisi tawar pekerja migran tersebut diperburuk lagi oleh kebijakan penempatan tenagakerja internasional yang tidak memiliki dasar hukum cukup kuat untuk memberikan jaminan perlindungan kepada migran pekerja. Oleh karena itu, tidak terlalu berlebihan jika aktivitas migrasi yang berlangsung terutama dari negara-negara berkembang tidak terkecuali dari Indonesia, bergerak tanpa mekanisme yang memungkinkan keterlibatan mereka di dalam kegiatan pasar kerja global terjamin secara politis maupun hukum (IOM, 2000; 1999; Nagib, 2000).

Dalam konteks politik dalam negeri Malaysia, kehadiran pekerja asing sebenarnya merupakan dilema bagi pemerintah. Di satu sisi ketakutan pemerintah Malaysia akan komunitas pekerja migran yang makin besar diakawatirkan menjadi pesaing berat pekerja setempat. Hal ini memberikan implikasi langsung pada terjadinya tekanan pengangguran di level bawah struktur pasar kerja nasional Malaysia. Kenyataan yang ada adalah bahwa tingkat pengangguran di malaysia pada tahun 2000 mencapai 2,8 persen (Ismail dan Tahir, 2000). Kondisi ini dikawatirkan akan jauh lebih besar jika tenaga kerja asing masuk ke Malaysia dalam jumlah yang makin besar, apalagi pada era dimana pasar bebas regional segera diberlakukan. Di sisi lain, secara ekonomi sesungguhnya kehadiran pekerja asing yang sebagian besarnya dari Indonesia telah memberikan keuntungan besar kepada pemerintah Malaysia. Penggunaan tenaga kerja asing yang relatif murah telah memberikan kontribusi besar pada tambahan saving dana pembangunan. Di samping itu, pekerja asing juga telah ikut berperan mempercepat transformasi pembangunan di semua lini pembangunan Malaysia. Hal ini menjadi dasar penting untuk melihat dan mengkaji kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan asing di Malaysia khususnya menyangkut peluang dan penghargaan yang lebih fair pada saat sekarang dan akan datang.

Realitas kehadiran pekerja Indonesia di Malaysia merupakan fenomena yang tidak terhindarkan. Hal ini mengingat bahwa aliran pekerja Indonesia terutama ke bagian selatan semanjung Malaysia sudah berlangsung turun-temurun sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan secara rutin di luar kerangka politik. Pengetatan aturan keimigrasian yang dilakukan dibawah alasan stabilitas nasional Malaysia oleh karenanya merupakan sebuah sebuah eskapisme dari ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan manajemen tenaga kerja yang transparan dan ketakutan berlebihan atas dominasi pekerja asing terutama di sektor-sektor riil. Jika dilihat lebih sepsifik, kehadiran pekerja Indonesia sepanjang era krisis (1997-2002) telah memberikan sumbangan penting bagi berjalannya roda perekonomian Malaysia yang sebagiannya mengandalkan sektor perkebunan dan pertanian. Oleh karena itu, secara ekonomi hilangnya sebagian besar pekerja asing sebagai implikasi langsung dari kebijakan ketat yang diterapkan pemerintah Malaysia memberikan pukulan berat bagi perekonomian Malaysia paling kurang satu periode ke dapan. Logikanya adalah pengusiran tenaga kerja asing menciptakan kekosongan-kekosongan tenaga kerja di lapisan terbawah sementara pekerja lokal pun enggan untuk mengisi sektor pekerjaan tersebut. Kondisi ini secara substansial merupakan ancaman bagi stagnasi pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah-wilayah negara bagian yang banyak memanfaatkan tenaga kerja asing, seperti Slangor, Johor, Negeri Sembilan, Melaka dan negara-negara yang berada dibawah wilayah persekutuan Melayu.

Secara historis pembatasan masuk pekerja asing sebenarnya bukan hal baru bagi Malaysia. Pelanggaran-pelanggaran keimigrasian bahkan secara tradisional telah dilakukan dan “direstui” oleh kelompok-kelompok masyarakat yang sangat membutuhkan kehadiran pekerja terutama disektor perkebunan dan pertanian. Akta keimigrasian Malaysia 1959/1963 yang diperbaharui dengan Akta keimigrasian Agustus 2002 yang mengatur tentang pembatasan dan ijin tinggal warga asing di Malaysia misalnya merupakan salah satu penegasan aturan sbelumnya. Akta ini pula yang digunakan untuk mendakwa dan mengancam sebagian besar pekerja untuk berhati-hati melakukan aktivitas di wilayah semanjung Malaysia khususnya.

Namun demikian, faktanya adalah bahwa betapapun upaya pengetatan keimigrasian dilakukan, realitas kebutuhan pekerja yang sangat besar di lapisan bawah dalam stuktur pasar kerja Malaysia menyebabkan aliran masuk migran sulit untuk dikendalikan. Di samping itu, ketimpangan pertumbuhan ekonomi regional antara negara-negara tujuan migrasi (seperti malaysia) dengan negara asal migran menyebabkan aktivitas migrasi yang dilakukan hampir tidak mempertimbangkan resiko yang mungkin akan dihadapi sepanjang proses migrasi yang terjadi. Kemiskinan di daerah asal migran telah menjadi stigma yang menjadikan aktivitas migrasi seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisah. Di satu sisi, aktivitas tersebut mengandung resiko besar tetapi disisi yang lain juga ada harapan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga di daerah asal. Sebuah pilihan aktivitas yang juga bersifat dilematis, berada diantara pilihan-pilihan ekonomi politis yang sama beratnya.

Berkaca dalam Lumpur: Antara Indonesia dan Indon

Realitas objektif pemberlakukan pasar bebas global ataupun pasar bebas regional sebenarnya memberikan paling kurang tiga aspek penting bagi kativitas migrasi pekerja antar negara. Pertama, secara umum berlakunya pasar bebas regional ataupun global memberikan ruang lebih bebas bagi pekerja untuk melakukan aktivitas ekonomi produktif tanpa harus dibatasi oleh batasan-batasan politik antarnegara. Kedua, segmentasi pasar kerja yang makin kompleks juga memberikan kesempatan bagi pekerja pada berbagai tingkatan dan kualitas untuk memilih bidang-bidang atau sektor-sektor kerja yang sesuai dengan keterampilan dan kemampuan pekerja. Ketiga, secara hukum dan politis aktivitas ekonomi pekerja lebih terlindungi karena keterlibatannya di pasar kerja global dijamin berdasarakan hukum dan konvensi internasional (Fong, 1992).

Namun demikian, tidak semua negara bahkan termasuk negara yang menandatangi perjanjian perdagangan bebas rela membuka pasarnya untuk diisi oleh pekerja dengan berbagai latar belakang sosial kultural, bahkan politik. Hal ini disebabkan tidak adanya suatu konsep dan mekanisme jelas berkaitan dengan keterlibatan tenaga kerja asing untuk ikut bersaing di pasar kerja nasional negara-negara terkait. Negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Indonesia misalnya menyimpan kekawatiran besar sebagai konsekuensi tidak tepatnya strategi pengembangan sumberdaya manusia yang dilakukan. Hal ini menyebabkan respon yang diberikan selalu lebih lambat dari desakan kesepakatan pasar bebas yang terlanjur ditandatangani. Lebih jauh, pemerintah negaranegara di kawasan ini cenderung untuk melakukan proteksi dari keterlibatan pekerja asing. Sterilisasi pasar kerja nasional di masing-masing negara bahkan dibingkai dengan kepentingan politik yang semata-mata dilakukan untuk menghindar dari kesepakatan internsional.

Jeratan kepentingan politik terhadap realitas perkembangan ekonomi global telah menciptkan ruang diskriminatif yang menempatkan pekerja asing di suatu negara pada posisi yang dilematis. Di satu sisi kemiskinan dan tidak tersedianya kesempatan kerja memadai di negara asalnya menyebabkan pekerja migran terpaksa menetapkan pilihan dengan segala resiko yang dihadapi. Di sisi lain, pekerja pun nampaknya harus menghadapi kenyataan bahwa aktivitas yang dilakukan tidak berada pada jangkauan perlindungan yang mampu diberikan oleh negara asalnya bahkan oleh negara tempat dia bekerja (Rivera, 1992). Inilah sebuah kenyataan yang harus dihadapi migran di negara tujuan, di mana aktivitasnya telah menjadi bagian tidak terpisah dalam seluruh proses pembangunan yang dilakukan pemerintah negara terkait.

Dalam konteks Malaysia, Indon merupakan terminologi yang digunakan untuk menyebut pekerja Indonesia. Sebuah sebutan yang sesungguhnya lebih bernuansa kumuh, miskin dan ilegal ketimbang mengndung makna asal pekerja. Dengan demikian, jika seorang Indon melakukan pelanggaran, dalam konteks apapun maka indon-indon lain akan langsung merasakan akibatnya. Akan tetapi di sisi lain, terminologi tersebut bahkan telah menciptakan efek positif pada berkembangnya solidaritas antar pekerja migran. Indon, dengan demikian, dapat juga bermakna orang indonesia yang miskin dan senasib. Kenyataan ini hampir identik dengan tingkat sosial ekonomi mereka yang tidak pernah melampaui limit lapisan terendah dalam struktur sosial di Malaysia. Itulah sebabnya memahami realitas pekerja migran Indonesia yang ada di Malaysia hampir identik dengan berkaca di dalam lumpur. Mencoba melihat realitas kehidupan diri sendiri di dalam sebuah kuabngan lumpur. Sebuah realitas yang dapat menjadi cermin betapa buruknya kebijakan pemerintah dalam hal migrasi internasional. Di samping itu, realita tersebut dapat juga menjadi cermin betapa pemerintah tidak punya perhatian serius pada nasib pekerja migran meskipun pada setiap kesempatan persoalan ini dianggap positif bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.

Dalam konteks perlindungan pekerja, Malaysia sebenarnya bukan merupakan negara ideal. Meskipun Malaysia merupakan negara utama tujuan migrasi, tetapi kenyataan yang ada adalah bahwa negara tersebut termasuk dalam salah satu negara Asia Pasifik yang tidak mampu memberikan jaminan perlindungan memadai bagi aktivitas pekerja asing. Hal ini disebabkan institusi Malaysia tidak secara tegas menempatkan pekerja ke dalam akta-akta perburuhan kecuali perlindungan terhadap pekerja tempatan dari berbagai tindakan penyimpangan. Itulah sebabnya dalam setiap terjadi perselisihan kerja posisi pekerja asing hampir tidak pernah diposisikan pada situasi yang menguntungkan. Hal ini berbeda dengan negara-negara lain yang mengatur jaminan perlindungan jelas bagi pekerja tanpa melihat identitas sosial-politik pekerja bersangkutan. Paling kurang ada 6 negara Asia-Pasifik yang dapat memberikan jaminan jelas kepada pekerja migran yang melakukan aktivitas ekonomi, yaitu Australia, Irak, Iran, Yordania, Selandia baru, dan Philippine (Rivera, 1992). Oleh karena itu, perlakuan pemerintah terhadap pekerjanya pun baik yang melakukan aktivitas di dalam maupun di luar negerinya hampir tidak berbeda. Kondisi ini hampir tidak ditemukan di negara-negara yang tidak mengadopsi sistem jaminan sosial pekerja termasuk Indonesia.

Di Balik Jerat Hutang, Taikong, dan Perlindungan Hukum

Pertanyaan yang sering muncul ketika bersentuhan dengan aktivitas migrasi internasional adalah bagaimana sebuah proses panjang migrasi yang dilakukan dari daerah-daerah yang relatif miskin dapat berlangsung dalam volume yang besar. Lebih jelasnya, bagaimana mereka (para migran potensial) bisa membiayai perjalanan migrasi yang dilakukan? Sebuah pertanyaan yang jawabannya sbenarnya ada di dalam kantongkantong para calo dan agen-agen pengerah jasa tenaga kerja.

Jika sebuah aktivitas migrasi internasional yang berlangsung diasumsikan berasal dari wilayah-wilayah yang relatif miskin secara ekonomi, dapat dipastikan seluruh atau sebagian pembiayaan migrasi ditanggung oleh orang ketiga. Hal ini berarti aktivitas migrasi yang terjadi berlangsung dalam lingkaran hutang yang dikelola oleh kelompokkelompok pengerah jasa tenaga kerja luar negeri. Rantai migrasi yang belangsung dalam lingkaran tersebut menciptakan rangkaian sindikat yang melibatkan berbagai pihak hingga ke tingkat birokrasi. Persoalan ini pada gilirannya menyebabkan pengendalian aktivitas migrasi yang dilakukan di luar kerangka hukum formal menjadi semakin sulit dideteksi.

Fakta yang ditemukan dalam berbagai penelitian (Mantra, dkk, 1998, 2000, 2001; Haris, 2002) memperlihatkan bahwa sebagian besar aktivitas migrasi yang dilakukan terutama dari wilayah timur Indonesia, seperti NTB dan NTT dilakukan dengan sistem pinjaman modal kepada pihak-pihak pengerah jasa. Hal ini menyebabkan pekerja migran dan keluarganya hampir tidak punya peluang untuk memanfaatakan remitan yang dihasilkan di negara tujuan. Kisaran hutang dengan sistem berganda yang dilakukan pelaku pengirim tenaga kerja secara ekonomi berdampak negatif pada program pembangunan daerah.

Paling kurang ada dua argument yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, realitas putaran uang di daerah asal migran didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu, seperti taikong atau calo dan biro pengerah jasa tenaga kerja. Oleh karena itu, meskipun jumlah nominal remitan masuk ke daerah asal tercatat relatif besar, tetapi potensi pemberdayaan ekonomi migran tidak mungkin dilakukan. Hal ini menyebabkan hampir tidak terjadi peningkatan pertumbuhan kegiatan ekonomi yang cukup signifikan. Kedua, dominasi kelompok pengerah jasa tenaga kerja terhadap seluruh proses migrasi yang terjadi di daerah asal menyebabkan kelompok-kelompok migran potensial kehilangan akses dengan program penempatan tenaga kerja yang diselenggarakan pemerintah. Hal ini membawa implikasi pada rendahnya tingkat keamanan pekerja migran karena kemungkinan untuk mengalami tindakan-tindakan menyimpang dari berbagai pihak jauh lebih terbuka. Di sisi lain, pemerintah pun berada pada posisi dilematis karena secara politis harus ikut bertanggungjawab melacak dan melakukan pengendalian terhadap aktivitas “liar” migrasi yang berlangsung diluar kerangka program formal pemerintah.

Kuatnya pengaruh taikong atau calo dalam seluruh proses migrasi internasional di hampir semua wilayah kantong migrasi di Jawa maupun luar Jawa sesungguhnya didukung oleh kuatnya desakan kebutuhan dari daerah tujuan. Oleh karena itu, untuk memenuhi target kebutuhan tersebut agen-agen pengerah jasa malakukan “grilya” hingga ke wilayah-wilayah plosok untuk tujuan perekrutan tenaga kerja yang akan ditempatkan secara ilegal di daerah tujuan. Kondisi inipun sebenarnya telah berlangsung cukup lama dibawah bayang-bayang birokrasi formal pemerintah. Artinya, meskipun pemerintah melakukan program penempatan tenaga kerja ke luar negeri secara legal, tetapi dibalik “baju” legalitas formal tersebut juga dilakukan pengiriman tenaga kerja tidak berdokumen oleh kelompok kelompok agen pengerah jasa. Alasan rumitnya birokrasi migrasi kemudian menjadi salah satu alasan yang seringkali dijadikan sebagai tameng untuk melegalkan seluruh aktivitas penempatan migran tenaga kerja ke luar negeri khususnya ke wilayah selatan smenanjung Malaysia.

Terlepas dari persoalan-persoalan yang ada di sekitar proses migrasi tersebut, kenyataannya regim calo dan agen-agen pengerah jasa jauh lebih kuat dibanding pengaruh pemerintah terutama di lapisan bawah struktur pasar kerja nasional. Pemerintah sebagai agen resmi negara bahkan hampir kehilangan legitimasi untuk menyampaikan berbagai informasi penting tentang kesemptan kerja di pasar kerja internasional. Ketidakmampuan agen-agen pemerintah untuk menanamkan pengaruhnya di lapisan bawah kelompok tenaga kerja menyebabkan program-program yang dilakukan mengalami stagnasi. Dalam arti bahwa tidak terdapat kemajuan berarti di dalam implementasi kebijakan pembangunan yang dijalankan. Kondisi ini, jika dibiarkan dalam jangka waktu tidak lama, maka pemerintah akan menuai ketidakpercayaan masyarakat terhadap program-program pembangunan terutama dalam bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk melakukan antisipasi ke depan menyiapkan kualitas SDM yang dibutuhkan pasar di samping memperbaiki manajemen ketenagakerjaan khususnya berkaitan dengan antisipasi kebijakan migrasi internasional yang berpihak kepada kepentingan pekerja migran demi menjamin kepentingan nasional yang lebih besar.

Ketidakberdayaan pemerintah dalam menangani persoalan buruh migran baik di dalam negeri maupun di luar negeri terutama melalaui perwakilannya atau pun melalui lembaga-lembaga yang bertanggungjawab terhadap penempatan tenaga kerja luar negeri pada gilirannya menempatkan pekerja Indonesia pada posisi yang sulit. Di dalam negeri pemerintah tidak mampu memberikan jaminan ekonomi yang memadai karena kesempatan kerja sangat terbatas. Di lain pihak program penempatan tenaga kerja luar negeri pun umumnya tidak disertai perangkat hukum yang mampu menjamin keselamatan dan kenyamanan pekerja migran dalam melakukan aktivitasnya, seperti tercantum dalam bab III pasal 9 pada konvensi ILO yang sebenarnya telah dirativikasi oleh kebanyakan negara ASEAN. Pasal ini antara lain menegaskan perlunya memberikan jaminan perlindungan kepada pekerja dan keluarganya.

Negara-negara pengirim maupun penerima sebenarnya cukup punya dasar hukum kuat untuk memberikan proteksi kepada pekerja migran internasional yang melakukan aktivitas ekonomi di negaranya. Namun demikian kesepakatan internasional yang mencakup kewajiban negara penerima maupun negara pengirim untuk melindungi pekerja tidak dapat mengabaikan aspek-aspek sosial kultural masyarakat negara setempat. Hal inilah yang sebenarnya menjadi hambatan paling berat bagi negara pengirim untuk untuk mencoba melakukan terobosan-terobosan karena adanya perbedaan persepsi yang sulit disosialisasikan terutama dalam konteks hubunganhubungan hukum dan politis (Mantra, dkk., 2001). Akan tetapi, apapun bentuk hambatan yang dihadapi, sebagai sebuah negara yang bertanggungjawab atas nasib pekerjanya, maka sudah selayaknya pemerintah dengan berbagai upaya memberikan perlindungan maksimal tanpa melihat konteks ilegal atau legal. Jika konteks hukum tidak mampu memberikan perlindungan maka alternatif lain, seperti penekanan pada pasal-pasal kerjasama dan perjanjian bilateral pun masih mungkin dilakukan untuk mencairkan kebutnuan dialog dua negara. Dengan demikian, pekerja migran tidak diposisikan pada situasi kritis dan tidak aman dari berbagai ancaman resiko di dalam negeri dan terutama di negara tujuan migran.

Di Balik Ringgit dan Sebatan Rotan

Persoalan yang akhir-akhir ini banyak menimbulkan kontroversi terutama di Indonesia adalah persoalan hukum sebat yang dikenakan kepada para migran yang tidak mengikuti aturan keimigrasian Malaysia atau yang ijin tinggalnya habis atau yang melakukan aktivitas ekonomi diluar legalisasi hukum Malaysia. Akan tetapi, jika dilihat lebih jauh persoalan sebenarnya bukan pada hukum sebat yang diberlakukan oleh pemerintah Malaysia, tetapi lebih pada persoalan pemulangan sebagian besar tenaga kerja Indonesia. Jika persoalan hukum sebat diangkat ke permukaan, masalahnya kenapa baru muncul setelah ratusan ribu pekerja terdeportasi dari Malaysia. Kenapa pemerintah tidak melihat fenomena kekerasan baik yang dilegalkan maupun yang tidak pada periode-periode sebelumnya?

Sebuah kenyataan pahit yang ditakutkan pemerintah sebenarnya adalah kembalinya ratusan ribu pekerja ini dikawatirkan akan menjadi ancaman serius perekonomian dan sosial-politik Indonesia yang sudah terpuruk. Tambahan pengangguran ratusan ribu akan menjadi peringatan bagi Indonesia. Artinya jika pemerintah tidak segera memberikan alternatif bagi sebagian besar deportan migran, maka tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan berbagai persoalan sosial dan poltik seperti yang dialami Meksiko atau Argentina beberapa waktu lalu. Inilah yang sebenarnya menjadi titik total perdebatan, dan bukan pada substansi proses pemulangannya semata.

Kenyataan yang ada saat ini adalah bahwa tidak semua deportan migran yang dikirim dari negara tujuan kembali sampai daerah asal. Fakta menunjukkan bahwa pada setiap dua ribu deportan diketahui 500-750 deportan menghilang di perjalanan (Kopbumi, dan berbagai sumber, 2002). Ini berarti jika diakumulasi total separuh kurang lebih 600.000 deportan migran tidak kembali ke daerah asal atau menghilang dalam perjalanan. Berdasarkan fenomena ini dapat diprediksikan bahwa sebagian besar pekerja yang tidak kembali atau hilang dalam perjalanan hanya memiliki dua kemungkinan, yaitu tinggal sementara diperbatasan untuk kemudian kembali memasuki daerah tujuan atau pergi ke lokasi-lokasi lain yang diharapkan mampu memberikan alternatif ekonomi lebih baik. Jika alternatif pertama terjadi maka dapat dipastikan resiko yang dihadapi pekerja akan jauh lebih besar. Hal ini mengingat bahwa disamping resiko hukum, pekerja juga kemungkinan pekerja juga akan menghadapi resiko kemanusiaan lebih buruk berupa pemerasan atau jatuh dalam jaringan perdagangan manusia.

Berbagai fakta yang ada menunjukkan bahwa meskipun negara tujuan, Malaysia misalnya, memberlakukan hukuman pancung sekalipun migran internasional akan tetap berdatangan kecuali aktivitas pembangunan tidak dilakukan. Kenyataannya, ketika ratusan ribu pekerja migran Indonesia meninggalkan Malaysia, sektor properti dan sektor-sektor riil seperti perkebunan dan pertanian terancam stagnan atau tidak bisa beraktivitas. Oleh karena itu, mungkin dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk mendeportasi sebagian besar pekerja asing adalah sebuah arogansi sebagai akibat rasa percaya diri berl;ebihan dari pemerintah Malaysia. Namun apapun kontroversi hukum yang terjadi, kenyataan arus migrasi masuk ilegal pekerja khususnya dari kantong-kantong migran pekerja di kawasan timur Indonesia tetap berlangsung. Konflik kepentingan politik yang terjadi antara dua negara terkait seolah tidak berpengaruh pada aktivitas yang dilakukan. Inilah fakta yang terjadi dan harus dilihat secara proporsional, baik oleh pemerintah negara tujuan maupun oleh pemerintah Indonesia sendiri. Fakta bahwa ringgit itu jauh lebih manis dari resiko sebatan rotan atau 3 bulan penjara yang mungkin akan dialami oleh pekerja.

Dalam situasi sulit ini, kemudian patut pula diajukan sebuah pertanyaan kepada pemerintah adakah pemerintah telah serius memikirkan persoalan-persoalan ekonomi di lapisan bawah? Atau pernahkan pemerintah terketuk untuk menginisiasi sebuah jaminan perlindungan yang mampu melindungi rakyatnya bahkan pada lapisan paling bawah sekalipun yang berada di luar negeri? Jawabanya kembali kepada komitmen dan kemauan politik pemerintah dan parlemen, dan bukan pada pernyataan-pernyataan untuk meraih sebuah kursi jabatan.

Catatan Penutup

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membawa situasi buruh migran Indonesia dalam perdebatan yang kian rumit, akan tetapi lebih pada upaya membuka wacana untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang muncul berkaitan dengan situasi perburuhan yang kian tidak menentu. Dalam diskusi ini diharapkan akan muncul pemikiran-pemikiran alternatif yang dapat membawa nafas baru bagaimana memberikan solusi alternatif terhadap persoalan-persoalan migrasi internasional yang kian kompleks. Lebih jauh, diskusi ini diharapkan dapat menciptakan ruang lebih terbuka untuk diskusi yang lebih luas berkaitan dengan persoalan-persoalan migrasi internasional yang terus berkembang sejalan dengan perubahan-perubahan atmosfer ekonomi dan politik global. Semoga diskusi ini memberikan nafas baru bagi studi migrasi dan kependudukan pada umumnya.

Daftar Pustaka

Fong, Pang Eng. 1992. “Absorbing Temporary Foreign Workers: The Experience of Singapore” dalam Asia and Pacific Migration Journal, Vol 1(3-4) (495-510).

Haris, Abdul. 2002. Memburu Ringgit Membagi Kemiskinan, Fakta di Balik Migrasi Orang Sasak ke Malaysia. Yogyakarta Pustaka pelajar.

Hugo, Graeme. 1996. Economic Impact of International Labour Emigration on Regional and Local Development: Some Evidence from Indonesia. Paper to be Presented at annual meeting of Population Association of America, New Orlean.

---------------. 1993. “Indonesia Labour Migration to malaysia: Trend and Policy Implication” dalam South-Asian Journal of Social Science, Vol 21. No.1.

--------------. 1982. “Source pf International Migration in Indonesia: Their Potential and Limitation” dalam majalah Demografi Indonesia, no.17.

IOM. 1999. International Migration Policies and Programs. New York: Un Publication.

--------------.2000. World Migration Report 2000. New York: UN Publication.

Ismail, Abd. Ghafar dan Md. Zyadi Md. Tahir. 1998. Makro Ekonomi Malaysia, Perspektif Dasar. Bagi: Universiti Kebangsaan Malaysia Press.

Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-104 A/MEN/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri.

Mantra, Ida Bagoes, Kasto dan Yeremias T. Keban. 1999. Laporan Penelitian Migrasi Tenaga kerja Indonesia Ke Malaysia: Isu Kemanusiaan dan Masalah Kebijakan (Kasusu NTT, NTB dan Jawa Timur). Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.

---------------, Kasto dan Abdul Haris. 2001. Mobilitas Pekerja Wanita Indonesia ke Arab Saudi: Masalah Kekerasan dan Perlindungan Hukum (Kasus Cilacap-Jawa Tengah). Yoyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

Meier, Gerald M. 1995. Leading Issues in Economic Development. New York: Oxford University Press.

Nagib, Laila (ed). 2000. Laporan Studi Kebijakan Pengembangan Pengiriman Tenaga kerja Wanita ke Luar Negeri. Jakarta: PPT-LIPI.

Rivera, Mauricio M. 1992. “Social Security Protection of Migrant Workers” dalam Asia and Pacific Migration Journal, Vol 1(3-4) (511-528).

Todaro, Micahel P. 1995. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (edisi Ind.). Jakarta: Erlangga.

---------------. 2000. Economic Development. New York: New York University Press.

Zlotnik, Hania. 1992. “Emopirical Identification of International Migration System” dalam International Migration Systems, A Global Approach, Edited by Merry M. Kritz, et al. Oxford: Clarendon Press.

--------------. 1998. “International Migration 1965-1996: an Overview” dalam Population and Development Review, Vol. 24 (3) (429-468).

[1]Staf Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadajah Mada, Yogyakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun