Mohon tunggu...
Mutiara Me
Mutiara Me Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya

Belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Alasan Generasi Muda Jepang Kurang Termotivasi Belajar Bahasa Inggris

22 April 2019   03:01 Diperbarui: 23 April 2019   15:20 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: shunsukekuramochi.com

Pemerintah Jepang sedang gencar mendorong masyarakatnya terutama para generasi muda untuk bisa meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris mereka sebagai bentuk strategi persaingan global. Mereka menargetkan 50% kelulusan ujian Eiken pada siswa siswi SMP dan SMA tahun terakhir, sebelum tahun 2017. Apa itu Eiken?

Eiken adalah ujian Bahasa Inggris khusus untuk penutur Bahasa Jepang. 'Ei' berasal dari kata Eigo yang berarti Bahasa Inggris, dan 'ken' dari shiken yang berarti ujian.

Ada 7 level dalam Eiken, yaitu dari yang terendah: level 5, 4, 3, pre-2, 2, pre-1 dan 1. Level 2 Eiken setara dengan level terendah TOEFL iBT. Lihat tabel di bawah ini untuk melihat konversi skornya dengan tes Bahasa Inggris lainnya.

Tabel skor tes Bahasa Inggris. Level Eiken ditunjukkan pada kolom ketiga. (Sumber: globalcolors.jp)
Tabel skor tes Bahasa Inggris. Level Eiken ditunjukkan pada kolom ketiga. (Sumber: globalcolors.jp)
Namun, survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan Jepang Desember lalu menunjukkan kurang dari 50% siswa siswi SMP-SMA lulus tes Eiken level 3 (untuk siswa SMP) dan level Pre-2 (untuk SMA). Dengan melesetnya target 50% kelulusan ujian Bahasa Inggris ini, pemerintah akhirnya memperpanjang waktu targetnya, dari 2017 menjadi Maret 2023. 

Untuk memenuhi target tersebut, beberapa kebijakan dijalankan, seperti menjadikan Bahasa Inggris resmi menjadi mata pelajaran wajib untuk kelas 5 dan 6 di sekolah dasar di Jepang mulai April ini.

Jepang juga mendatangkan guru penutur asli Bahasa Inggris hingga 20,000 orang untuk direkrut di sekolah-sekolah bahasa sampai beberapa tahun ke depan, selain juga meningkatkan jumlah guru SD yang terlisensi mengajar Bahasa Inggris. Hal ini dikarenakan dari 343,295 guru SD full time di Jepang, hanya 5.9% atau sekitar 20,182 orang yang mempunyai lisensi mengajar Bahasa Inggris.

Apa permasalahan yang terjadi di level grassroot?

Kebetulan saya mengajar Bahasa Inggris dan persiapan Eiken anak-anak dan remaja Jepang usia sekolah, jadi sedikit mengetahui permasalahan yang terjadi di ruang kelas. Berikut ini, sedikit cuplikan untuk menggambarkan salah satu kendala di akar rumput.

"Kalau bisa Bahasa Inggris kan kamu nanti bisa dapat banyak kesempatan ke luar negeri." Ujar saya pada Aoki, remaja SMP kelas 2 saat saya mencoba menyemangati dia saat belajar Bahasa Inggris.

"Ah, aku ngga pengen kmana-mana. Aku ngga suka negara lain. Aku suka tinggal di Jepang saja." Jawab Aoki tanpa ragu. 

Inilah salah satu percakapan saya dengan Aoki dalam Bahasa Jepang, saat ia lebih sibuk dengan ponselnya. Jawaban Aoki "aku ngga pingin ke luar negeri. Aku cuma suka tinggal di Jepang." ini juga pernah diucapkan oleh Chika, Kaori dan Kouta yang merupakan siswa-siswi SMA. 

Iya, salah satu tantangan yang sering saya temui dalam mengajar Bahasa Inggris pada anak-anak Jepang adalah kurangnya motivasi mereka untuk 'keluar' dari Jepang. Pemikiran Jepang sentris masih sangat terasa di kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang.

Tidak bisa dipungkiri bahwa di sekolah dan lewat berbagai media TV dan cetak, memang sangat kental ditanamkan rasa nasionalisme, kebanggaan dan kecintaan terhadap Jepang, yang terpupuk untuk menjadi Jepang sentris. Hal ini kemudian menjadikan cara berpikir orang Jepang terhadap identitas mereka lebih eksklusif dari identitas yang 'bukan mereka' (Otherness). 

Beberapa waktu lalu contohnya, reporter NHK  sempat ditertawakan oleh reporter lain dalam konferensi pers NSF (National Science Foundation) karena memberikan pertanyaan yang dianggap memalukan, hanya ingin boasting membuktikan bahwa Jepang ikut andil dalam 'penemuan' black hole, dibandingkan bertanya esensi yang lebih ilmiah. (Bisa dibaca di sini: NHK reporter laughed at for asking black hole team for more on Japan's contributions).

Di Jepang, film berbahasa Inggris di bioskop dan di TV juga hampir selalu di-dubbing dalam Bahasa Jepang. Padahal, mendengar percakapan dalam film sangat membantu membiasakan pendengaran kita terhadap pelafalan dan intonasi. Jika selalu didubbing berarti mengurangi pengalaman mereka mendengar suara dalam bahasa asing sehari-hari (kecuali dalam beberapa acara khusus di TV dan radio  yang diinisiasi untuk belajar bahasa asing beberapa tahun belakangan). 

Selain itu beberapa peserta didik  yang sering bepergian ke-luar negeri dengan orang tuanya, bahkan tidak berkeinginan dan tidak disempatkan menggunakan Bahasa Inggrisnya di luar Jepang. 

Takeshi (kelas 1 SMP) contohnya, ia baru saja pulang pelesir ke Guam bersama orang tuanya selama seminggu. Saat saya bertanya apa ia berkesempatan mempraktekkan kemampuan Bahasa Inggrisnya, ia dengan polos menjawab:

"Nggak sama sekali. Aku pakai Bahasa Jepang."
"Lho kok bisa?" Tanya saya.
"Iya, soalnya kan keluarga kami ikut tour group. Kami selalu didampingi tour guide-nya." Lanjutnya lagi.

Orang Jepang sebenarnya lebih mudah berkesempatan keliling dunia karena paspor Jepang adalah paspor terkuat di dunia dengan akses bebas visa ke 189 negara (menurut indeks Henley & Partners, Mei tahun 2018).

Sayangnya, meskipun sering pergi ke luar negeri, mereka lebih senang berada di comfort zone mereka, melalui banyak program dari agen tur Jepang. Jadi semua kegiatan di luar negeri pun dilakukan dalam Bahasa Jepang. Maka tidak mengherankan jika motivasi untuk belajar bahasa asing dan membuka diri terhadap foreigness (keasingan) pada anak-anak dan remaja pun mejadi sangat kurang.

Akhirnya, jika anak-anak dan remaja ini sudah bilang: "Yaruki ga nai" yang artinya "tidak ada keinginan (untuk belajar)" dan "mendokusai" yaitu keluhan yang berarti "ribet", siapa pun termasuk pengajar dari Jepang juga tidak bisa berbuat banyak... karena motivasi datangnya dari dalam diri sendiri, kan. Seperti kata pepatah: "you can lead a horse to water, but you can't make it drink," (Kamu bisa membimbing kuda ke sumber air, namun kamu tidak bisa memaksanya minum). 

Ini sedikit berbeda dengan remaja di Indonesia yang lebih sering terekspos Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari dan lebih punya keinginan untuk mengeksplorasi negara lain, dengan berbagai macam alasan.

Jepang sendiri sebenarnya sudah lebih membuka diri dari masa ke masa, secara budaya, hubungan internasional dan kebijakan imigrasi. Ini termasuk membuka lebar pintu depan nya untuk pekerja asing melalui visa baru tokutei gino per 1 April ini, untuk mengatasi krisis tenaga kerja blue-collar di negeri sakura ini. 

Namun memberikan syarat standar kelulusan Eiken untuk melanjutkan jenjang pendidikan saja tidak cukup untuk membuat generasi muda Jepang berbahasa Inggris. Apalah arti belajar Bahasa Inggris, jika segala kegiatan dan pekerjaan bisa dilakukan dalam Bahasa Jepang? Untuk apa belajar Bahasa Inggris jika bahkan ke luar negeri pun bisa pakai bahasa Jepang? Bahkan public figure dan tokoh politik Jepang tidak banyak yang terlihat mencontohkan bisa berbahasa Inggris. 

Lingkungan yang kondusif yang dapat membuat peserta didik lebih bisa menemukan 'makna' dan yaruki (keinginan) dalam belajar bahasa asing, dibandingkan hanya memenuhi standar nilai saja.

Mutiara Me 

  • Semua nama di tulisan ini pseudonym.
  • Sumber: 1, 2, 3 dan pengalaman pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun