Mohon tunggu...
Markus Budiraharjo
Markus Budiraharjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mengajar di Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sejak 1999.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apa Artinya Menjadi Guru yang Reflektif?

29 November 2011   19:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:02 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ibu Anik, seorang guru veteran yang telah lebih 15 tahun mengajar di Sekolah Dasar kelas rendah, merasa perlu untuk mengungkapkan kekecewaan di depan para muridnya. Hari itu ujian Ilmu Pengetahuan Sosial. Sudah jauh-jauh hari sebelumnya, Ibu Anik sudah memberikan catatan-catatan mana saja yang perlu dihafalkan. "Kepala rumah tangga adalah ibu. Kepala keluarga adalah ayah." Sudah berulang kali pernyataan itu diingatkan. Tetap saja banyak dari para siswanya yang membuat kesalahan di dalam tes akhir semester.

Ibu Anik merasa pantas untuk kecewa, tidak hanya pada para siswanya, tetapi juga kepada orang-orang tua para siswanya tersebut. Dia menyayangkan lemahnya kemandirian belajar di dalam diri anak. Dia juga melihat adanya kesenjangan yang besar di rumah: minimnya dukungan dari orang tua terhadap proses belajar di rumah. Sebagai seorang guru, dia bisa dikatakan cukup eksentrik karena senantiasa menunjukkan antusiasme yang tiada bandingnya di dalam mengajar di kelas. Semangat untuk mengajar selalu tinggi. Harapan bahwa para muridnya akan mendapatkan nilai-nilai yang bagus pun juga tinggi. Pengalaman bertahun-tahun mengajar telah memberinya pemahaman yang cukup akan model-model tes, dan tentu saja: materi apa saja yang akan keluar. Bukan hal yang terlalu berlebihan jika kemudian dia akan memberi sejumlah "clues" (kira-kira apa saja yang akan keluar dalam tes). Sekali lagi, sang guru ini mendesah dengan nada yang berat: perjuangan untuk "memberikan terbaik" kadang dirasakan terlalu berat. Rasa kecewa karena merasa harus berjuang sendirian begitu membuncah mengisi isi dadanya.

Dari mana datangnya kekecewaan itu?

Profesi guru memiliki kekhasan yang unik. Keberhasilan dalam layanan dari jenis-jenis profesi yang lain ditentukan oleh kesejahteraan dan/atau kesehatan dari sang klien. Seorang pengacara dikatakan berhasil bila mampu membebaskan kliennya dari tuntutan pidana/perdata. Seorang akuntan dikatakan berhasil bila mampu membebaskan sang klien dari jeratan hukum terkait dengan urusan perpajakan. Seorang dokter dikatakan berhasil bila pasiennya sehat sesudah berobat kepadanya. Bagaimana dengan seorang guru? Pertama, tingkat keberhasilan di dalam bidang pendidikan sulit diukur dalam parameter yang "sesederhana" urusan-urusan teknis seperti dalam akuntansi, atau kesehatan dan kesejahteraan klien. Keberhasilan pendidikan sendiri bermakna jangka panjang. Hubungan kausalitas linear tidak akan pernah mampu diperoleh dalam kinerja guru. Artinya, guru yang dikenal berdisiplin tinggi, "dibenci" oleh para siswanya, dan dikenal tidak berkompromi mengenai hal-hal yang menyangkut integritas (misalnya menyontek), biasanya justru akan mendapatkan penilaian jelek di akhir semester/tahun ajaran. Namun, yang menarik, tidak sedikit dari para siswanya ini - setelah bertahun-tahun kemudian - baru menyadari makna sikap kerasnya itu. Ungkapan semacam ini pun kerap terdengar: "untunglah, saya pernah bertemu dengan Bapak A yang keras itu. Soalnya, dari beliaulah akhirnya saya memiliki persiapan untuk menjadi pribadi yang tahan banting!"

Kedua, keberhasilan di dalam bidang pendidikan tidak pernah disebabkan oleh satu pengalaman pembelajaran di kelas. Anak datang ke kelas dengan membawa pengetahuan dasar mengenai bagaimana sebaiknya membangun relasi dengan orang lain. Keyakinan dasar tentang apa yang baik, yang buruk, yang harus diperjuangkan, yang harus dihindari, telah terbentuk di dalam pola relasi anak itu dengan orang tuanya, dengan lingkungannya. Adalah wajar adanya bila guru sendiri sebenarnya tidak memiliki keleluasaan untuk "begitu berpengaruh." Anak-anak didiknya selalu dihadapkan pada berbagai macam cara pandang yang saling tarik-menarik, dan acap kali justru berseberangan dengan apa yang diharapkan dari sang guru.

Saya melihat bahwa Ibu Anik ini mengalami masa-masa yang berat, lebih karena tampaknya guru ini melupakan dua aspek mendasar yang menjadi warna pokok dari profesi pengajaran ini. Ibu Anik ini seakan-akan merasa diri paling bertanggung jawab untuk bisa mengubah kehidupan para siswanya, dan juga sekaligus orang tua anak-anak itu. Berbagai catatan hafalan yang dia yakini akan keluar dalam tes telah disampaikan. Tentu tidak salah mengharapkan para orang tua untuk jauh lebih berkontribusi dan bertanggung jawab dengan perkembangan anak-anak mereka. Namun terlalu naif kalau akhirnya Bu Anik ini mati-matian mendesakkan keterlibatan itu - karena hal ini memberikan kesan yang kontraproduktif bagi para orang tua. Orang tua mana yang tidak mendongkol karena dinilai tidak bertanggung jawab kepada anaknya?

Hal lain yang saya anggap bermasalah dalam diri Ibu Anik adalah "teori pembelajaran" yang dia yakini. Secara spesifik, dia melupakan arti penting dari  peribahasa China ini: "tell me and I'll forget'; show me and I may remember; involve me and I'll understand." Belajar sesungguhnya jauh lebih dalam dari sekedar menghafalkan dan kemudian "memuntahkannya" kembali dalam tes. Saya sendiri begitu tercengang-cengang dengan cara anak saya memperhatikan seekor bunglon sepulang anak dari sekolah hari kemarin. Ada seekor bunglon yang berada di sapu lidi dekat jemuran. Bunglon ini ini pernah menjadi bahan studi bersama dengan anak (via baca wikipedia). Saya sudah menjelaskan konsep pigmen warna kulit yang membuat bunglon ini berubah warna sesuai dengan permukaan benda dia berada. Anak pun sudah memahami apa itu mimicry sebagai mekanisme pertahanan diri.  Namun, yang saya herankan, dia sudah lupa sama sekali penjelasan ilmiah yang pernah kami perbincangkan di dalam chatting kami.

Apakah saya merasa perlu untuk marah-marah? Kenapa dia lupa dengan apa yang kami perbincangkan dulu? Saya mencoba merasakan apa yang diprihatinkan oleh Ibu Anik. Namun, saya akhirnya mengambil jalan lain. Saya akhirnya sampai pada satu kesimpulan: ternyata pengetahuan yang diperoleh sebagai informasi intelektual saja tidak cukup. Belajar dari internet, menguasai informasi detail, dan mengingat-ingat informasi itu saja ternyata tidak cukup. Saya pun akhirnya menjelaskan kembali konsep mimicry itu. Sesudah bunglon itu pindah ke mantol yang berwarna coklat kehijau-hijauan, dan warna kulitnya yang hijau pun berubah warna sesuai dengan warna mantol itu, anak saya pun mulai mengangguk-angguk. Saya harap,  pengalaman belajar dari proses mengamati macam ini akan jauh lebih bermakna dari sekedar hafalan yang dicatatkan oleh orang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun