Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Polemik Baju Lebaran dan Runtuhnya Makna Ramadhan

16 April 2022   05:26 Diperbarui: 16 April 2022   05:29 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ahmad Ardhity, Image from Pixabay

Polemik Baju Lebaran dan Runtuhnya Makna Ramadhan

Lebaran merupakan garis akhir dari puasa Ramadhan yang selama ini kita jalankan, dan seperti acara-acara pada umumnya, lebaran menjadi perayaan yang meriah, kita disuguhkan beraneka makanan dan minuman, kita pun menggunakan pakaian-pakaian yang beragam.

Namun anehnya entah mengapa setiap lebaran tiba, kita selalu memaksakan untuk memiliki baju baru, pakaian baru, entah untuk terlihat modis atau ingin terlihat kaya oleh orang lain.

Sedari dulu saya memang tidak pernah mengerti fashion, bahkan ketika saya masih kecil saya tidak pernah mengerti mengapa orang menggunakan baju baru setiap lebaran. Rasanya aneh, namun ketika saya mulai dewasa saya semakin menyadari suatu hal; Lebaran bukanlah lagi sebagai simbol kemenangan, namun tradisi pamer-pameran pakaian.

Saya semakin kaget ketika saya pernah menanyakan hal ini pada keluarga saya "Kenapa kita harus menggunakan baju baru saat lebaran?" dan jawaban yang saya dapatkan sungguh menggelikan; "Karena menggunakan baju baru saat lebaran adalah sebuah keharusan"

Ini mengerikan, sungguh mengerikan. Saya tidak pernah mempermasalahkan pakaian yang kita gunakan saat lebaran, saya tidak peduli itu baju baru atau tidak, yang saya pedulikan adalah makna Ramadhan yang hilang akibat pakaian baru yang kita kenakan.

Dalam sejarahnya Ramadhan diartikan sebagai ajang kita untuk menahan diri sekuat-kuatnya dari berperilaku maksiat dan bersifat duniawi, tidak hanya menahan haus dan lapar melainkan juga menahan dari hal-hal yang mengundang syahwat.

Kita pada momen ini laksana ulat yang berpuasa selama 40 hari, menahan lapar dan dahaga dalam bentuk kepompong sampai kemudian menjelma kupu-kupu pada akhirnya.  

Namun ketika saya melihat tradisi lebaran yang semakin lama semakin menyimpang, saya ragu bahwasanya kita seperti kupu-kupu yang awalnya jelek menjadi bagus, malah saya takut kalau ternyata Ramadhan kita hancur karenanya.

Saya tidak pernah tahu kapan baju lebaran menjadi tolak ukur suatu keberhasilan bulan Ramadhan. Namun jikalau kita menalar polemik ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwasanya teori ini sesuai dengan teori Dale Carnegie yang mengatakan bahwasanya manusia membutuhkan perhatian dan pujian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun