Mohon tunggu...
MHari Subarkah
MHari Subarkah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Hujan (Meleset) di Bulan Juli

26 Juli 2017   14:37 Diperbarui: 29 Juli 2017   14:01 1417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani melintas di Desa Purwodadi, Tepus, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, yang sebagian wilayahnya mengalami kekeringan saat kemarau, Senin (219). KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pierre Eugene Marcellin Berthelot pada 1891 mulai meneliti penyebab bau segar pasca hujan di musim kemarau, atau awal musim hujan. Baru pada tahun 1964, Israel Bear dan RG Thomas mengetahuinya setelah berhasil mengekstrak tanah liat, dan menemukan cairan kekuningan, serupa minyak. 

Setahun kemudian, 1965, strukturnya kimia minyaknya dinamakan Geosmin oleh ahli kimia lainnya, Nancy Gerber. Cairan itu sendiri berasal dari banyak tumbuhan yang berfungsi melapisi bunga/buah pada tumbuhan agar tidak terjatuh ke tanah, saat belum basah sempurna. Setelah beberapa kali terkena hujan, minyak pelicin akan terkikis, tapi tanah sudah cukup lembab untuk siap menerima biji baru.

Tahun 1989, Sapardi Djoko Damono menulis puisi Hujan Bulan Juni. Dasar sastrawan, kata-katanya justru memunculkan sisi perenungan yang multi interpretasi dan multi jenius. Susunan kata-kata sederhana untuk menggambarkan fenomena hujan yang turun tidak pada masanya. Hujan yang tidak pada jadwalnya. Waktu yang seharusnya menjadi puncak musim kemarau, saat tanah-tanah kering, retak dan menumbuhkan sebanyak-banyaknya spora dari bakteri di lapisan pertama tanah. Udan nyalahi mangsa.

Fase pertama masa reformasi awal tahun 2000-an, industri yang tadinya sudah 2 dekade muncul di Indonesia, semakin banyak tumbuh bak nyamuk di musim kering. Ada dimana-mana, mulai menjangkiti banyak orang untuk meraih sukses ekonomi, menciptakan peluang investasi dan ekstraksi sumber daya alam besar-besaran. Indonesia yang tadinya disebut paru-paru dunia mulai terjangkiti bronchitis, TBC, hingga kanker sekaligus. 

Akhir bulan Juli 2017, sudah lebih 3 hari terjadi hujan setiap sore atau malam di seputar Jabodetabek. Melembabkan malam yang siang harinya terik menyengat. Membuat anak-anak lebih tenang beristirahat setelah seharian kepanasan di ruang sekolah tanpa AC atau sore hari bermain sekitar rumah. Tanah kembali basah meskipun belum juga menebarkan aroma tanah bercampur geosmin.

Dan setidaknya dalam 3 tahun terakhir, atau bisa jadi lebih, Indonesia berkali-kali kedatangan hujan yang tidak terprediksi, datang kapan saja tanpa penanda waktu seperti bertahun-tahun lalu. Tak lagi pada waktu tertentu, dimana sebelumnya gampang dititeni setiap 6 bulan sekali. Ora urus mangsa.


Perubahan periodisasi waktu hujan-kemarau tentunya sangat berpengaruh pada banyak hal. Petani menentukan waktu tanam dan jenisnya, jadwal penjual es mengeluarkan menu baru, jadwal kerja bakti pembersihan saluran air, monyet kawin dan beranak pinak, tumbuhan berbunga atau meranggas, hingga jadwal kelon pasutri yang puncak mood-nya dipengaruhi panas-dingin udara di dalam rumah.

Sungguh periodisasi iklim dan cuaca yang telah banyak berbeda dibanding dekade lalu atau sebelumnya!

Dan perubahan iklim dan cuaca dipengaruhi oleh 2 hal; perubahan lingkungan dan konsumsi barang berlebihan yang menghasilkan polusi. Perubahan lingkungan hutan, kebun, sawah, danau, sungai, laut, dan masih banyak lainnya. Semua lingkungan alami, yang lalu berubah menjadi lingkungan buatan manusia. Sementara penggunaan atau konsumsi barang yang menghasilkan polutan; sebut saja BBM, AC, batubara, hingga konsumsi daging sapi penghasil metana, terus saja bertambah. Belum ada tanda sekecil apapun untuk berkurang. Semua untuk memenuhi kebutuhan, sekaligus memuaskan keinginan.

Pada masa ketika periodisasi iklim dan cuaca hujan-kemarau mudah diprediksi, di Jawa muncul istilah aja nggege mangsa. Ujaran yang sejatinya mengacu pada periode waktu tertentu atas iklim dan cuaca. Waktu yang sebelumnya telah ada perhitungan tersendiri atas berbagai keperluan. Musim kering adalah waktunya menanam palawija, musim hujan waktunya menanam padi. Jangan justru sebaliknya. 

Jangan pula memaksakannya, puncak musim hujan menanam padi, yang berakibat bibitnya terendam. Atau puncak musim kering baru mulai menanam palawija, yang kemungkinan tidak tersuplai cukup air pada bibit. Dan seterusnya. Idiom yang selanjutnya berkembang sebagai penunjuk perilaku lainnya agar sesuai. Jangan memaksakan kehendak pergi malam hari bila tidak ada penerangan cukup, bersabarlah dulu. Jangan dulu berfoya-foya bila penghasilan belum cukup, menabunglah dulu. Jangan memaksakan kehendak ingin menduduki jabatan tinggi bila pengalaman dan pengetahuannya belum cukup, syukuri dan belajarlah terus. Dan masih banyak lainnya.

Aja nggege mangsa, jangan memaksakan keinginan kalau belum waktunya!

Perubahan iklim dan cuaca perlahan-lahan dimulai seabad lalu. Dan dalam setengah abad terakhir, perubahan menjadi semakin cepat. Banyak ilmuwan tersebar seantero jagat merilis hasil penelitiannya tentang terjadinya fenomena iklim dan cuaca, yang dipicu oleh menumpuknya polutan perusak lapisan atmosfir yang tipis.

Atmosfer yang terdiri dari karbon, oksigen, argon, nitrogen, dan beberapa unsur kimia yang sebenarnya juga merupakan polutan, dalam kadar yang cukup. Lapisan yang membuat bumi menjadi planet hangat. Cukup hangat untuk menumbuhkan pohon, cukup menjaga kondisi tubuh manusia dan hewan, cukup untuk menjaga kelembaban permukaan bumi dan tanah, cukup untuk menjadi bumi yang nyaman ditinggali manusia, cukup untuk membuat semuanya baik-baik saja.

Manakala polutan terlalu banyak, unsurnya semakin beragam, atmosfer tipis mudah rusak. Berlobang kemudian memudahkan sinar ultraviolet masuk ke bumi. Menumpuk polusi terlalu banyak lalu memerangkap panas dari sinar ultraviolet yang sudah terlanjur masuk ke bumi. Layaknya ruangan kaca, panas mudah masuk, tapi sulit keluar.

Ruangan jadi semakin hangat, semakin hangat, agak panas, lalu panas. Bisa jadi beberapa waktu ke depan akan panas sekali. Panas yang sulit lagi ditoleransi makhluk hidup; tak peduli tumbuhan, hewan, dan manusia. Panas yang mengeringkan tanah, panas yang melelehkan es di kutub utara-selatan, panas yang menguapkan air laut dan panas yang merubah arah dan kecepatan angin.

Para ahli iklim dan cuaca bilang, hujan "nggege mangsa" pemicu awalnya adalah udara yang semakin panas. Panas yang dulunya ditahan oleh kumpulan tumbuhan, oleh hutan, oleh lautan, kini mereka tidak lagi bisa, bahkan sekedar sejenak. Kumpulan pohon itu telah ditebang, merubah hutan. Dan lautan, mulai tidak mampu menumbuhkan plankton dan jasad renik lainnya karena terbunuh oleh kotoran, sampah, polusi, dan tentu saja panas. Maka panas terjadi di mana-mana. Di desa, di kota, di laut, di atas gunung, sampai di pucuk dan pangkal bumi utara-selatan.

Panas yang menyengat memaksa air naik ke udara, membentuk awan. Panas yang menyengat itu pula yang membentuk angin menerbangkan awan kemana-mana. Dan panas pula yang merubah arah atau mempercepat angin. Senyatanya pula, langit di atas sana memiliki keterbatasan menampung air yang terkumpul, menerbangkannya ke arah mana panas mempengaruhi, lalu menurunkannya ke bumi sebagai hujan, di mana mungkin. Di laut, di pinggir sungai, ditengah danau, di antara pemukiman, di atas kepala kita semua. Turun sebagai udan salah mangsa.

Perubahan iklim dan cuaca memang tidak terjadi sejenak. Apalagi untuk ukuran bumi yang sedemikian besar. Bila hanya terjadi di salah satu tempat, tidak luas, dampaknya masih bisa dinetralisir oleh bagian bumi lain, dalam waktu singkat. Bila terjadi di semakin banyak tempat, maka penormalan kembali butuh usaha lebih besar, dan waktu lebih panjang. Lalu saat perubahan terjadi di mana-mana, pada semua faktor pemicu, maka semua orang terdampak. Tak peduli kaya, miskin, tua, muda, laki-laki, wanita, pintar, bodoh, semua terdampak. Petani, peternak, nelayan, guru, murid, PNS, presiden, polisi, termasuk ahli iklim dan cuaca sekalipun.

Pertanyaannya;

Bisakah cuaca dan iklim pulih kembali?
Mungkinkah panas dikurangi?
Mungkinkah hujan tidak lagi nggege mangsa?

Pertanyaan berikutnya masih tetap sama;
Seberapa cepatkah pemulihan bisa terjadi?
Jawabannya, tidak ada yang tahu.

Biarlah sementara kita bisa bilang, prediksi hujan oleh Sapardi sedikit meleset.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun