Analisis Komprehensif Konflik VitaGlow: Brand, Influencer, dan Masyarakat
Berdasarkan hasil diskusi kelompok terpumpun (FGD), konflik antara brand VitaGlow, influencer Rhea, dan masyarakat menunjukkan adanya kesenjangan komunikasi dan pemahaman yang mendalam. Konflik ini tidak hanya sekadar masalah produk yang tidak cocok, tetapi juga menyoroti kompleksitas etika, tanggung jawab, dan ekspektasi di era pemasaran digital. Masing-masing pihak memiliki alasan yang kuat, namun gagal melihat gambaran besar dan dampak yang ditimbulkan pada pihak lain.
_____
Sudut Pandang Brand: Berpegang pada Prosedur dan Kontrak Formal
Pihak brand VitaGlow mengambil posisi yang sangat defensif dan berorientasi pada prosedur. Mereka menekankan bahwa produk VitaGlow telah melewati uji kelayakan dan dianggap aman. Menurut mereka, ketidakcocokan yang dialami oleh Rhea adalah hal yang wajar karena setiap individu memiliki sensitivitas atau alergi yang berbeda. Argumentasi ini sering kali digunakan oleh perusahaan untuk mengalihkan tanggung jawab dari kualitas produk secara universal ke kondisi unik konsumen.
Brand juga merasa telah memberikan sample produk kepada Rhea untuk dicoba sebelum kontrak ditandatangani. Dari sudut pandang mereka, jika ada masalah, seharusnya sudah dikomunikasikan sejak awal. Keputusan Rhea untuk tetap melanjutkan promosi, meskipun produknya tidak cocok, dianggap sebagai persetujuan diam-diam. Oleh karena itu, brand merasa tanggung jawab atas kekecewaan publik tidak sepenuhnya ada pada mereka. Mereka berpegang pada kontrak formal sebagai dasar argumen, mengabaikan aspek moral dan etika yang mungkin lebih diperhatikan oleh konsumen.
_____
Sudut Pandang Influencer: Terjebak antara Profesionalisme dan Kejujuran
Rhea, sebagai influencer, berada di posisi yang sangat sulit. Ia terikat oleh kontrak yang mengikat dan tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Pilihan untuk tetap melanjutkan promosi, meskipun produk tidak cocok, adalah keputusan yang diambil untuk menunjukkan profesionalisme dan menghindari konsekuensi hukum atau finansial dari pelanggaran kontrak.
Namun, di sisi lain, Rhea juga merasakan tekanan dari publik yang menuntut kejujuran. Ia mencoba bersikap jujur dalam ulasannya dengan mengakui bahwa tidak semua produk cocok untuk semua orang. Hal ini menunjukkan usahanya untuk menjembatani jurang antara kewajiban kontrak dan tanggung jawab moralnya kepada pengikutnya. Sayangnya, tindakan ini justru dilihat oleh masyarakat sebagai setengah hati dan tidak bertanggung jawab penuh. Saran Rhea kepada publik untuk lebih bijak dalam memilih produk justru dianggap sebagai pengalihan tanggung jawab, bukan sebagai edukasi.