Mohon tunggu...
May Seila Ayu
May Seila Ayu Mohon Tunggu... Mahasiswi

Mahasiswi Bisnis Digital Universitas Negeri Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Etika Sosial Influencer dalam Menangkal Hoaks dan Disinformasi Berdasarkan Nilai Kebenaran Pancasila

20 Oktober 2025   13:00 Diperbarui: 20 Oktober 2025   12:41 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perkembangan teknologi dan kemajuan internet telah mengubah cara masyarakat Indonesia dalam mengakses informasi dan berkomunikasi. Media sosial kini menjadi salah satu platform utama yang dimanfaatkan oleh jutaan orang untuk berbagi pandangan, cerita, dan berita. Dalam konteks ini, influencer muncul sebagai sosok yang memiliki daya tarik dan pengaruh besar terhadap pengikutnya. Namun, kemudahan ini juga membawa risiko besar, yaitu penyebaran hoaks dan disinformasi yang dapat merusak tatanan sosial dan persatuan bangsa. Oleh karena itu, etika sosial influencer dalam menanggulangi hoaks dan disinformasi sangatlah penting dan harus berlandaskan nilai kebenaran yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar moral dan norma sosial Indonesia. Nilai kebenaran dalam Pancasila bukan hanya berfungsi sebagai pedoman bagi negara, tetapi juga sebagai pembentuk karakter bagi setiap warga negara, termasuk influencer. Sebagai figur publik yang memiliki peran penting dalam membentuk opini masyarakat, influencer memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memastikan bahwa informasi yang mereka sampaikan adalah benar dan tidak menyesatkan. Dalam menghadapi tantangan hoaks, peran ini menjadi lebih krusial karena informasi yang keliru dapat menimbulkan dampak sosial, politik, bahkan ekonomi yang merugikan banyak pihak. 

Nilai kebenaran dalam Pancasila mengajarkan kita untuk selalu menghargai fakta dan menjunjung tinggi kejujuran dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat relevan bagi para influencer yang sering menjadi rujukan bagi pengikutnya. Ketika seorang influencer menyebarkan informasi yang belum diverifikasi atau bahkan dengan sengaja menyebarkan berita palsu, konsekuensinya bisa sangat serius. Hoaks yang beredar dapat menimbulkan ketegangan antar kelompok masyarakat, mengganggu keamanan dan ketertiban, serta menimbulkan kebingungan dan rasa tidak percaya terhadap media dan institusi resmi. Etika sosial menuntut influencer untuk bertindak lebih bijak dan bertanggung jawab. Mereka harus mampu menyaring setiap informasi yang akan dibagikan agar sejalan dengan nilai kejujuran dan integritas. Verifikasi fakta menjadi langkah penting yang wajib dilakukan influencer agar tidak terlibat dalam penyebaran hoaks. Influencer yang paham akan nilai keadilan sosial dalam Pancasila juga akan merasa berkewajiban untuk segera meluruskan informasi yang salah atau menyesatkan dengan memberikan klarifikasi dan edukasi kepada pengikutnya. Selain itu, influencer memiliki peran strategis sebagai agen perubahan sosial yang dapat mendidik masyarakat tentang pentingnya memeriksa fakta dan mengenali ciri-ciri informasi palsu. Dengan memanfaatkan platform digital yang mereka miliki, influencer dapat berkontribusi dalam meningkatkan kesadaran publik agar lebih kritis dan tidak mudah terprovokasi oleh berita bohong. Ini sejalan dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Pancasila, di mana setiap individu berhak mendapatkan informasi yang benar dan perlakuan yang adil dalam kehidupan sosial. Sayangnya, tidak semua influencer memegang prinsip etika ini dengan teguh. Banyak di antara mereka yang terjebak dalam praktik clickbait, sensationalisme, atau bahkan bekerja sama dengan pihak-pihak yang menyebarkan informasi tidak akurat demi keuntungan popularitas dan materi. Kondisi ini menjadi dilema tersendiri dalam dunia digital, di mana tekanan untuk mempertahankan engagement sangat besar. Namun, jauh di balik itu, para influencer yang sadar akan tanggung jawab sosialnya harus tetap mengedepankan nilai moral dan hukum, yang juga diatur dalam undang-undang terkait penyebaran hoaks di Indonesia. Penyebaran informasi palsu sudah merupakan tindakan ilegal yang dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan UU ITE dan peraturan terkait. Dalam konteks dunia bisnis digital, influencer juga menghadapi tantangan besar untuk menjaga etika agar tidak terjebak dalam praktik yang merugikan konsumen maupun masyarakat luas. Berlandaskan nilai-nilai Pancasila, terutama keadilan sosial dan persatuan, influencer didorong untuk menjalankan praktik bisnis yang transparan dan tidak menipu. Misalnya, dalam endorsement produk, mereka harus memberikan informasi yang jelas, jujur, dan tidak menyesatkan calon pembeli. Sikap integritas ini tidak hanya membangun kepercayaan jangka panjang dengan pengikut, tetapi juga menciptakan ekosistem bisnis digital yang sehat dan berkelanjutan. Seiring dengan perkembangan teknologi, influencer juga harus mampu beradaptasi dengan regulasi dan norma sosial yang dinamis. Mereka perlu aktif berpartisipasi dalam diskusi dan pelatihan mengenai etika digital dan literasi media. Dengan demikian, influencer dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam menyaring dan menyebarkan informasi yang benar dan bermanfaat. Hal ini tidak hanya membangun reputasi positif influencer, tetapi juga memperkuat kesadaran kolektif sebagai bagian dari bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Tak kalah penting, influencer harus memahami bahwa etika sosial dan tanggung jawab yang mereka jalankan adalah bagian dari upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Media sosial sering kali menjadi medan pertempuran opini yang tajam dan berpotensi memecah belah masyarakat. Melalui kejujuran dan penyampaian informasi yang bertanggung jawab, influencer dapat menjadi jembatan penghubung yang menyatukan, bukan memecah, Indonesia yang beragam. Ini adalah bentuk nyata implementasi nilai persatuan dalam Pancasila yang harus dijunjung tinggi.

Secara keseluruhan, etika sosial influencer dalam menanggulangi hoaks dan disinformasi menjadi sangat penting di era digital saat ini. Influencer sebagai figur publik harus berpegang teguh pada nilai kebenaran yang merupakan salah satu pilar moral Pancasila. Tanggung jawab ini mencakup perilaku jujur, selektif dalam memilih konten, aktif meluruskan informasi yang salah, serta berperan sebagai agen edukasi sosial yang menginspirasi masyarakat untuk lebih kritis dan rasional. Selain itu, kepatuhan terhadap hukum dan menjalankan bisnis digital secara etis juga menjadi bagian tak terpisahkan dari peran ini. Dengan mengedepankan nilai-nilai Pancasila, influencer dapat memberikan kontribusi dalam menciptakan lingkungan digital yang sehat, aman, dan penuh integritas. Hal ini tidak hanya membantu menjaga martabat bangsa Indonesia tetapi juga memenuhi harapan masyarakat akan informasi yang dapat dipercaya dan berkualitas. Pada akhirnya, influencer yang bertanggung jawab adalah kunci untuk membangun masyarakat digital Indonesia yang lebih beretika, beradab, dan bersatu, sesuai dengan cita-cita luhur Pancasila sebagai dasar negara dan moral bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun