Mohon tunggu...
Maya Puspitasari
Maya Puspitasari Mohon Tunggu... Dosen - Profil

Ibu dari dua orang anak, pegiat homeschooling, penyuka film, penikmat musik dan pemerhati pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Puzzle" Dunia Pendidikan Indonesia

6 Maret 2018   18:45 Diperbarui: 6 Maret 2018   18:51 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Libur tlah tiba...
Libur tlah tiba...
Hore...hore...hore...

Penggalan lagu yang dinyanyikan oleh Tasya mungkin menjadi pertanda bahwa sebagian besar masyarakat khususnya usia sekolah sangat bergembira ketika liburan sekolah tiba. Beban pelajaran yang berat, ditambah dengan pekerjaan rumah yang menumpuk bisa jadi salah satu faktor yang menyebabkan sebagian siswa tidak menganggap belajar terutama di sekolah itu sebagai hal yang menyenangkan. 

Bagaimana tidak, 24 jam yang ia miliki setiap hari bisa jadi digunakan sebagian besar untuk 'sekolah'. Umumnya dari Senin dan Jumat, hari-hari mereka diawali dan diakhiri dengan urusan sekolah. Belum lagi bila ditambah dengan ekstrakurikuler, bimbingan belajar, sekolah agama, kerja kelompok, mengerjakan PR dan kegiatan lainnya. Bahkan pernah ada usulan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy untuk menerapkan full day school di tiap-tiap sekolah di Indonesia.

Bisa dibayangkan betapa sekolah itu bak buah simalakama. Tidak sekolah, berabe; karena tidak dapat dipungkiri ijazah yang dimiliki masih menjadi kunci pembuka gerbang masa depan. Bagaimana tidak? Jika kita ingin melamar pekerjaan, hal wajib yang harus kita miliki adalah ijazah sekolah. Seiring dengan dunia perekonomian yang semakin kompetitif, ijazah yang harus dimiliki oleh pelamar setidaknya adalah ijazah SMA. Belum lagi jika ditambah dengan tuntutan untuk mendapat nilai tertentu ketika ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.

Tapi jika sekolah, seluruh waktu, tenaga dan pikiran para siswa hanya tertuju pada kurang lebih 12 mata pelajaran yang mereka pikir belum tentu berguna untuk masa depan mereka. Belum lagi ditambah beban psikologis yang mungkin mereka hadapi. Para orangtua masih ada yang menganggap kualitas anak-anaknya bergantung pada angka-angka yang tertera pada buku raport. Semakin tinggi angka yang diraih anak, maka semakin banggalah para orangtua. Lalu bagaimana nasib anak yang buku raportnya dihiasi dengan warna merah? Umpatan bodoh, anak tak berguna, aib keluarga mungkin tersanding di depannya. 

Maka jangan heran jika banyak anak yang mau menghalalkan segala cara termasuk mencontek demi membuat orangtuanya 'bangga'. Mau tidak mau paradigma berpikir anak diarahkan untuk memperoleh nilai tinggi dengan mengabaikan nilai kejujuran. Dan lebih parahnya ketidakjujuran ini dilakukan juga oleh sebagian guru, kepala sekolah dan orangtua demi meraih ambisinya. 

Sering berita menghiasi media yang kita baca atau tonton memberitakan ada guru yang memilih jalan pintas dengan membeli ijazah, agar ia bisa mengajukan sertifikasi. Atau di lain waktu kita membaca wakil kepala sekolah yang tertangkap tangan menerima pungli di sekolahnya. Atau kita mendengar kabar ada orangtua yang memberikan sogokan pada satu sekolah favorit, agar anaknya bisa masuk ke sekolah tersebut.

Di saat kondisi pendidikan Indonesia masih dianggap belum memiliki kualitas yang baik, banyak pihak yang ingin melakukan perubahan dan perbaikan. Mencontoh negara yang dianggap sukses dalam meningkatkan sistem pendidikan bisa menjadi suatu hal yang direkomendasikan. 

Akhir-akhir ini publik mungkin tertarik dengan sistem pendidikan yang diterapkan di Finlandia. Secara mengejutkan, Finlandia mampu bangkit dari keterpurukan yang dihadapi dan dalam kurun waktu tidak begitu lama menduduki peringkat atas dalam kualitas pendidikannya. Tidak adanya ujian nasional bagi siswanya hingga ia menginjak usia 17-19 tahun menjadi salahsatu daya tarik untuk diadopsinya sistem tersebut ke sistem pendidikan di Indonesia. Tentu program ini seperti angin segar bagi para siswa di Indonesia yang harus mengikuti setidaknya tiga kali ujian nasional dalam jenjang pendidikannya.

Namun sebelum kita buru-buru memutuskan untuk menerapkan, alangkah baiknya kita memperhatikan lima hal berikut. Pertama, class size. Di Eropa, setiap kelas idealnya diisi oleh sekitar 25 siswa. Teknis belajarnya pun memakai sistem moving class dimana setiap guru mata pelajaran memiliki kelas masing-masing. Sementara di Indonesia bahkan terdapat kelas yang isinya 50 siswa dan guru lah yang mendatangi siswa; jadi setidaknya dalam satu tahun para siswa akan menempati ruang kelas yang sama. Ketimpangan ini bisa menyebabkan sulitnya guru dalam memaksimalkan potensi setiap siswa karena keterbatasan waktu yang dimiliki.

Sebenarnya fenomena ini bisa diselesaikan jika terdapat keseimbangan jumlah guru di setiap pelosok di Indonesia. Nyatanya yang terjadi adalah penumpukan jumlah guru di satu daerah dan langkanya guru di daerah yang lain. Belum lagi ditambah dengan tidak adanya kejelasan jumlah guru honorer yang terdapat di Indonesia mengingat pihak sekolah berkewenangan penuh untuk merekrut guru honorer yang dibutuhkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun