Pada awal-awal merebaknya pandemi Covid-19, banyak masyarakat (dunia) dibuat panik karenanya. Jangankan kehidupan perekonomian berskala besar (nasional), kelompok ekonomi kelas bawahpun dibuat panik dan pastinya kalang kabut. Salah satu contohnya : pedagang ketan-tiwul. Â
Dulu, ketika belum terjadi pandemi yang namanya pedagang ketan-tiwul ini hampir tiap pagi terlihat wara-wiri keluar masuk gang-gang di perumahan kami. Semenjak pandemi merebak, sang penjualpun nyaris tak terlihat lagi batang hidungnya. Â
Saya sampai kangen dengan bunyi rekaman suara penjual ketan-tiwul langganan kami tersebut.Â
Beli 5 ribu rupiah sudah dapat sepiring makanan tradisional yang terdiri dari : ketan lengkap dengan bubuk kedelainya dan parutan kelapa ditambah gatot, tiwul, sawut, getuk serta blendung. Â
Pembeli boleh saja memilih sesuai seleranya. Sebagian pembeli mungkin kurang suka gatot karena warnanya yang hitam dan maaf "nggilani" (menjijikan) seolah seperti makanan yang sudah rusak. Atau ada yang enggak suka blendung karena berat mengunyahnya. Â
Kalau merasa bosan atau malas sarapan dengan nasi biasanya kami memilih ketan-tiwul sebagai pengganjal perut yang handal. Ketan-tiwul dan kawan-kawannya he..he..he..merupakan bahan makanan yang cukup mengenyangkan karena kandungan karbohidrat (zat tepung) nya cukup tinggi. Sambil menunggu agak siangan dikit baru kami makan menggunakan nasi. Â
Apa sebenarnya ketan, tiwul, gatot, blendung, sawut dan getuk itu? Â
Mungkin saja diantara Anda ada yang belum begitu familiar dengan jenis-jenis makanan tradisional (daerah) di atas. Kami coba menginformasikan sepintas berikut ini :
Gatot Â
Setelah direndam kemudian dikukus selama dua jam dan biasanya ditambahkan gula merah, garam dan kelapa agar terasa manis dan gurih. Supaya enak (rasa dan teksturnya empuk) boleh ditambahkan kelapa parut. Â
Tiwul Â
Selain gatot, tiwul juga berasal dari singkong (ubi kayu atau ketela pohon). Tiwul menjadi makanan khas masyarakat Gunung Kidul, Wonogiri dan Wonosobo.