Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan, Kreator sampah plastik

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengintip Aksi Penderes Kelapa di Cilacap

31 Juli 2015   11:34 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:48 2292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Aku pernah terjatuh dari pohon kelapa ini mas, opname di rumah sakit sampai berbulan-bulan” keluh Ngadino sambil menunjuk ke arah sebatang pohon kelapa yang usianya mungkin sudah mencapai 30 puluh tahun.

Dari ekspresi wajahnya masih tersirat rasa trauma yang begitu berat. Teringat peristiwa naas dimana ia pernah terjatuh dari pohon kelapa hingga menyebabkan ia harus opname di rumah sakit untuk beberapa lamanya.

Ia sempat trauma berat dengan kejadian itu. Bahkan sudah menyatakan diri kepada semua warga desa untuk tidak melakoni lagi profesi subagai tukang nderes yang sudah dijalaninya semenjak masih muda itu. Meminjam istilah Cilacap, pendek kata ia sudah “kawus” (kapok) dan menyatakan berhenti.

Tapi entah mengapa profesi berisiko itu belakangan ini mulai ditekuninya kembali. Seolah dengan mudahnya ia melupakan kejadian masa lalu yang nyaris merenggut nyawanya. Nyatanya saat sedang nderes siang itu kondisi badannya terlihat fit dan tampak bersemangat sekali.

Pagi menjelang siang itu ia meletakkan wadah plastik bekas kemasan cat tembok 6 kiloan. Semua wadah dalam keadaan bersih dan ditempatkan di bawah tandan kelapa yang sudah disadapnya (dideres).

Tak lupa ia membubuhkan bahan berupa Sodium Metabisulfit secukupnya agar cairan nira mudah mengental (mengeras). Sore harinya ia memanjat kembali pohon-pohon kelapa itu dan mengambil hasil nira deresannya untuk kemudian disetorkan kepada perajin gula kelapa di Desa Reong.


Sayang sekali saya belum berkesempatan melihat langsung proses pembuatan gula kelapa di desa itu. Meski demikian menurut cerita Ngadino, cairan nira yang sudah dikumpulkan dari banyak pohon kelapa itu dimasak dalam wajan besar bisa juga menggunakan kuali dari tanah liat.

Biasanya menggunakan api dari kayu bakar. Cairan nira diaduk-aduk dalam waktu yang cukup lama hingga mengental hingga siap dimasukkan ke dalam cetakan sesuai bentuk dan ukuran yang dikehendaki.

Dalam perjalanan pulang kembali ke rumah saya sempat tercenung sejenak, ternyata masih ada profesi mulia seperti yang dijalani Ngadino. Meski hasilnya minim dan sangat berisiko namun ia tetap tidak kapok untuk menekuninya.

Ngadino menjadi salah seorang yang berjasa meningkatkan gizi masyarakat Indonesia, betapa tidak gula kelapa (merah) yang dihasilkan melalui tangan-tangan terampil para penderes seperti Ngadino ternyata memiliki kandungan gizi yang tak kalah dengan gula dari bahan lain seperti tebu atau aren.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun